Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Saya memilih tilawah sedikit dengan tadabbur.
Bagi saya, membaca satu surah dengan tartil dengan berupaya untuk memahaminya, meresapi tafsirnya, lalu mengamalkannya (walaupun harus membacanya berulang kali dalam banyak salat misalnya) lebih afdal daripada memperbanyak tilawah tapi mengorbankan pemahaman.
Dasar pilihan ini adalah 10 argumentasi berikut ini.
Pertama, Al-Qur’an turun untuk difahami dan diamalkan.
Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan memang untuk difahami dan diamalkan. Allah berfirman,
Artinya,
“(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Aku turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Ṣād: 29)
Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata,
Artinya,
“Al-Qur’an turun untuk diamalkan. Karena itu orang-orang menjadikan tilawahnya sebagai amal.” (Ta’wīlu Musykili Al-Qur’an hlm 148)
Kedua, makna tilawah sejati adalah membaca, memahami dan mengamalkan. Itulah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
Artinya,
“Orang-orang yang telah Aku beri kitab suci, mereka membacanya sebagaimana mestinya, itulah orang-orang yang beriman padanya.” (Q.S. al-Baqarah: 121).
Al-Syaukānī berkata,
Artinya,
“Yang dimaksud dengan firman-Nya, ‘Yatlūnahū’ adalah bahwasanya mereka mengamalkan isinya.” (Fatḥu al-Qadīr, juz 1 hlm 158)
Ketiga, Rasulullah ﷺ terkadang mengulang-ulang satu ayat sepanjang malam dalam salatnya. Al-Tirmiżī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Aisyah beliau berkata, ‘Rasulullah ﷺ salat malam dengan membaca satu ayat (saja) sepanjang malam.” (H.R. al-Tirmiżī)
Ini menunjukkan pemahaman, penghayatan dan tadabbur saat tilawah lebih penting daripada mengejar kuantitas.
Keempat, bacaan Nabi ﷺ itu tartil dan tenang. Ini menunjukkan Rasulullah ﷺ mengutamakan tadabbur dan penghayatan daripada mengejar kuantitas bacaan. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Telah menceritakan kepada kami Qatadah ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik mengenai bacaan Nabi ﷺ , maka ia pun menjawab: “Bacaan beliau adalah benar-benar memanjangkan bacaan.” –yakni memperhatikan betul panjang pendek bacaan- (H.R. al-Bukhārī)
Kelima, Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa Sahabat yang membaca Surah al-Ikhlas berulangkali dengan motivasi cinta Allah ternyata dibalas cintanya oleh Allah. Ini menunjukkan pengulangan bacaan ayat dengan memakai hati lebih utama daripada sekedar mengejar kuantitas tilawah.
Keenam, ada riwayat bahwa cara Sahabat mempelajari Al-Qur’an adalah 10 ayat-10 ayat, sampai mereka memahami betul dan mengamalkannya. Ini menunjukkan interaksi terbaik dengan Al-Qur’an saat membacanya adalah memprioritaskan pemahaman yang dilanjutkan dengan amal. Abū ‘Abdurraḥmān al-Sulamī berkata,
Artinya,
“Para Sahabat Rasulullah ﷺ memberitahu kami bahwasanya mereka belajar Al-Qur’an dari Rasulullah ﷺ dan mereka tidak melampaui 10 ayat hingga mengetahui apa isinya dan mengamalkanya. Beliau berkata, ‘Maka kami belajar Al-Qur’an, ilmu dan amal sekaligus’.” (Tafsir Mujāhid, hlm 193)
Ketujuh, ada riwayat bahwa Ibnu Umar fokus terhadap Surah al-Baqarah sampai menghabiskan waktu 8 tahun (riwayat lain: 4 tahun) agar bisa memahami betul dan mengamalkannya! Mālik meriwayatkan,
Artinya,
“Bahwasanya Abdullāh bin ‘Umar menghabiskan waktu 8 tahun untuk mempelajari Surah al-Baqarah.” (H.R. Mālik)
Ini menunjukkan Sahabat rela menyediakan waktu lebih banyak untuk memperoleh pemahaman yang kokoh dan mengamalkannya, walaupun akhirnya mengorbankan kecepatan menghafal seluruh Al-Qur’an.
Kedelapan, ada riwayat Ibnu Abbas yang menegaskan lebih suka membaca tilawah satu surah dengan pemahaman daripada mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Abu Hamzah berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbās, ‘Sesungguhnya aku adalah seorang lelaki yang cepat bacaannya. Terkadang aku membaca Al-Qur’an dalam semalam sebanyak sekali khatam atau dua kali khatam. Ibnu ‘Abbās berkata, ‘Sungguh, aku membaca satu surah benar-benar lebih aku sukai daripada aku melakukan seperti dirimu. Jika engkau merasa harus melakukannya, maka bacalah dengan bacaan yang membuatmu mendengar telingamu dan dipahami hatimu’.” (H.R, al-Baihaqī juz 5 hlm 382)
Kesembilan, Ibnu Mas‘ud mengajarkan cara membaca Al-Qur’an yang benar adalah sabar, tenang dan penuh penghayatan. Jangan cepat-cepat, terburu dan berambisi menuntaskan sampai akhir surat. Jangan fokus mengejar banyak tapi kualitas pemahaman kita tiap ayat sangat buruk. Bacalah dengan penuh penghayatan dan jangan lemah untuk berhenti saat menemukan keajaiban-keajaibannya.
Ringkasnya, cara membaca Al-Qur’an yang benar adalah jika sampai level sanggup menggerakkan hati. Ibnu Abū Syaibah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari al-Sya‘bī, ia berkata, ‘Abdullah bin Mas‘ūd berkata, ‘Jangan membaca Al-Qur’an dengan cepat seperti membaca puisi. Jangan pula membaca dengan cara menyebar seperti menyebar kurma busuk. Berhentilah (untuk merenungi) pada keajaiban-keajaibannya dan gerakkan hatimu dengannya.” (H.R. Ibnu Abū Syaibah, juz 2 hlm 256)
Ibnu Mas‘ud memberi contoh praktis: Jika ketemu ayat yang diawali yā ayyuhallażīna āmanū maka pasanglah telingamu baik-baik. Karena itu pasti ada nasihat sangat penting dari Allah, yang akan mendatangkan kebaikan kepadamu atau ada keburukan yang hendak dihindarkan darimu. Sa‘īd bin Manṣūr meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Mis‘ar ia berkata, ‘Seorang lelaki mendatangi Ibnu Mas‘ūd kemudian berkata, ‘Berilah aku wasiat.’ Beliau (Ibnu Mas‘ūd) menjawab, ‘Jika engkau mendengar firman Allah dalam kitabNya, ‘Yā ayyuhallażīna āmanū-wahai orang-orang yang beriman-, maka simaklah betul dan pasang telingamu baik-baik. Sebab engkau akan mendengarkan kebaikan yang engkau diperintahkan melakukannya atau keburukan yang engkau akan dipalingkan darinya.” (Sunan Sa‘īd bin Manṣūr, juz 1 hlm 211)
Kesepuluh, membaca Al-Qur’an semata-mata bisa dilakukan mukmin, ahli maksiat, bahkan munafiq. Tapi membaca Al-Qur’an dengan memahami, menghayati, lalu mengamalkan dengan baik hanya bisa dilakukan mukmin sejati kekasih Allah.
Hanya saja, memang ada ulama yang berpendapat kuantitas lebih afdal daripada kualitas tapi minim. Jadi, persoalan ini memang ada ikhtilaf.
Jika ada yang sanggup mengkompromikannya, yakni menjaga tilawah dengan kuantitas tertentu dan sanggup mengagendakan untuk istikamah memahami ayat-ayat al-Qur’an, maka itu yang terbaik.
9 Syawwāl 1444 H/ 30 April 2023 pukul 13.02