Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Allah berfirman mengajari Rasulullah ﷺ bagaimana tatacara menceraikan istri,
Artinya,
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.” (Q.S. al-Talāq: 1)
***
Membaca surah al-Ṭalāq, mengetahui bahwa Allah mengajari Rasulullah ﷺ terkait tatacara jika ingin mentalak istrinya, juga mengetahui bagaimana Rasulullah ﷺ pernah secara faktual mentalak sebagian istrinya, juga membaca sejarah bahwa Rasulullah ﷺ pernah berencana untuk mentalak sebagian mereka, tiba-tiba membuat saya tersentak.
Mungkin sempat terlintas dalam pikiran kita bahwa salah satu standar orang baik adalah jika rumah tangganya utuh, tenteram, dan bahagia. Mungkin kita membayangkan bahwa orang yang sanggup memanajemen rumah tangganya sehingga mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah adalah tanda “kesuksesannya” dalam hal kesalihan.
Persangkaan ini selanjutnya di alam bawah sadar membawa kita pada satu kesimpulan bahwa orang yang bercerai adalah tanda dia gagal dan lemah memanajemen rumah tangga, tanda kurang sabar, atau bahkan menyimpulkan tanda bahwa orang itu kurang baik!
Kita secara sadar atau tidak sadar jadi ada perasaan “kecewa” jika mengetahui orang yang kita kagumi, atau kita jadikan teladan, atau orang yang kita anggap baik memutuskan untuk bercerai.
Tetapi mentadabburi surah al-Ṭalāq memaksa semua persepsi itu termentahkan semuanya.
Kehendak Allah membuat manusia terbaik yang menjadi teladan sepanjang zaman seperti Rasulullah ﷺ juga melakukan talak, membuat kita harus menata ulang pemahaman dan konsepsi tentang talak itu.
Ternyata talak memang tidak bertentangan dengan kesalihan. Cerai juga bukan aib. Berpisah dalam rumah tangga bukan tanda buruknya din seseorang.
Terkadang talak justru cerminan ketakwaan.
Yakni saat orang sudah mulai khawatir bahwa pergaulan dalam pernikahan malah memproduksi dosa terus menerus, maka berpisah baik-baik adalah jalan keluar yang bijaksana.
Seperti dalam pergaulan sehari-hari.
Terkadang karena perilaku, akhlak dan sifat tertentu kita memutuskan untuk jarang berinteraksi dengan orang tertentu, menghindar total, memblokir media sosialnya dan semisalnya agar tidak terseret pada perbuatan maksiat berketerusan. Juga untuk menjaga kesehatan jiwa. Juga demi menjaga bersihnya hati. Agar tidak ada benci, sakit hati, atau dendam kepada seorang pun di kalangan hamba-hamba beriman.
Seperti itulah cara kita seharusnya memahami kasus-kasus perceraian orang-orang saleh di masa lalu seperti perceraian antara Umar dengan Ummu ‘Āṣim, al-Zubair bin al-Awwām dengan Asmā’ binti Abū Bakr, Ibnu Umar dengan istrinya, Abdurrahmān bin “Auf dengan Tumāḍir, al-Mugīrah bin Syu’bah dengan keempat istrinya, al-Hasan bin ‘Ali dengan banyak istrinya, dll. Termasuk perceraian orang-orang yang kita duga baik di masa sekarang.
15 Syawwāl 1444 H/ 6 Mei 2023 pukul 17.10