Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Orang mengutangi itu konsepnya adalah memberi pertolongan/irfāq (الإرفاق), bukan mencari keuntungan apalagi mengeksploitasi/istiglāl (الاستغلال).
Oleh karena itu orang utang 10 juta lalu kembali 12 juta itu dilarang. Sebab ini sifatnya mengambil keuntungan. Apalagi jika tidak mampu membayar kemudian didenda sampai bunganya bertumpuk-tumpuk. Itu sudah eksploitasi dan penghisapan. Agama menyebut kelebihan 2 juta atau dendanya itu dengan sebutan riba, dan riba itu haram, bahkan dosa besar.
Malahan keuntungan yang dilarang itu juga tidak melulu berupa harta.
Orang mengutangi 10 juta dengan perjanjian setiap hari diantar jemput oleh penerima utang itu juga haram, karena jasa antar jemput adalah keuntungan tambahan dan itu riba.
Tidak boleh juga mengutangi 10 juta dengan perjanjian penerima utang mengizinkan mobilnya dipakai pemberi utang. Manfaat mengendarai mobil adalah keuntungan tambahan dan itu riba.
Bahkan, saking hati-hatinya generasi salaf, ada riwayat Abu Hanifah tidak mau berteduh di bawah pohon milik orang yang diutanginya karena khawatir riba!
Jadi, sekali lagi kalau sudah ngutangi orang, maka niatkan menolong. Niatkan sebagai amal akhirat. Jika yang berutang belum bisa bayar, maka ingatlah bahwa itu pahalanya seperti bersedekah. Bahkan jika mau memutihkan, ada janji dosa-dosa akan dimaafkan Allah semuanya di akhirat.
Beginilah sebenarnya konsep dasar akad utang piutang itu.
Oleh karena itu, memahami masalah penetapan jatuh tempo dalam akad utang piutang harus dalam kerangka ini.
Para ulama mazhab al-Syāfi‘ī itu sangat berhati-hati masalah riba.
Menetapkan waktu jatuh tempo pelunasan itu ada potensi menguntungkan pemberi utang. Contoh mudahnya misalnya mengutangi uang 100 juta, lalu menetapkan pelunasannya 5 tahun lagi dan memprediksi nanti akan terjadi perubahan situasi ekonomi sehingga saat jatuh tempo itu uang 100 juta nilainya sudah naik sekitar 500 juta.
Nah niat seperti ini membuat pensyaratan penetapan tempo pelunasan utang menjadi haram, karena ada maksud memperoleh keuntungan. Akad yang mengandung niat seperti ini menjadi batil dan tidak sah.
Bagaimana jika tidak ada niat?
Jika tidak ada niat seperti itu ya tidak apa-apa. Walaupun riilnya nanti memang benar setelah 5 tahun uang itu sudah senilai 500 juta.
Jadi kuncinya sebenarnya ada di maksud/garaḍ (الغرض) atau niatnya.
Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Jika dia (pemberi utang) mensyaratkan tempo pelunasan, maka itu (boleh) seperti (kreditur) mensyaratkan mengembalikan uang jelek untuk melunasi uang baik, (yakni) jika pemberi utang tidak punya maksud/tujuan (memperoleh keuntungan).” (Minhāj al-Ṭālibīn, hlm 113)
13 Jumadal Akhirah 1444 H/6 Januari 2022 M pukul 12.40