Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika sebuah syarat dikatakan tidak boleh (lā yajūz) maka bedakan dengan syarat yang dikatakan tidak mengikat (lā yalzamu/lā yu’tabaru/yulgā/laghā/mulghā).
Syarat yang tidak boleh itu jika dilakukan, maka maknanya haram dan akadnya batil karena tidak sah.
Tetapi jika syarat dikatakan tidak mengikat, berarti akadnya sah, hanya saja syaratnya dianggap tidak ada.
Contoh syarat yang lā yajūz:
“Saya menghutangi kamu 5 juta dengan syarat kembalikan padaku 6 juta.”
Ini syarat haram karena meminta riba sehingga akad utang-piutangnya batil dan tidak sah. Syarat seperti ini disebut syarat yang rusak/fāsid (الفاسد) sekaligus merusak/mufsid (المفسد), yakni merusak keabsahan akad utang-piutang.
Contoh syarat yang lā yalzamu/tidak mengikat,
“Saya menghutangi kamu 5 juta dengan syarat kembalikan lagi sebulan kedepan, ya.”
Ini akad utang piutang yang sah tapi syaratnya tidak mengikat. Artinya, pemberi utang boleh menagih lebih cepat jika memang butuh dan penerima utang juga tidak dosa jika membayar lebih dari 1 bulan jika memang belum mampu.
Syarat seperti ini dalam fikih disebut syarat yang rusak/fāsid (الفاسد) tapi tidak merusak/mufsid (المفسد). Jadi, akad utang-piutang tetap sah.
Dalam akad nikah juga mungkin terjadi syarat yang lā yalzamu ini.
Misalnya wanita berkata kepada lelaki,
“Saya mau menikah denganmu dengan syarat engkau tidak berpoligami.”
Syarat tidak berpoligami seperti ini dalam mazhab al-Syāfi‘ī adalah syarat yang bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ (konsekuensi hukum pernikahan), tapi sifatnya ringan. Oleh karena itu akad nikahnya tetap sah, tapi syaratnya lā yalzamu/tidak mengikat. Jadi, tidak masalah jika setelah itu suami berpoligami.
Catatan lebih panjang tentang perjanjian pra nikah bisa dibaca dalam catatan saya berikut ini,
Perjanjian Pranikah yang Sah dan yang Tidak Sah
14 Jumadal Akhirah 1444 H/7 Januari 2022 M pukul 12.44