Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Allah bersumpah akan menghisab dan menanyakan semua nikmat yang diberikan-Nya di dunia.
Tapi dalam ayat lain Allah menegaskan kita tidak akan sanggup menghitung seluruh nikmat-nikmat-Nya saking banyaknya.
Kalau begitu bagaimana caranya berterima kasih kepada Allah atas semua nikmat itu dengan syukur yang benar agar selamat saat di hisab?
Bagaimana Anda memahami dan mengkompromikan dua ayat tersebut?
***
Memang secara aqli mustahil bisa menunaikan hak syukur kepada Allah.
Karena terlalu banyak nikmat-Nya.
Andai satu teguk air saja harganya adalah bersujud selama 1 jam, niscaya tidak cukup umur kita untuk mensyukuri tiap tetas air yang kita minum.
Andai nikmat penglihatan 1 jam harganya juga rukuk satu jam, niscaya kita juga tidak akan sanggup menunaikan hak syukur itu.
Andai nikmat satu gigi sehat (yang pernah sakit gigi atau kena impaksi/tumbuh gigi bungsu akan merasakan betul nikmatnya satu gigi yang sehat dan tumbuh normal) harganya bertasbih 10.000 perhari, sudah pasti kita tidak akan kuat menunaikan semua hak syukur itu.
Sementara kekuatan mensyukuri Allah pun juga dari Allah.
Jadi untuk bersyukur pun kita masih tetap butuh nikmat Allah!
***
Beruntung sekali Allah tidak menuntut dari kita seberat itu, karena pasti juga tidak akan mampu.
Kata para ulama, nikmat apapun jika sudah dilakukan dua hal maka itu sudah dikatakan bersyukur secara minimal:
Pertama; I’TIROF
Kedua: TAHMID
Maksud i’tirof adalah pengakuan. Yakni mengakui nikmat tersebut dari Allah.
Maksud tahmid adalah memuji dan menyanjung Allah dengan lisan.
Misalnya kita lapar, lalu dapat rezeki bisa makan, kemudian kenyang.
Di akhir makan kita mengakui bahwa nikmat itu adalah dari Allah, lalu menyanjungnya, dan mengucapkan alhamdulillah, maka itu sudah cukup dan Allah rida. Buktinya ada hadis bahwa Allah rida hamba-Nya setelah makan dna minum lalu memuji-Nya.
Ada atsar lugas tentang hal ini. Nabi Musa bertanya kepada Allah, bagaimana cara Nabi Adam bersyukur kepada Allah dengan nikmat yang demikian besar yang beliau terima seperti langsung diciptakan Allah dengan Tangan-Nya, ditiupkan ruh dari-Nya, ditempatkan di surga-Nya dan memerintahkan malaikat bersujud kepadanya. Lalu Allah menjawab: cukup dengan i’tiraf/pengakuan, yakni mengetahui itu semua dari Allah, lalu memuji Allah. itu sudah menunaikan hak syukur,
Lebih sempurna lagi jika semua nikmat itu dipakai untuk beramal saleh semampu kita. Seperti Rasulullah ﷺ yang salat malam sampai kaki beliau bengkak.
Oleh karena itu indah sekali memang tahmid yang berbunyi, hamdan yuwāfī ni’amahu wa yukāfi’u mazidahu. Karena itu bermakna kita ingin memuji Allah sebanyak nikmat yang diberikan-Nya dan sepadan dengan tambahan nikmat yang diberikannya setelah kita mensyukurinya. Karena janji Allah adalah setiap bersyukur maka akan ditambah nikmat, sehingga kita terkena kewajiban bersyukur lagi. Lalu setelah bersyukur, Allah tambah lagi. Demikian seterusnya sampai seakan-akan deret ukur yang jumlahnya semakin membesar, semakin menggembung dan semakin banyak. Maka akan semakin mustahil untuk menunaikan hak syukur itu, sehingga yang bisa kita lakukan hanyalah memujiNya sepantas banyaknya nikmat yang diberikan-Nya dan tambahan yang ditambahkan-Nya. Wallahua‘lam.
18 November 2023/ 5 Jumādā al-Ūlā 1445 H pukul 11.56