Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
“Ustaz kok tidak punya mobil! Bagaimana nanti dilihat umat? Jaga muruah, dong!”
Kalimat diatas adalah contoh ajakan untuk berbuat riya’. Yakni beramal agar dapat pujian manusia. Mengusahakan punya mobil demi mendapatkan ucapan, penilaian, penghargaan, penghormatan, kedudukan, kesan, nama baik dan pujian manusia.
Ustaz harus punya mobil, HP-nya harus bermerek, pakaiannya harus bagus, rumahnya harus mewah dst (agar dihargai umat) itu semua adalah jenis riya’, sum’ah, pamer, fakhr, ṭalabul jāh (طلب الجاه), mubāhāt, dan beramal karena manusia. Ini adalah sehina-hina motivasi saat menikmati hal yang mubah.
Sama sekali bukan ajakan menjaga muruah.
Muruah itu maknanya MENJAGA DIRI DARI HAL-HAL KOTOR. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Muruah adalah menjaga diri dari hal-hal kotor.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 11 hlm 232)
Makna hal-hal kotor dalam definisi di atas tidak mungkin dikembalikan pada definisi para pecinta dunia. Jadi jangan membayangkan “hal-hal kotor” dalam definisi di atas sebagai kemiskinan, kendaraan butut, pakaian jelek, rumah kumuh, ponsel jadul berkaret dan semisalnya. Setelah itu menyimpulkan bahwa kesempitan hidup semacam itu dipandang sebagai perbuatan yang tidak menjaga muruah.
Maksud “hal-hal kotor” adalah perkara-perkara makruh yang membuat pelakunya dipandang rendah dan tidak layak memiliki akhlak semacam itu. Oleh karena itu, para fukaha memberi contoh-contoh tidak menjaga muruah itu dengan sejumlah perbuatan/adab/akhlak yang sebenarnya tidak masuk haram (atau minimal diperselisihkan keharamannya), tetapi karena tergolong adab buruk bagi orang-orang yang dijadikan teladan, maka itu dipandang merusak muruah. Misalnya,
- Terus terusan mendengarkan musik
- Menghabiskan waktu bermain catur
- Ciuman mulut dengan istri di depan umum
- Lisannya pedas ceplas-ceplos yang menyakiti orang lain
- Tertawa ngakak terbahak-bahak secara berlebihan
- Mencabut jenggot atau mewarnai jenggot dengan warna hitam
- Menolak sedekah padahal mampu
- Tidak mau nyumbang makanan padahal mampu
- Menahan diri membantu orang yang butuh pertolongan padahal mampu
Termasuk hal-hal yang disebut para fukaha sebagai tradisi baik setempat yang semestinya dijaga. Semuanya masih terkait dengan hukum syara’ seputar adab dan akhlak. Misalnya,
- Jika tradisi di masyarakat memandang bahwa memakai celana dalam adalah bagian dari menjaga muruah, maka pakailah celana dalam. Walaupun secara hukum yang wajib hanya menjaga aurat. Tetapi memakai celana dalam lebih afdal karena lebih dekat menjaga aurat dalam situasi-situasi yang memungkinkan pakaian tersingkap.
- Jika tradisi di masyarakat saat mengimami salat itu eloknya memakai kopyah, maka jangan mengimami tanpa kopyah. Sebab, walaupun dalam fikih salat yang wajib hanyalah menutup aurat, tetapi memakai kopyah itu lebih baik dan sejalan dengan sunah salat karena mencegah rambut menutupi dahi dan lebih merealisasikan unsur tahassun (membaguskan) pakaian saat menghadap Allah sehingga lebih dekat dengan semangat memuliakan Allah
Dalam kitab-kitab fikih, muruah itu dibahas sebagai salah satu karakteristik orang yang disifati sebagai adil sehingga persaksiannya diterima. Lawan sifat adil adalah fasik yang persaksiannya tidak diterima. Sudah diketahui bahwa orang disebut fasik itu hukum asalnya adalah orang yang melakukan kemaksiatan baik dosa besar atau terus-terusan melakukan dosa kecil. Jadi makna muruah itu masih terkait dengan perkara maksiat atau yang mendekatinya yakni hal-hal makruh.
Lagipula menjaga muruah itu semangatnya adalah realisasi rasa malu yang merupakan bagian dari iman. Jadi semuanya masih terkait dengan hal-hal yang haram atau minimal makruh.
Dengan makna muruah seperti ini, maka tidak benar jika memiliki mobil bagi seorang ustaz itu dipandang sebagai perbuatan menjaga muruah.
***
Rasulullah ﷺ itu andaikan mau, pasti bisa membangun rumah beliau dari marmer dengan kolam renang, taman dan air mancur. Tapi faktanya, kehidupan beliau sangat sederhana. Alas tidur beliau hanya tikar yang membekas pada badan beliau. Di kamar hanya ada sekantong geriba wadah air untuk berwudu. Sehari-hari sering kelaparan dan dapur tidak mengepul. Tapi beliau adalah teladan terbaik dalam menjaga muruah.
Tidak ada sabda Nabi ﷺ, sikap beliau, atau rekomendasi beliau kepada kaum muslimin supaya mengusahakan kemewahan-kemewahan duniawi dengan alasan menjaga muruah.
Mendefinisikan muruah dengan memiliki fasilitas mewah supaya dihargai orang sama saja menuduh Rasulullah ﷺ secara tidak langsung dengan tuduhan yang sangat keji.
***
Jangan pernah menyangka seorang ustaz, dai, atau ulama itu diberi rezeki yang sama.
Nab-nabi saja ada yang dibuat kaya oleh Allah, ada yang dibuat sangat miskin, dan ada yang pertengahan.
Sahabat Nabi ﷺ juga ada yang diluaskan rezekinya oleh Allah, ada yang pertengahan dan ada yang disempitkan.
Ulama besar juga ada yang diluaskan rezekinya oleh Allah seperti Abu Hanifah dan Malik. Tetapi ada juga yang disempitkan rezekinya seperti al-Syāfi‘ī dan Ahmad.
Yang diluaskan rezekinya sekalipun masih dibagi 3 macam dari sisi menikmati yang mubah. Ada yang muktsir (المكثر)/maksimalis, ada yang mutawassiṭ (المتوسط)/pertengahan, dan ada yang muqill (المقل)/minimalis. Semuanya memutuskan masuk golongan mana sesuai pertimbangan masing-masing disertai kesadaran penuh konsekuensinya.
Memprovokasi para dai untuk bergaya hidup mewah atas nama menjaga muruah itu tanda tidak mengerti konsep takdir terkait rezeki, tidak memiliki kasih sayang terhadap mereka yang disempitkan rezekinya, bahkan mengajak untuk riya’, sum’ah, mubāhāt dan fakhr.
Semua ini dampaknya bagi para awam sangat buruk karena akan membuat mereka menyimpulkan tanda kesuksesan adalah bergaya hidup mewah seperti sebagian oknum dai, membuat mereka tamak terhadap dunia, bahkan bisa menyeret mereka dalam kesusahan susul-menyusul karena memaksa diri untuk mengikuti gaya hidup tersebut dengan cara utang, terjerat investasi bodong dan berbagai kerusakan lainnya.
Mereka yang mengajak untuk hidup mewah dengan alasan menjaga muruah saya khawatir aslinya mereka adalah ahli dunia dan pecinta kemewahan yang menutupi kecintaannya terhadap dunia dengan istilah-istilah din tanpa pemahaman yang benar.
Jauhilah orang-orang seperti itu.
***
Beli mobil itu tidak tercela. Yang bagus sekalipun. Mubah-mubah saja. Termasuk semua fasilitas mewah apapun lainnya.
Asal memang mampu, sudah memenuhi semua kewajiban, tidak dimaksudkan untuk memamerkan “kesuksesan”, bukan untuk kebanggaan, dan tidak dimaksudkan untuk jor-joran/ berlomba-lomba dalam perkara duniawi (takātsur).
Niat minimalnya adalah menikmati hal mubah yang segera disusul dengan melaksanakan kewajiban syukur. Lebih tinggi lagi nilainya jika memang butuh. Lebih indah lagi jika ditundukkan untuk melakukan amal saleh.
Memiliki fasilitas mewah dengan kondisi seperti inilah yang tidak tercela. Yakni, hamba-hamba yang menikmati anugerah Allah dengan hati yang zuhud. Yang tahu amanah Allah dalam karunia tersebut, dan sama sekali tidak ada ikatan dalam hatinya terhadap dunia itu.
Dia siap memiliki.
Tapi juga siap kehilangan!
Karena semua hanyalah titipan.
7 Syawwāl 1444 H/ 28 April 2023 pukul 21.20