Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Pendapat saya, wanita yang lemah jiwanya tidak disarankan menikah dengan ustaz yang tergolong ahli ilmu.
Minimal ada dua alasan.
Pertama, orang berilmu mengerti hak dan kewajiban dalam rumah tangga secara detail dan rinci.
Memang itu bagus karena potensi mempergauli istri dengan sangat baik menjadi lebih besar. Tapi sisi lainnya, justru karena mengerti ilmu itu, terkadang orang berilmu tuntutannya kepada istri menjadi lebih tinggi. Jika tidak maklum, wanita yang lemah jiwanya akan merasa berat dan tertekan.
Kedua, ujian rumah tangga orang berilmu itu banyak dan tidak ringan.
Ulama sejati sudah pasti akan diuji dengan ujian yang tidak ringan.
Ujian itu bisa saja godaan jabatan, godaan kekayaan, kemiskinan, hinaan orang, fitnah orang, kebencian orang, kedengkian orang, permusuhan orang, musibah, penjara dan lain-lain.
Misalnya rumah tangga Anda diuji kaya dan kemewahan, lalu di hati Anda terbersit ingin memamerkan kepada orang lain dengan modus “bersyukur” atau “tahaddust bin ni’mah” dan semisalnya.
Lalu suami Anda mencegah keras, mengajak rendah hati, mengajarkan bahaya pamer, menjelaskan bedanya pamer dengan tahadduts bin ni’mah dan seterusnya. Nah, menaati suami semacam ini tidak mudah. Apalagi jika sebelum menikah sudah terbiasa menampakkan gemerlap duniawi yang dimilikinya.
Contoh lain,
Ada ahli ilmu yang oleh Allah dikehendaki sempit rezekinya. Ini masalah jatah rezeki dari Allah. Bukan soal kemalasan atau upaya mencari uang yang kurang maksimal. Ada orang-orang yang memang dikehendaki Allah rezekinya sempit.
Kadang pula ujian kemiskinan seperti ini ditambah dengan sikap ulama tersebut yang sangat menjaga kehormatannya sehingga menolak pemberian orang lain.
Seperti Imam Ahmad yang dikabarkan sangat miskin dan terbiasa bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Saat ada yang tahu kemiskinannya, beliau sempat diberi hadiah uang yang sangat besar. Tapi beliau justru malah tidak suka dan mengatakan keluarganya baik-baik saja lalu minta uang itu diberikan kepada orang yang lebih butuh dari beliau.
Istri yang punya suami seperti ini, terkadang tidak mudah hidup bersamanya. Apalagi jika selama ini terbiasa dengan gaya hidup yang “luxurious”. Apalagi jika membandingkan dengan ahli ilmu lain yang dipandang hidupnya “lebih sejahtera”. Tidak semua istri bisa memahami pilihan hidup seorang ulama yang lebih suka “menderita” dan maksimalis dalam hal zuhud.
Contoh lain,
Anda memiliki wajah yang cantik jelita. Sebelum menikah, Anda terbiasa menunjukkan kecantikan itu kepada orang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Anda sangat terbiasa dan berulangkali mendapatkan pujian orang.
Lalu setelah menikah, suami melarang total kebiasaan tersebut, meminta untuk rendah hati, fokus mempersembahkan keindahan hanya untuk suami, mengingatkan bahaya menampakkan kecantikan dan meminta Anda hanya bersedia dipuji cantik oleh suami. Nah, menaati perintah suami seperti ini benar-benar perjuangan batin yang tidak ringan.
Contoh lain,
Suami Anda menyampaikan ilmu kepada umat semata-mata karena Allah. Lalu ada para pembenci yang mengucapkan kata-kata kotor kepada suami, memaki, menghina, bahkan memfitnah dan berusaha menghancurkan reputasinya. Sebagai istri, jelas Anda tidak terima suaminya diperlakukan demikian. Yang seperti ini jika tidak kuat, bisa-bisa istri malah minta suaminya tidak berdakwah!
Contoh lain,
Terkadang sebagian ahli ilmu memandang menikah lebih dari satu ada kemaslahatan tambahan. Seperti kisah Umar yang menikahi putri Ali karena ingin menyambung nasab dengan Rasulullah ﷺ. Tentu saja menahan perasaan cemburu dan menata hati dalam kondisi seperti ini tidak semua wanita sanggup melakukannya.
Dan banyak lagi contoh-contoh ujian yang intinya semuanya menunjukkan bahwa menjadi menjadi istri ahli ilmu itu bukan perkara yang ringan…
***
Ingat, Rasulullah ﷺ mengabarkan ujian terberat adalah ujian yang dialami para nabi. Setelah itu di bawah mereka, lalu di bawah mereka dan seterusnya. Para ulama adalah pewaris para nabi. Jadi, ulama sejati sangat wajar jika menghadapi banyak sekali ujian.
Menikahi orang berilmu lalu membayangkan rumah tangga “uwu-uwu”, beromantis ria, dan bergelak-tawa penuh canda setiap hari, sangat mungkin akan berakhir dengan kecewa.
Bahkan membayangkan romantisme itu dalam konteks ilmu sekalipun tetap ada potensi kecewa ini. Misalnya mengkhayalkan ngaji sambil bermanja-manja, diskusi ilmu dalam “pillow talk”, belajar bahasa Arab di taman rekreasi dan seterusnya.
Menikahi orang berilmu mending niatkan siap mengabdi, siap melayani, siap mendukung, siap menguatkan, siap berkorban, siap ngaji, dan siap dibimbing untuk mengutamakan Allah dan akhirat. Siap menghadapi berbagai ujian selama visinya sangat jelas: Mengejar rida Allah dan bisa berkumpul lagi di surga.
Yang masih level suka senang-senang dan romansa, sebaiknya memilih orang biasa-biasa saja. Jangan milih ulama. Yang penting pastikan beliau baik. Itu lebih sesuai dengan karakternya, cocok dengan levelnya, mengawetkan pergaulannya dan menentramkan rumah tangganya.
CATATAN
Pembahasan ini tidak bermakna bahwa keilmuan dalam din itu adalah kriteria sekufu. Pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī menegaskan bahwa gap ilmu din itu bukan kriteria sekufu. Jadi lelaki ulama itu sekufu dengan wanita awam, sebagaimana wanita ulama juga sekufu lelaki awam.
Nasihat dalam tulisan ini semata-mata memberikan nasihat kepada wanita agar tidak terlalu berlebihan saat berekspektasi menikah dengan lelaki berilmu. Juga nasihat agar mempertimbangkan kekuatan jiwanya saat memutuskan menikah dengan lelaki berilmu.
Jika merasa dirinya lemah, tetapi memaksa tetap menerima pernikahan dengan lelaki berilmu, maka pernikahannya tetap sah karena pembahasan ini memang tidak dimaksudkan sebagai syarat sah pernikahan.
18 Rajab 1444 H / 9 Februari 2022 M pukul 19.11