Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Sungguh, saat aku memberi makan kucing, lalu dihatiku ada perasaan berharap kucing jadi mengingat kebaikanku, lalu menjadi menyayangiku, maka aku khawatir itu sudah termasuk riyā’!
***
Menjaga hati memang berat. Tahu ilmunya saja belum tentu mudah melaksanakan, apalagi tidak tahu ilmunya. Seandainya masalah riya’ ini kecil maka tidak mungkin sampai ada perumpamaan dari Nabi ﷺ bahwa riya’ lebih samar dari semut hitam di batu hitam di malam yang gelap gulita
Melupakan kebaikan adalah di antara teknik menghindari sum’ah. Tapi kalau riya’, maka harus menata hati berulang-ulang karena itu ujian saat amal saleh dilakukan.
Adapun jika kita beramal ke kucing liar misalnya, terus kita membisikkan doa seperti ini, “Cing doa kan ya biar…dan…” atau misal kita berdoa dengan wasilah amal kita terhadap kucing tersebut maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Yang mungkin berbicara dengan hewan dan difahami hewan hanyalah Nabi Sulaiman atau nabi-nabi yang diizinkan Allah.
Adapun kita sebagai manusia biasa, saya belum tahu dalil yang menunjukkan hewan bisa memahami ucapan kita.
Ada riwayat ikan di lautan mendoakan orang yang menuntut ilmu. Tapi tidak ada syariat meminta hewan mendoakan kita.
Jadi fokus saja ikhlas karena Allah. Biar Allah yang menangani seluruh kebutuhan kita walaupun tidak dimintakan.
***
Adapun riwayat para sahabat yang ketika mereka bersedekah fii sabilillah kemudian mereka gembira saat melihat reaksi Rasulullah (SAW) yang gembira akan hal itu, maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Para sahabat berhak bergembira jika Rasulullah ﷺ bergembira karena mereka bisa memastikan berarti mereka sudah berada di jalan yang lurus dan amal mereka valid sebagai amal saleh. Bahkan mereka juga bisa berharap bahwa amal mereka telah diterima Allah karena seluruh ucapan perbuatan dan sikap Rasulullah ﷺ semuanya atas bimbingan wahyu.
Adapun sikap selain Rasulullah, maka tidak mencerminkan kehendak Allah dan tidak memberitahu alam malakut.
***
Adapun jika kita mengurus memberi makan anak-anak kita dengan berharap anak kita bisa berbakti kepada kita dan jariyah amal kita, maka ini jangan dilakukan.
Sama sekali jangan berharap apapun sebagai imbal balik ke anak. Berharap membalas kebaikan kita, berbakti, mengurus di masa tua, ingat kebaikan ortu dll. Cukup memahami mereka adalah amanah dari Allah, yang wajib diurus, dinafkahi, dididik supaya saleh, diselamatkan dari neraka. Balasan semata-mata hanya berharap dari Allah.
Jika berharap mereka sebagai amal jariyah, berharap ia akan menjadi anak saleh lalu amalnya juga ter-copy ke kita, maka itu ihtisab benar. Selama harapannya balasan di akhirat, maka itu masuk definisi ikhlas. Yang bertentangan jika berharap balasan duniawi
Adapun jika bekerja niat melayani orang agar mereka puas dan senang karena itu perintah Allah dan nanti akan dapat imbalan berupa uang atau barang, maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Jika semua gerak kita didorong atas perintah Allah, maka itulah ikhlas. Misal: Jika berusaha membaiki orang tua karena tahu Allah memerintahkan kita membaiki orang tua. Inilah ikhlas sejati. Tetapi jika motivasinya adalah membanggakan orang tua, maka itu beramal karena makhluk.
Bedanya: beramal karena Allah tidak menunggu apresiasi makhluk. Beramal karena manusia menunggu apresiasi makhluk.
Bahkan bekerja mencari nafkah pun juga bisa menjadi amal saleh. Yakni ketika niatnya menjaga kehormatan, agar tidak mengemis, tidak menjadi beban orang lain dan tidak terhina karena kita tahu Allah sangat senang dengan hamba-Nya yang menjaga kehormatan. Yang seperti ini mengharap upah dari pekerjaan kita adalah harapan yang benar karena jenis mengharap karunia Allah melalui jalan bekerja yang halal.
18 Oktober 2023/ 3 Rabi’u al-Tsānī 1445 H pukul 13.26