Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Orang berilmu yang sempit hidupnya itu tidak hina.
Sebagaimana ahli ilmu yang dibuat Allah kaya itu tidak menjadi mulia karena kekayaannya.
Orang yang diberi nikmat ilmu din itu dari sisi dunia pemberian Allah kepada beliau bermacam-macam.
Ada yang disempitkan.
Ada yang dibuat pertengahan.
Ada yang dibuka lebar.
Yang diberi dunia lebih ini semestinya harus lebih hati-hati.
Yang punya mobil bagus, rumah mewah, pekerjaan bergengsi, properti mahal, istri cantik (apalagi lebih dari satu dan cantik-cantik semua), dan seterusnya.
Dalam pandangan saya, di antara bentuk kasih sayang terhadap kaum muslimin yang lemah adalah sedapat mungkin tidak menampakkan hal-hal duniawi seperti itu, berusaha menyembunyikannya, dan sungguh-sungguh berupaya supaya tidak terlihat “memuliakan” dunianya.
Agar tidak membuat iri kaum muslimin yang disempitkan rezekinya. Lalu membuat mereka tamak. Lalu membuat mereka cinta dunia dan lupa akhirat.
Jika Allah membuat dunianya tampak dan diketahui khalayak sekalipun, maka ahli ilmu sedapat mungkin bersikap supaya bisa dipahami bahwa beliau “menghinakan” dunia tersebut.
Supaya dijadikan teladan bahwa hal-hal duniawi seperti itu tidak layak dikejar.
Tidak layak dimuliakan.
Tidak layak dijadikan cita-cita.
Tidak layak dijadikan ukuran kesuksesan.
***
Menghinakan dunia itu tidak bermakna membuang semua dunia tersebut, lalu mengubah diri menjadi orang miskin nan menderita. Tidak juga bermakna dilarangnya menikmati atau memiliki hal-hal mubah yang bagus yang segera disusul oleh syukur. Tidak demikian.
Makna menghinakan adalah memperlakukan dunia seperti yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Yakni, tidak dijadikan tujuan, tidak dibanggakan, tidak dibesar-besarkan, tidak dipamer-pamerkan, tidak gemar menjadikannya sebagai tema penting obrolan, tidak terlalu gembira jika datang, tidak terlalu sedih jika hilang, siap dipakai untuk amal saleh dan semisalnya. Yakni “membangkai”kan dunia sebagaimana dikabarkan dalam hadis Nabi ﷺ bahwa Allah lebih jijik terhadap dunia daripada kita jijik terhadap bangkai.
Yang seperti ini penting, sebab di antara fitnah terburuk ahli ilmu yang menampakkan dunianya adalah membuat sejumlah orang awam jadi tertarik mempelajari ilmu din demi mendapatkan hal-hal duniawi tadi.
Apa tidak sedih kita jika ada orang tua yang misalnya bilang kepada anaknya,
“Ayo nak mondok, belajar agama yang serius, biar hidupmu enak seperti ustaz fulan… mobilnya bagus… istrinya cantik… rumahnya mewah…”
Yang seperti ini akan menghancurkan akhirat anak sekaligus orang tuanya.
Sebab, ilmu din jika dipelajari untuk memperoleh dunia, maka di akhirat tidak akan dapat apa-apa.
Padahal yang sebenarnya terjadi sejumlah ahli ilmu yang kebetulan diberi dunia lebih itu, beliau-beliau bisa jadi tidak pernah mentargetkan hal-hal duniawi yang saat ini beliau nikmati…
Beliau fokus belajar din untuk membuat Allah rida, lalu Allah memberinya bonus dan hadiah tambahan untuk hikmah indah yang dikehendaki-Nya…
Buktinya. tidak semua ahli ilmu yang saleh mendapatkan dunia yang sama.
***
Lamat-lamat saya teringat nasihat Rasulullah ﷺ kepada Mu‘āż bin Jabal. Jika diterjemahkan bebas kira-kira maknanya,
“Hai Mu‘āż, awas! Jangan bergaya hidup mewah. Karena hamba Allah sejati itu tidak seperti itu.”
Memang, menjadi tokoh dan sorotan itu tidak sama dengan orang biasa yang tidak terkenal.
Yang dibuat Allah populer dan menonjol itu harus berhati-hati betul dalam segala tindakannya.
Tidak layak jika minimalis dalam melaksanakan din.
Sebab, jika tokoh agama mencontohkan dan menonjolkan gaya hidup yang mewah (walau mubah sekalipun)–tanpa penjelasan yang memadai–, maka itu secara halus akan menggiring pada kenyamanan terhadap dunia, yang jauh lebih berbahaya adalah dijadikan orang awam sebagai hujah untuk bergaya lebih mewah lagi.
Ahmad meriwayatkan dalam al-Zuhdu,
Artinya,
“Dari Mu‘āż bin Jabal bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya saat mengirimnya ke Yaman, “Awas, jauhilah terlalu banyak menikmati dunia (tana’-‘um), karena hamba-hamba Allah (sejati) itu bukan yang melakukan hal itu!” (al-Zuhdu li Ahmad bin Hanbal)
19 Syawwāl 1444 H/ 10 Mei 2023 pukul 14.24