Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jangan sampai hanya karena mendengar bahwa kitab al-Umm itu dikarang oleh al-Syāfi‘ī, lalu kita membaca isinya, kemudian memahami satu penjelasan, kemudian (hanya bertumpu pada kitab itu saja) langsung berani menyebarkan sambil mengatakan bahwa itu mazhab al-Syāfi‘ī!
Jangan pula hanya karena mengetahui bahwa al-Hāwī al-Kabīr di karang oleh ulama bermazhab al-Syāfi‘ī, atau kitab al-Muhażżab, atau kitab Nihāyatu al-Maṭlab, atau kitab Baḥru al-Mażhab, atau kitab al-Bayān, atau kitab al-Basīṭ, al-Wasīṭ, al-Wajīz, Ta’līqah Abū al-Ṭayyib, Ta’līqah al-Qāḍī Ḥusain dan semisalnya, kemudian kita mengutip sebagian isinya, dan bertumpu pada kitab itu saja kemudian dengan gegabah segera kita klaim sebagai mahzab al-Syāfi‘ī!
Jangan pula merujuk kitab-kitab ensiklopedis seperti al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, al-Fiqhu al-Islāmī wa Adillatuhu, al-Fiqh ‘Alā al-Mażāhib al-Arba‘ah, Fiqhu al-Sunnah dan semisalnya, lalu membaca keterangan terkait pendapat ulama al-Syāfi‘īyyah , kemudian kita sebarkan sebagai mazhab al-Syāfi‘ī tanpa mengetahui apa bedanya qaul, wajhun, mażhab, mu’tamad, pendapat al-Syāfi‘īyyah, ikhtiyār, dan semisalnya.
Bahkan kitab-kitab kontemporer yang diklaim sebagai fikih bermazhab al-Syāfi‘ī seperti kitab al-Fiqhu al-Manhajī, al-Mu’tamad fī al-Fiqhi al-Syāfi‘ī dan semisalnya, lebih baik kita tetap berhati-hati untuk tidak segera menyebutnya sebagai pendapat mazhab al-Syāfi‘ī tanpa taḥqīq yang memadai.
Apalagi hanya dengan melakukan googling, lalu membaca sebuah artikel, atau tanya jawab, atau diskusi, atau berita, lalu menemukan sebuah pendapat yang diklaim sebagai mazhab al-Syāfi‘ī (padahal tidak ada rujukan yang sahih nan detail). Yang seperti ini jauh lebih layak untuk tidak langsung kita telan dan kita sebarkan sebagai mazhab al-Syāfi‘ī!
Lekas mengklaim mazhab al-Syāfi‘ī tanpa tatsabbut itu jauh dari sifat warak, hati-hati, akurasi keilmuan dan kedalaman ilmu fikih.
Bisa mengajarkan ilmu fikih itu adalah satu hal, tapi menisbahkan sebuah ijtihad sebagai mazhab al-Syāfi‘ī adalah hal lain. Kemampuan mengetahui pendapat mu’tamad dalam mazhab al-Syāfi‘ī secara akurat adalah level tersendiri yang tidak semua orang mencapainya. Itu adalah kemampuan yang membutuhkan ilmu tertentu, kedalaman pemahaman tertentu, kemampuan bahasa Arab tertentu, dan waktu memadai tertentu untuk mencapainya.
Orang yang sembrono, serampangan dan bermudah-mudah mengatakan “ini mazhab al-Syāfi‘ī” dan ternyata keliru, maka tidak salah jika dia dikatakan berdusta, walaupun dusta ini sifatnya tidak disengaja. Sifat ini jika sering muncul pada seseorang dan menjadi kebiasaan, maka itu bisa menjatuhkan kredibiltasnya sehingga semua klaimnya terkait mazhab al-Syāfi‘ī menjadi diragukan.
Dalam ilmu musthalah hadis, kondisi ini mirip seperti perawi yang mengklaim Rasulullah ﷺ bersabda hadis tertentu tapi perawi tersebut sering melakukan kesalahan baik dalam urusan membalik riwayat/sanad, menukar, membuang, menambah dan semisalnya. Perawi semacam ini walaupun dikenal orang jujur, maka dia disebut tidak ḍābiṭ (teliti). Statusnya bisa menjadi perawi yang tidak kredibel, tidak tsiqah, daif, mukhtaliṭ, lahū auhām, mutafarrid, daif jiddan, dst. Semua itu membuat riwayatnya menjadi ditolak atau minimal turun derajatnya.
Oleh karena itu, jika belum mengerti ilmu untuk mengklaim pendapat mu’tamad, yang paling hati-hati adalah langsung saja merujuk ke kitabnya, tidak usah mengklaim sebagai mazhab al-Syāfi‘ī.
Contoh kalimat yang lebih berhati-hati,
“Ini yang saya fahami dari kitab al-Fiqhu al-Manhajī.”
“Ini tercantum dalam kitab al-Ḥāwī al-Kabīr.”
“Penjelasan ini ada dalam kitab Muhażzab.”
“Tersebut dalam kitab al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.”
Dan seterusnya.
Boleh saja mengutip teks/ibarah dalam kitab-kitab seperti al-Ḥāwī al-Kabīr, al-Muhażżab dan semisalnya dan menegaskan sebagai pendapat mazhab al-Syāfi‘ī jika sudah memastikan dengan crosscheck ke sumber-sumber primer. Jadi, mengutip ibarah dalam kitab tersebut bukan karena kitab-kitab itu diposisikan sebagai rujukan untuk mengetahui pendapat mu’tamad, tetapi semata karena kita menemukan ibarah yang bagus dan paling mewakili sebuah pembahasan yang ternyata sudah diafirmasi dan dikonfirmasi rujukan-rujukan primer yang sudah melewati proses penelitian luar biasa untuk memastikan pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī.
Silakan melakukan hal ini jika sudah mampu memahami kitab-kitab “berat” tersebut. Jika masih belum mampu sama sekali, atau masih “setengah” mampu, atau masih samar memahami (misalnya paham sebuah kalimat tapi tidak terlalu paham kalimat yang lain), maka yang lebih bertakwa adalah jangan merujuk kitab-kitab yang bukan standar apalagi sampai mengklaim mazhab al-Syāfi‘ī atas dasar kitab-kitab tersebut.
Jika menisbahkan sebuah pendapat ke mazhab al-Syāfi‘ī saja harus hati-hati, maka jauh lebih harus hati-hati lagi jika menisbahkan pendapat pada hukum Allah atau hukum Islam atau istilah lain yang semakna. Sebab pertanggungjawaban hal ini jauh lebih besar dan ada ancaman neraka yang jelas dalam Al-Qur’an jika serampangan menisbahkan kepada Allah secara tidak benar.
16 Jumadal Akhirah 1444 H/9 Januari 2022 M pukul 19.10