Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara nikmat besar yang diterima seorang hamba adalah jika dilemparkan dalam hatinya sifat benci terhadap watak suka pamer, melagak dan membanggakan diri.
Bagaimana tidak disebut sebagai nikmat besar setelah kita tahu bahwa dalam Al-Qur’an dikabarkan bahwa Allah membenci watak tersebut? Allah berfirman,
Artinya,
“Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong melagak lagi gemar membanggakan diri.” (al-Ḥadīd: 23)
Maknanya, seorang hamba yang dimudahkan untuk tidak suka dengan segala hal yang berbau pamer dan membanggakan diri, berarti beliau sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah. Beliau mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah.
Jangankan memamerkan perkara duniawi yang diumpamakan Rasulullah ﷺ sebagai bangkai. Memamerkan amal saleh dengan target mendapat decak kagum, nama harum dan pujian manusia saja sudah salah. Itu dinamakan riya’ dan sum’ah. Sifat yang akan menghancurkan pahala amal saleh dan membuat aib-aib akan terbongkar.
Dunia itu sudah sangat hina di sisi Allah. Jika kita membanggakannya, berarti kita memuliakan sesuatu yang dibangkaikan Allah. Mustahil hamba saleh yang tujuannya akhirat dan rida Allah akan memiliki sifat seperti ini.
***
Ditinjau dari pertimbangan akal semata sekalipun, sifat suka pamer dan membanggakan diri itu sudah tidak baik dan tidak bijaksana. Sebab itu pertanda orang yang memilikinya punya sifat egois, egosentris yang kuat, tidak punya sifat tenggang rasa, dan tidak punya sifat rahmah/kasih sayang terhadap orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat seperti dirinya.
Coba renungkan orang-orang yang gemar memamerkan foto/video makanan enak saat makan di restoran. Pernahkah terlintas dalam hatinya bahwa bisa jadi di sana ada hamba-hamba Allah yang terluka hatinya saat melihatnya karena setiap hari hanya bisa makan berlauk garam, kecap atau ikan asin?
Perhatikan orang-orang yang gemar memamerkan kegiatan rekreasinya ke tempat-tempat wisata. Apakah tidak terbersit dalam hatinya bahwa di sana bisa jadi ada orang yang sedih mengetahuinya karena sekedar makan sehari-hari saja kadang dia harus utang ke toko-toko kelontong dekat rumah?
Perhatikan orang-orang yang memamerkan “pencapaian”nya dengan bisa membangun rumah sendiri yang mungkin disertai caption “Lelahku terbayar”. Kira-kira apa mempertimbangkan perasaan saudara, kawan atau tetangga yang puluhan tahun masih hanya bisa ngontrak/ngekos? Yang hidupnya selalu boyongan sana-sini? Yang tembok-tembok kontrakannya berjamur dan berlumut? Yang atapnya bocor saat hujan deras? Atau bahkan tidak punya rumah sehingga terpaksa tidur di kolong jembatan?
Mereka yang membanggakan pekerjaannya dengan penghasilan puluhan juta sebulan, apa tidak ingat bahwa di sana orang yang nasibnya tidak lebih menjadi kuli bangunan yang bekerja keras berpeluh berkeringat mulai pukul 07.00 hingga 16.00 dan hanya mendapatkan upah 80.000-100.000 perhari?
Mereka yang membanggakan kepintaran anaknya, apa ya tidak ingat bahwa di sana ada hamba-hamba Allah yang diuji dengan anak yang tidak cerdas, yang idiot atau bahkan gangguan jiwa?
Mereka yang membanggakan kecantikannya, apa tidak ingat dengan mereka yang memang diciptakan Allah dengan tubuh cacat dan wajah yang tidak cantik? Yang mungkin hanya bisa iri dan nelangsa setiap melihat orang-orang cantik memamerkan wajahnya?
Mereka yang membanggakan mobilnya, apa tidak ingat dengan orang-orang yang jangankan berfikir membeli mobil, sekedar mempertahankan perabot rumah agar tidak terjual demi membayar utang saja sudah kelimpungan?
Jadi, kadang orang yang pamer dan membanggakan diri itu nampaknya tidak sadar sedang menyakiti orang lain. Kurang memiliki sifat kasih sayang kepada mereka yang lemah. Lebih fokus pada kenikmatan diri sendiri mendapatkan decak kagum. Tidak berusaha tenggang rasa dan menjaga perasaan orang lain.
***
Itu hanya pertimbangan akal tanpa agama.
Apalagi jika orang sudah memakai dalil untuk menyikapi masalah ini. Tidak hanya memakai akal semata.
Dia akan tahu bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan hambaNya supaya tidak memuliakan dunia, hidup zuhud, dan menjadikan akhirat sebagai kampung sejati.
***
Banyak hal yang saya sebutkan sebagai contoh di atas sebenarnya mubah-mubah saja. Tidak ada larangan dalam agama untuk makan enak yang halal, rekreasi, membeli mobil, berprestasi, membangun rumah bagus, memiliki pekerjaan dengan penghasilan besar dan semisalnya. Hal-hal tadi didokumentasi untuk koleksi pribadi juga tidak masalah. Terkadang juga ada yang menggunakannya untuk kepentingan bisnis yang halal.
Hanya saja, ketika hal-hal tersebut sudah ditampakkan dalam konteks pamer dan membanggakan diri, maka masalahnya menjadi berbeda.
Tidak ada hal baik yang menyeret pada kerusakan dan kemungkaran. Semua hal yang baik secara alami akan menyeret kebaikan serupa, karena amal saleh itu punya akhawāt sebagaimana maksiat punya akhawāt. Jadi, jika aktivitas menampakkan perkara duniawi sudah tergolong pamer dan membanggakan diri, maka tidak heran jika akan memunculkan sifat tidak qanaah pada hamba Allah yang lain, sifat tamak, cinta dunia, kesombongan, pertengkaran, perceraian, lupa akhirat, dan keburukan-keburukan lainnya.
Semua nikmat duniawi jika dinikmati dengan syukur, tidak dibanggakan, tidak dipamerkan dan tidak melampaui batas maka akan menyeret pada kebaikan. Nikmat duniawinya tidak hilang, hamba-hamba Allah disekitarnya juga mendapatkan banyak manfaat.
***
Waspadalah.
Momen lebaran adalah salah satu situasi di mana banyak hamba beriman diuji dengan kecenderungan pamer, membanggakan pencapaian diri, atau membanggakan keluarga.
Lawanlah sifat rendah tersebut.
Rendah hati saja.
Jangan fokus pada cerita diri, tapi justru fokuslah pada kerabat.
Mendengarkan kisah mereka, kondisi mereka, problem mereka, kesusahan mereka dan keluhan mereka.
Kita membantu menunjukkan kepada siapapun yang berinteraksi dengan kita, agar bisa melihat banyaknya nikmat Allah yang diterima sehingga dengan begitu kesusahan yang dialami akan terlihat kecil dan lebih bisa mensyukuri kondisinya.
6 Syawwāl 1444 H/ 27 April 2023 pukul 21.10