PERTANYAAN
“Saya ingin poligami. Tapi ibu saya melarang. Beliau punya trauma karena pernah dipoligami ayah dengan cara yang kurang baik. Rumah tangga saya dengan istri sebenarnya baik-baik saja. Kami keluarga yang harmonis biḥamdillāh. Tetapi, jika saya poligami, ada kemungkinan terjadi guncangan hebat pada istri yang sangat mencintai saya. Apa yang harus saya lakukan?” (Fulan, somewhere)
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jawaban singkatnya adalah jangan poligami, dan taatlah kepada ibu. Hukum yang sama berlaku jika yang melarang adalah ayah. Jika orang tua sudah wafat atau berubah menjadi tidak melarang, barulah tidak ada lagi keharusan menahan diri dari poligami.
Penjelasannya sebagai berikut.
Hak orang tua itu besar. Jangankan dalam perkara mubah, perkara syubhat sekalipun berdasarkan penjelasan al-Gazzālī dalam kitab Iḥyā’ Ulūmiddin hukumnya wajib menaati orang tua.
Apalagi dalam perkara ikhtilaf. Lebih kuat lagi kewajibannya menaati orang tua.
Apalagi dalam perkara mubah. Lebih kuat lagi kewajibannya menaati orang tua.
Poligami hukum asalnya adalah perkara mubah. Jika berbenturan dengan perintah orang tua, maka ketaatan kepada orang tua harus didahulukan.
Definisi durhaka kepada orang tua adalah melakukan apapun yang membuat orang tua tersakiti, dengan level tersakiti yang tidak ringan. Padahal perbuatan yang dilakukan anak itu bukan perkara wajib. Jika poligami yang hukumnya mubah terbukti sangat menyakiti ibu, maka perbuatan tersebut sudah termasuk jenis durhaka kepada ibu. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Adapun durhaka kepada orang tua, maka batasannya adalah setiap perbuatan yang dilakukan anak yang membuat orang tua tersakiti (atau perasaan semakna) dengan level tersakiti yang tidak ringan, padahal perbuatan yang dilakukan tersebut bukan perkara wajib.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 5 hlm 389)
Dikecualikan di sini satu kondisi:
Lelaki tersebut cinta setengah mati kepada wanita tersebut, lalu khawatir sampai berzina atau rusak akalnya jika tidak menikah dengannya. Dalam kondisi ini menikah sudah menjadi wajib hukumnya. Karena itu, ada dua benturan dalam situasi tersebut yakni kewajiban menjaga kehormatannya dan kewajiban menaati ibu. Berdasarkan dalil, menikah harus diutamakan walaupun menyakiti ibu. Sebab, menjaga kehormatan harus didahulukan daripada menaati orang tua dengan bukti larangan adanya ‘aḍl (العضل) dalam pernikahan. Yakni, orang tua tidak boleh menghalangi anak menikah dengan orang pilihannya jika mereka telah saling mencintai dan saling rida sementara tidak ada penghalang syar’i semisal kekafiran yang mengharuskan pernikahan tersebut dicegah.
Setelah terjadi pernikahan yang hukumnya sudah wajib itu, anak harus berjuang keras membuat ibu rida.
7 Zulhijah 1444 H/ 25 Juni 2023 pukul 04.58