Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika ada seorang hamba yang dimudahkan Allah dalam hal ilmu din, memahami bahasa Arab, mengerti fikih dan bahkan dibuka berbagai hikmah yang tak selalu tertulis dalam kitab, maka semestinya beliau adalah orang yang memiliki jiwa yang kuat, punya sifat jujur, sanggup “ngemong umat”, kuat sifat amanahnya, dan tentu saja cerdas.
Jika kualitas-kualitas tadi belum terwujud semua, paling tidak beliau sebenarnya punya potensi untuk mengasahnya dan memilikinya. Asal mau serius melatih jiwa saja.
Sebab, orang yang dimudahkan untuk menjadi ulama itu berarti disiapkan Allah untuk menjadi penerus Rasulullah dalam fungsi dakwah dan mengajarkan ilmu din.
Tidak mungkin mengemban amanah berat ini jika orang tidak punya sifat shidq, amanah, tabligh dan fathanah atau paling tidak mendekatinya.
Tapi tidak semua manusia mensyukuri nikmat Allah.
Ada yang sungguh-sungguh mensyukuri nikmat ini, sehingga Allah menyempurnakan nikmat-Nya baik dalam hal ilmu maupun amal.
Ada yang tergoda oleh hawa nafsunya sampai level melampaui batas sehingga Allah menegurnya dengan keras dan kadang-kadang ada yang sampai dibongkar aibnya.
Ada yang terfitnah oleh dunia dan wanita hingga pikirannya sibuk mengumpulkan dan memperbanyak benda-benda duniawi, sampai Allah membuat ilmunya “menguap”. Pernah belajar ilmu din tapi seperti tidak pernah belajar ilmu din.
Nampaknya dari kesungguhan berterimakasih kepada Allah dan mensyukuri nikmatlah yang membuat tiap nikmat ilmu itu dampaknya menjadi berbeda-beda.
Ada yang dibuat manfaatnya sampai level internasional.
Ada yang di level nasional.
Ada yang di level regional.
Ada yang di kampungnya saja.
Ada yang di kalangan teman-temannya saja.
Ada yang di kalangan keluarganya saja.
Ada yang bahkan hanya untuk dirinya sendiri.
Yang paling celaka adalah mereka yang ilmunya tidak bermanfaat, baik untuk orang lain dan juga tidak untuk dirinya sendiri.
6 Jumadal Akhirah 1444 H/ 30 Des 2022 M pukul 07.46