Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ada orang memaafkan tapi butuh imbalan untuk dirinya sendiri, yakni menjaga kesehatan jiwanya.
Dia merasakan memelihara benci dan dendam justru malah merusak psikisnya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk memaafkan. Memaafkan bukan demi orang yang menyakitinya, tapi demi menjaga kesehatan mentalnya sendiri.
Ada pula yang memaafkan dengan memberikan syarat, yakni jangan mengulangi lagi. Yang seperti ini biasanya berpikir percuma memberi maaf, jika masih diulang lagi. Sebab, pasti akan tersakiti lagi. Jadi dia mau memberi maaf dengan syarat diberi imbalan, yakni tidak mengulang kesalahan sehingga tidak terulang pula sakit hatinya.
Adapula jenis memaafkan karena menghindari masalah yang lebih besar. Daripada makin rame, atau makin tegang, atau tambah besar konflik, atau bahkan bisa membahayakan nyawa, lebih baik melupakan dan memaafkan. Memaafkan jenis ini juga jenis memaafkan yang butuh imbalan, yakni keamanan dan kenyamanan dirinya.
Adapun sebaik-baik memaafkan, maka itu adalah maaf yang diberikan sementara matamu tertuju kepada Allah. Yakni memaafkan karena berharap Allah memaafkanmu. Sebab engkau butuh dimaafkan Allah sebagaimana orang yang bersalah kepadamu juga butuh maaf darimu. Engkau ngeri memperhitungkan kesalahan orang lain dan berniat membalas kejahatan itu sekecil-kecilnya sebagaimana ngerinya dirimu diperhitungkan dosa-dosamu lalu dibalas sekecil-kecilnya.
Memaafkan ikhlas karena Allah seperti inilah yang dipuji dalam Al-Qur’an,
Artinya,
“Dan orang-orang yang memaafkan orang lain. Allah itu cinta kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Ali Imran: 134)
Semua motif memaafkan jika duniawi maka mukmin maupun kafir bisa melakukannya. Tapi memaafkan yang ikhlas karena Allah hanya mukmin yang bisa melakukannya.
CATATAN
Memaafkan adalah akhlak mulia, bukan wajib hukumnya. Jika orang memutuskan untuk tidak memaafkan dan ingin menuntut hak, baik di dunia maupun di akhirat maka itu mubah. Jika memilih memaafkan, maka wajib melakukannya dengan ikhlas, yakni semaat-mata karena Allah, bukan karena mentarget motif duniawi.
***
Adapun kalimat “Memaafkan, tapi tidak melupakan” maka kalimat ini bukan anjuran syariat. Memaafkan itu bahasa Arabnya ‘afā-ya‘fu (عفا-يعفو) yang dalam Al-Qur’an bermakna memaafkan yang sifatnya menghapus.
Orang Arab menyebut ungkapan angin menghapus jejak di padang pasir itu pakai kata ‘afat al-riyāḥ (عفت الرياح).
Jadi namanya memaafkan ya mestinya menghapus dari kenangan.
Itu yang dipuji dalam dalil.
Jika masih ingat, maka manusiawi. Masih bisa disebut ikhlas.
Tapi usahanya adalah melupakan, sampai seperti terlupa atau benar-benar hilang.
***
Adapun pertanyaan apakah mungkin memaafkan tapi tidak melupakan? Bagaimana cara melatihnya? Bukankah Allah memberikan kita organ “otak” Untuk mengingat semua memori dan kenangan yang sudah lampau? Maka jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Allah menciptakan memori tapi juga menciptakan lupa.
Lupa adalah jenis rahmat Allah juga, karena bisa melupakan persitiwa traumatik benar-benar melegakan penyintasnya.
Dzat yang memerintahkan memaafkan sudah pasti sekaligus bermakna menciptakan kemampuan pada manusia agar sanggup melakukannya. Karena tidak mungkin taklif di luar kuasa manusia.
Fakta bahwa kita banyak lupa peristiwa-peristiwa tidak enak di masa lalu menunjukkan lupa itu mungkin terjadi dan melupakan juga mungkin dilakukan.
Di antara teknik melupakan adalah mengingat-ingat kebaikan orang yang menyakiti, sekecil apapun.
Bisa jadi dengan usaha keras melupakan itu maka Allah memberikan bantuannya untuk melupakan, atau paling tidak meringankannya.
2 September 2023/ 16 Safar 1445 H pukul 09:06