Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Setelah para nabi, ujian yang paling berat memang yang dihadapi ulama.
Contohnya saja masalah sumber rezeki.
Prinsip terpenting dalam din adalah ikhlas, yakni beramal murni semata-mata karena Allah tanpa mengharap imbalan duniawi apapun.
Dalam berdakwah pun hukum asalnya juga demikian.
Hanya berharap pahala dari Allah semata-mata.
Tidak boleh berharap balasan apapun yang bersifat duniawi, entah uang, perhiasan, pakaian, hadiah-hadiah dan seterusnya.
Rasulullah ﷺ sendiri juga sudah mencontohkan secara maksimal.
Beliau berdakwah dan tidak menarik upah apapun dari umatnya.
Tidak ada iuran wajib yang harus disetorkan kepada Rasulullah ﷺ lalu masuk ke kantong pribadi.
Beliau hanya menerima hadiah-hadiah kecil. Karena itu jelas tidak ditargetkan untuk sebuah jasa besar. Fungsi hadiah hanyalah menguatkan cinta dan kasih sayang saja.
Saat utang pun Rasulullah ﷺ memilih kepada orang Yahudi, karena khawatir jika muslim yang diutangi, maka mereka sungkan sehingga tidak mau menghutangi, tapi malah memberi harta yang banyak.
Ada juga sejumlah mujtahid yang tegas mengharamkan untuk mengambil upah saat mengajarkan din. Di antara mereka adalah Abū Ḥanīfah, al-Zuhri dan Isḥāq bin Rāhawaih. Al-Albānī termasuk kelompok ini, bahkan menguatkan hadis ‘Ubādah bin al-Ṣāmit yang mengancam dengan kalung api neraka terhadap orang yang mengajarkan Al-Qur’an lalu mengambil upah.
***
Di sisi lain, banyak kasus menunjukkan bahwa para dai hampir selalu mendapatkan “amplop” setelah ceramah.
Malahan dalam banyak kasus serius diakadi, dijadikan akad ijarah, dibentuk manajemen dan ada MOU-nya.
Yang membuat bingung atau juga mungkin galau adalah adanya hadis sahih yang menegaskan bahwa merukiah dengan Al-Qur’an adalah jenis jasa yang paling berhak diambil upahnya. Juga ada riwayat lelaki yang menikahi wanita dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an.
Kalau begitu bagaimana mengkompromikan hal-hal ini?
Bagaimana mengkmpromikan kewajiban ikhlas, dalil kebolehan mengajarkan din sebagai ‘iwaḍ/kompensasi akad, dan kebutuhan primer manusia?
***
Hukum asalnya saat dakwah dan mengajar ilmu agama memang harus semata-mata mengharap balasan akhirat saja. Itulah ikhlas sejati.
Adapun jika orang beramal akhirat lalu diberi dunia oleh Allah padahal tidak mentargetnya, maka tidak ada keraguan bahwa yang seperti ini hukumnya halal mengambilnya. Misalnya seperti berjihad karena Allah, lalu Allah memberi kemenangan sehingga mendapatkan harta rampasan. Atau seperti berdakwah karena Allah, lalu ada pendengar yang terkesan lalu memberi hadiah harta yang banyak. Atau berdakwah lalu dapat istri. Berdakwah lalu mendapatkan jabatan. Berdakwah lalu digelari Syaikh, ‘Allamah, Kyai, Ustaz, Tuan Guru dll.
Adapun berdakwah dan berceramah dengan diakadi, maka ada hadis sahih yang memberi kesan kebolehannya, bahkan jumhur ulama termasuk al-Syāfi‘ī memubahkan akad semacam itu, padahal akad seperti itu jelas membuat seseorang mengharap dunia saat mengajar.
Kalau begitu, apakah boleh mengharap uang saat mengajar/berdakwah baik dengan akad maupun tanpa akad? Apakah itu tidak bertentangan dengan keikhlasan? Apakah pahala mengajar/berdakwah bisa hancur gara-gara mengharap uang seperti itu?
Di sini memang ada dua benturan terpenting, yakni keharusan beramal saleh karena Allah dalam amal-amal ukhrawi dan hadis kebolehan mengakadi untuk amal-amal saleh yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain.
Bagaimana memecahkannya?
***
Penjelasan terbaik ulama yang saya dapati terkait problem tersebut adalah sebagai berikut.
Perhatikan niatnya.
Jika full murni 100% mengharap pahala dari Allah saat mengajar, tidak mengharap uang sama sekali, maka itulah yang ideal dan kita akan mendapatkan pahala utuh di akhirat.
Jika full murni 100% hanya mengharap uang saat mengajar, maka hancurlah pahala akhiratnya. Kita hanya dapat uang saja tapi tidak dapat apa-apa di akhirat.
Jika dominan mengharap uang, misalnya 60% atau 70% atau 90%, maka ini masih menghancurkan pahala akhirat. Karena tidak bisa disebut ikhlas.
Jika berimbang antara mengharap pahala akhirat dan mengharap uang, yakni 50%-50% maka, hancur juga pahala akhiratnya. Karena Allah tidak menerima amal yang dicampur motif duniawi.
Tetapi jika yang dominan adalah mengharap pahala akhirat, dan hanya sedikit saja mengharap uang, misalnya 10% atau 20% atau 40% tapi tidak sampai 50 %, maka niat seperti inilah yang masih bisa diharapkan untuk diterima amal salehnya, dan bisa diharapkan Allah memaafkan niat duniawinya tersebut. Apalagi jika dia memang membutuhkan uang tersebut untuk menjaga kehormatannya.
Ciri bahwa niat duniawi tidak dominan adalah tetap konsisten beramal saleh entah target duniawinya dapat ataukah tidak. Ibnu al-Mizyan berkata,
Artinya,
“Adapun jika motivasi agama lebih kuat, maka Al-Muhasibi menghukumi sia-sianya amal tersebut dengan berpegang teguh memakai hadits sebelumnya termasuk juga hadis yang semakna dengannya. Jumhur ulama berbeda pendapat dengannya. Mereka mengatakan amal tersebut sah–mendapatkan pahala.” (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
Kata Imam Ahmad, pahala di akhirat hanya didapatkan berdasarkan kadar niatnya yang kecampuran keinginan duniawi tersebut. Ibnu Rajab menukil,
Artinya,
“Imam Ahmad berkata, ‘Seorang pedagang, seorang pengontrak dan orang yang menyewakan, pahala mereka sesuai dengan kadar kemurnian niat mereka dalam peperangan mereka. Itu tidak seperti orang yang berjihad dengan jiwanya dan dengan hartanya yang tidak dicampuri apapun selain itu.” (Jāmi‘u Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam juz 1 hlm 83)
Sampai di sini, bisakah Anda merasakan betapa tidak mudahnya ujian yang harus dilewati oleh seorang ulama?
***
Oleh karena itu, yang paling ideal seorang ulama memang semestinya punya sumber penghasilan khusus yang benar-benar tidak terkait dengan aktivitas dakwahnya semisal berdagang, menukang, menjual jasa halal dan semisalnya. Seperti Nabi Dawud yang walaupun raja, tapi tetap makan dari hasil tangan beliau sendiri. Juga seperti Salmān al-Fārisī yang walaupun gubernur tetap membuat keranjang untuk memberi makan keluarganya.
Jika tidak mampu, maka sedapat mungkin mengusahakan hanya menerima “amplop” yang berasal dari baitul mal/harta publik atau harta wakaf. Sebab jika berasal dari harta publik, maka tidak bisa dihukumi ujrah/upah tapi sekedar al-I‘ānah ‘alā al-ṭā‘ah (bantuan untuk melakukan ketaatan). Seperti Abu Bakar yang hendak berdagang tapi dicegah Sahabat agar fokus mengurus pemerintahan lalu diberi harta dari Baitul Mal. Ini sama sekali tidak ada celaan.
An-Nawawi adalah contoh ulama yang selalu mendapatkan gaji rutin dari aktivitas beliau mengajar. Beliau tidak mengingkari hal itu dan tidak memandangnya bertentangan dengan keikhlasan atau menghancurkan pahala amal saleh. Hanya saja, sikap beliau yang sungguh warak membuat beliau tidak mengambil sepeser pun harta tersebut. Al-Daqr berkata dengan mengutip As-Subki sebagaimana ditulis oleh An-Nu’aimi dalam kitab Ad-Daris Fi Tarikhi Al-Madaris sebagai berikut,
Artinya,
“Beliau mengajar di Darul Hadits Al Asyrofiyyah dan tempat-tempat yang lainnya dan beliau tidak mengambil (gaji/upah/tarif) sepeser pun.”
Jika tidak mampu, barulah mengakadi aktivitas dakwahnya, tapi tetap dalam kerangka sedapat mungkin harapan mendapatkan uang itu tidak menjadi motivasi dominannya saat mengajar. Supaya tidak habis pahala akhiratnya dan masih ada harapan mendapatkan balasan di sisi Allah.
5 Zulhijah 1444 H/ 23 Juni 2023 pukul 08.22
***
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhārī, Abū ‘Abdullāh Muḥammad bin Ismā‘īl. Ṣaḥīh Al-Bukhārī. Edited by Muḥammad Zuhair al-Nāṣir. 1st ed. Vol. 7. 9 vols. Beirut: Dār Ṭauq al-Najāh, 2001.
Al-Daqr, Abdul Ghoni. Al-Imam An-Nawawi Syaikhu Al-Islam Wa Al-Muslimin Wa ‘Umdatu Al-Fuqoha’ Wa Al-Muhadditsin. 4th ed. Damaskus: Dar Al-Qolam, 1994.
Al-Nawawī, Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syaraf. Syarḥu Al-Nawawī ‘alā Ṣaḥīh Muslim. Vol. 14. 18 vols. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāts al-‘Arabī, 1972.
Ibnu al-Mizyan, Abū al-‘Abbās Aḥmad bin ‘Umar bin Ibrāhīm al-Qurṭubī. Al-Mufhim Li Mā Asykala Min Talkhīṣi Kitābi Muslim. 1st ed. Vol. 3. 7 vols. Beirut: Dār Ibn Katsīr, 1996.
Ibnu Rajab, al-Ḥanbali. Jāmi‘ al-‘Ulūm Wa al-Hikam. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001.