Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Saat membaca kisah dakwah nabi Musa kepada bani Israel, saya sempat merenung.
Nikmat Allah kepada manusia itu kan sebenarnya banyak. Tapi kenapa pada kasus mengingat nikmat, yang diminta Nabi Musa diingat-ingat oleh Bani Israel adalah nikmat diselamatkan dari kejaran Fir’aun di Laut Nerah, setelah sebelumnya diperbudak Fir’aun, dihinakan, dan disembelihi anak-anak lelakinya?
Allah berfirman,
Artinya,
“(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut Fir‘aun. Mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, menyembelih anak-anakmu yang laki-laki, dan membiarkan hidup (anak-anak) perempuanmu (untuk disiksa dan dilecehkan). Pada yang demikian itu terdapat suatu cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Q.S. Ibrahim: 6)
Tiba-tiba terlemparlah sebuah pemahaman dalam hati bahwa yang demikian itu dikarenakan penyelamatan dari Fira’aun adalah nikmat besar!
Nikmat extraordinary!
***
Dari sini saya menjadi menangkap satu pesan penting.
Betul nikmat Allah itu banyak sekali. Tidak mungkin kita bisa menghitungnya.
Tapi tabiat manusia memang akan lupa dan meremehkan nikmat yang dirasakan banyak dan berkali-kali. Sudah seperti dianggap biasa.
Seperti seorang suami yang tiap hari dilayani istrinya dengan diambilkan makanan, ditemani makan, dll. Semua jasa istri itu jadi terasa biasa karena terlalu sering dan berkali-kali. Tapi begitu salah satu teman wanita yang jarang bertemu mengambilkan makanan dalam sebuah acara, lalu menemani, maka pengalaman itu jadi terasa istimewa dan luar biasa bagi Si Suami. Contoh ini bisa dibalik untuk wanita yang dibaiki teman lelaki.
Peristiwa “extraordinary” dan kelangkaan itulah yang membuat sebuah kebaikan dan jasa menjadi terasa berbeda dan sangat berkesan dalam hati.
Demikian pula dalam sejarah Bani Israel.
Nikmat harian Allah memang banyak.
Tapi nikmat yang sangat besar dan paling berkesan dalam sejarah hidup mereka –karena sudah menyangkut perkara hidup dan mati- adalah nikmat selamat dari pengejaran Fir’aun. Sebab Andai Allah tidak memberi nikmat itu, pasti mereka semua binasa dan tinggal sejarah.
***
Dari sini saya menangkap satu pesan penting untuk kita semua.
Kalau begitu, agar kita lebih mengerti hak Allah sebagai satu-satunya Tuhan sejati yang layak di sembah, agar kita lebih serius menyembah-Nya, agar lebih bisa merasakan besarnya kebaikan Allah, agar kita benar-benar maksimal dalam bersyukur, maka salah satu perintah tersirat dari Allah yang wajib kita amalkan sekaligus kita dakwahkan adalah mengingat kebaikan-kebaikan besar yang diberikan Allah kepada kita.
Saya yakin tiap manusia pasti punya nikmat-nikmat besar itu walaupun dengan kisah yang berbeda-beda. Sebab, pesan Al-Qur’an selalu universal sepanjang zaman.
Nikmat-nikmat besar itulah yang harus selalu diingat-ingat…
Selalu dijadikan sebagai tema nostalgia…
Sering dibicarakan…
Sering diobrolkan…
Sering didiskusikan…
Sering ditafakkuri…
Sering ditadaburi…
Sering direnungi…
Supaya terpicu terus rasa terima kasih kita kepada Allah.
Supaya bertambah lagi ilmu baru dengan tadabbur nikmat tersebut.
Supaya ter-charged kembali baterai iman yang sudah lowbat.
Supaya terkumpul kembali energi dan semangat besar untuk mengabdi kepada-Nya.
Dengan alas pikir inilah, saya ingin bercerita.
Untuk mengamalkan esensi nasihat Allah dalam ayat di atas.
Untuk menunjukkan kebesaran Allah dan kebaikan-Nya.
Agar diketahui hamba-hamba beriman yang ingin mengambil jalan yang sama.
Sehingga memperkuat ketaatan hamba-hamba beriman yang rindu kepada Rabbnya.
***
Begini.
Semenjak saya lahir hingga hari ini ada empat nikmat besar yang sungguh terasa dalam hati dan sangat membekas dalam ingatan.
Dua nikmat bisa saya ceritakan. Sisanya tidak.
***
Nikmat besar pertama adalah diselamatkan dari 4 kali momen diambang kematian.
Ini benar-benar berkesan dalam hidup.
Ingat sekali momen-momen detailnya.
Demikian berkesan dan demikian jelas gambaran peristiwanya, sampai pernah saya tulis dalam catatan khusus di situs irtaqi dengan judul “PENGALAMAN DISELAMATKAN NYAWA”.
Tentu saja saya merasa ini nikmat besar dalam hidup. Sebab siapa saya sekarang jika sebelumnya sudah diwafatkan Allah?
Tidak akan ada cerita tentang saya, kisah tentang saya, tulisan saya, kiprah saya dan semua tentang saya jika diberi umur pendek. Jadi, dipercaya dengan umur lebih panjang saya rasakan sebagai amanah besar yang sampai hari ini saya berusaha agar benar-benar menjalankan amanah itu dengan baik.
***
Nikmat besar kedua adalah dimudahkan memahami bahasa Arab.
Itu adalah titik balik terbesar dalam hidup saya.
Semua perubahan terkait cara memandnag kehidupan, belajar akhlak, belajar ibadah, belajar bergaul dengan orang, dll semuanya diawali dari nikmat Bahasa Arab itu.
Dengan nikmat Bahasa Arab itu seakan-akan bisa “berbincang-bincang” langsung dengan Allah ketika membaca Al-Qur’an.
Dengan nikmat Bahasa Arab itu, saat mengkaji hadis, seakan-akan saya bisa duduk di majelis Nabi ﷺ, mendengarkan petuah-petuah beliau, mencatat ilmu-ilmu penting, dan mengulang-ulang dalam hati kalimat-kalimat emas beliau.
Dengan nikmat Bahasa Arab itu, jika saya bingung makna kata Al-Qur’an, atau frasa atau kalimat atau konteks, maka dengan begitu bebasnya saya bisa memilih ngaji ke ulama-ulama hebat yang ilmunya telah terdokumentasi dengan baik dalam kitab-kitab tafsir.
Saat saya butuh penjelasan cepat ayat Al-Qur’an, saya bisa ngaji ke Jalāluddin al-Maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī.
Saat saya butuh uraian yang lebih panjang, maka saya bisa ngaji ke al-Syaukānī dalam Fatḥu al-Qadīr.
Saat saya butuh segala riwayat sahih dan hasan tentang Al-Qur’an saya bisa segera ngaji ke Ibnu Katsīr dalam tafsirnya.
Saat saya butuh pembahasan istinbat fikih Al-Qur’an, maka saya bisa langsung ngaji ke al-Qurṭubī dalam tafsirnya.
Saat saya ingin tahu rahasia-rahasia bahasa yang indah dari Al-Qur’an maka saya bisa pergi ke “rumah” Ibnu ‘Āsyūr dan ngaji al-Taḥrīr wa al-Tanwīr.
Itu semua bebas saya lakukan kapanpun.
Di manapun.
Tanpa “janjian” dengan guru-guru hebat itu.
Tidak khawatir “mengganggu jadwal sibuk” beliau-beliau.
Saat ngaji pun kalau saya mau juga bebas mau saya hentikan, lalu saya menyelesaikan keperluan saya, lalu 3 jam kemudian melanjutkan ngaji! Semuanya tanpa “dimarahi guru” dan tidak membuat “tersinggung guru!”
Sebuah keistimewaan yang hanya bisa didapat dari ngaji kitab.
Dan pintunya adalah Bahasa Arab.
Demikian pula saat belajar hadis.
Belajar sirah.
Belajar akidah.
Belajar sejarah.
Belajar fikih.
Banyak hal yang mengubah hidup, yang mempengaruhi istri, anak, kawan, saudara, tetangga dan orang-orang yang jauh-jauh yang berawal dari nikmat Bahasa Arab ini.
5 Zulkaidah 1444 H/ 25 Mei 2023 pukul 08.56