Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Diriwayatkan Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Barangsiapa mencibir saudaranya karena sebuah dosa, maka dia tidak akan mati sebelum dia melakukannya.” (H.R. al-Tirmiżī)
Hadis ini dinilai mauḍū‘ oleh al-Albānī. Hanya saja, Murtaḍā al-Zabīdī mengkritik penilaian mauḍū’ tersebut dengan alasan banyaknya syawāhid yang mendukungnya. Misalnya,
- Riwayat sahih dari Rasulullah ﷺ yang melarang mencaci budak yang berzina
- Riwayat Ibnu Mas‘ud yang tidak mau mengejek anjing karena khawatir diubah Allah menjadi anjing
- Riwayat ‘Amr bin Syuraḥbīl yang tidak mau mengejek seseorang yang menyusu langsung pada puting kambing, karena khawatir nanti dia juga dibuat Allah berperilaku bodoh seperti itu
- Riwayat Yahya bin Jabir yang menegaskan bahwa siapapun yang mencibir aib orang lain maka Allah akan mengujinya dengan aib tersebut
- Riwayat Ibrāhīm al-Nakha‘ī yang menolak membicarakan aib dan dosa orang lain karena khawatir diuji dengan dosa yang sama
- Riwayat al-Hasan al-Baṣrī yang bahkan menegaskan bahwa ini sudah menjadi ilmu umum pada generasi salaf, bahwa siapapun yang mencibir dosa orang lain yang dia sudah bertaubat darinya, maka sebelum mati pasti Allah akan menguji pencibir tersebut dengan dosa yang sama.
Dari sekian banyak syawāhid seperti ini nampaknya Murtaḍā al-Zabīdī lebih cenderung pada penilaian al-Tirmiżi yang menghasankan hadis tersebut dan mempercayai bahwa hadis tersebut memang diucapkan Rasulullah ﷺ. Analisis yang semacam ini juga ditegaskan oleh al-Ṣan‘ānī dalam Subul al-Salam. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sampai membuat analisis panjang lebar terkait makna riwayat ini dalam Madārij al-Sālikin yang memberi kesan beliau menghasankan hadis tersebut atau minimal menerima kebenaran maknanya.
***
Adapun maksud mencibir dalam catatan ini maka itu difahami dari lafal arab ‘ayyara (عَيَّرَ) dalam dalil, termasuk lafal tsarraba (ثَرَّبَ), āba (عَابَ), ramā (رَمَى), sakhira (سَخِرَ) dan wabbakha (وَبَّخَ). Yakni menisbahkan aib kepada seseorang. Misalnya mengatakan,
“Cuih. Tidak menyangka rajin sholat tapi berzina.”
“Eh ga nyangka ya, sedekahnya gede tapi berzina juga.”
“Najis. Katanya ngaji, tapi berzina juga.”
“Dasar otak selangkangan. Sok relijius tapi berzina juga.”
Dll
Yakni ucapan yang nadanya mencibir. Yang memberi kesan seakan-akan diri pasti selamat jika di uji ujian serupa. Jadi, ada unsur ujub, merasa istimewa, takabur dan merasa lebih baik di sini.
Orang dengan hati seperti itulah yang ada potensi terjatuh kepada dosa yang sama dengan orang yang dicibirnya.
***
Sikap yang lebih sesuai dalil saat Allah memperlihatkan aib dosa muslim yang lain adalah mawas diri.
Segera berlindung kepada Allah supaya tidak diuji dengan ujian serupa. Baik ujian untuk diri maupun keluarga.
Segera meminta kepada Allah supaya tidak dibuka aib seperti yang dibukakan kepada muslim tersebut.
Senantiasa takut Allah mencabut taufiq pada kita sehingga tidak kuat melawan godaan maksiat, karena tahu Allah itu Maha Membolak-balikkan hati yang Rasulullah ﷺ sendiri bahkan meminta keteguhan supaya tetap berada di jalan-Nya.
Mengatakan kepada diri sendiri, “Akupun jika diuji dengan godaan serupa belum tentu kuat juga, bisa jadi aku lebih parah lagi bermaksiat, dan lebih parah lagi melanggar larangan” untuk menghancurkan ujub, takabur dan merasa lebih baik dari hamba Allah yang lain.
Lalu bersyukur kepada Allah atas nikmat diberi taufiq sampai hari ini untuk tidak tergoda melakukan maksiat, juga mensyukuri tidak diberi ujian berat, juga mensyukuri tidak dibuka aib dan tidak dipermalukan oleh Allah.
Lalu mengambil ibrah, supaya tidak melakukan kesalahan yang sama jika diuji dengan ujian yang mirip atau mendekatinya.
***
Tidak ada seorangpun yang bisa menjamin selamat untuk tidak terperosok dalam lubang dosa.
Sehebat apapun ilmu dan kesalehannya.
Iblis bisa terperosok.
Nabi Adam bisa terperosok.
Hārūt dan Mārūt bisa terperosok.
Sāmiri bisa terperosok.
Qārūn bisa terperosok.
Barṣīṣā bisa terperosok.
Bal‘ām bisa terperosok.
Padahal, hamba-hamba di atas adalah orang-orang hebat. Hamba-hamba Allah yang sebelumnya saleh, tapi melakukan kesalahan hingga terpuruk. Ada yang dihukum saja, tapi ada yang sampai dimurkai Allah dan dihinakan-Nya.
***
Adapun jika aib dan dosa mukmin yang ditampakkan Allah tersebut mengandung unsur kezaliman, maka boleh membicarakannya sebatas untuk menghilangkan kezaliman tersebut di kalangan yang berhak saja, misalnya di depan hakim atau keluarga yang diminta jadi penengah atau ulama yang diminta menjadi konsultan. Tidak boleh melampaui batas. Kalaupun sampai harus ada hukuman, maka hukuman tetap wajib diterapkan, semisal mencambuk atau merajam. Tetapi tetap tidak boleh mencibir, mengejek, dan menghina.
أسألك لهم العافية في الدنيا والآخرة
1 Zulhijah 1444 H/ 19 Juni 2023 pukul 10.28