Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Bani Isrā’īl adalah keturunan Nabi Ya’qūb. Bani bermakna anak-anak/keturunan. Berarti Bani Isrā’īl bermakna keturunan/anak-anak Isrā’īl. Isrā’īl adalah gelar Nabi Ya’qūb1. Kata Ibnu Abbās, Isrā dalam bahasa Ibrani bermakna abdun/hamba2. Īl adalah salah satu nama Allah. Jadi, Isrā’īl bermakna hamba Allah/Abdullah. El/il dalam bahasa Ibrani kalau Arab-nya yang paling dekat adalah lafaz Allah atau al-Ilah, yakni Zat yang berhak disembah. Di kitab suci Yahudi/Perjanjian Lama, asal-usul mengapa Nabi Ya’qūb digelari Isrā’īl/Israel beda lagi. Dengan penjelasan semacam ini, umat Islam seyogyanya lebih berhati-hati jika mengecam Israel yang saat ini dipakai sebagai nama negara. Lebih aman memakai istilah al-Yahud, Yahudiyyah, Yahudi atau Zionis. Nabi Ya’qūb punya 12 anak yang mana salah satunya adalah Nabi Yusuf. 12 anak ini inilah yang masyhur disebut dengan istilah asbāṭ (الأسباط). Seluruh orang Bani isrā’īl nasabnya kembali ke 12 anak Nabi Ya’qūb ini3.
Adapun sebutan Yahudi (اليَهُوْدُ /اليَهُوْدِيَّةُ), maka itu menunjuk pada agama mereka. Jadi, Banī Isrā’īl adalah sebutan untuk ras, sementara Yahudi adalah sebutan untuk agama. Agama mereka disebut Yahudi diambil dari kata hāda-yahūdu yang bermakna tobat, sebagaimana disitir dalam surat al-A’rāf ayat 1564. Jadi, sebutan Yahudi itu aslinya berkonotasi postif, karena menunjukkan semangat tobat. Pendapat lain: Dinisbahkan pada salah satu asbāt yang bernama Yahūża.
Awalnya mereka kaum yang dimuliakan Allah. Sebab, bagaimanapun juga asal-usul mereka adalah keturunan nabi yang mulia. Tapi setelah jauh dari kitab suci, maka mereka dihukum berkali-kali. Kesempatan terakhir mereka disuruh tobat dengan mengimani nabi terakhir yakni Nabi Muhammad, tapi mereka menolak karena maunya mereka nabi terakhir harus dari kalangan Bani Isrā’īl. Mereka tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah karena dengki saja. Sejak awal berharap nabinya muncul dari mereka. Karena itu sejumlah Yahudi sengaja pindah ke Yatsrib/Madinah karena tahu bahwa nabi akan dibangkitkan di negeri itu berdasarkan ilmu yang diajarkan nabi-nabi mereka. Jadi mereka berharap salah satu keturunan mereka yang jadi nabi. Saat mereka berseteru dengan suku Aus dan Khazraj juga sering nyebut-nyebut nabi yang akan di bangkitkan di tengah-tengah mereka. Maka alangkah kaget, marah dan dengkinya setelah tahu Allah memilih Arab. Akhirnya Allah murka, melaknat mereka dan memastikan nasib mereka di akhirat di neraka, kekal di dalamnya5.
Adapun informasi bahwa Nabi Muhammad akan datang dari bangsa Arab, nampaknya yang dikenal mereka hanya lokasi dan namanya saja. Mungkin itu yang memunculkan syubhat sehingga mereka berharap nabi di angkat dari kalangan Bani Israel. Jika merujuk pada kisah Salman al Farisi masuk Islam, bisa disimpulkan wahyu yang turun kepada Nabi Isa atau bahkan sebelum Nabi Isa terkait ciri-ciri nabi terakhir yang menyebar adalah; muncul di tanah Arab, akan bermigrasi dari tempat kelahirannya menuju tempat yang berbatu hitam dan banyak kurmanya, mau makan hadiah, menolak makan sedekah, dan di pundaknya ada tanda kenabian6.
Ajaran agama mereka sangat dekat dengan Islam. Mereka ahli tauhid dan anti politeisme. Mereka mengimani Allah, malaikat, nabi-nabi, kitab suci, malaikat, hari akhir, hari penghisaban, surga, dan neraka. Salatnya pun sangat mirip dengan salat umat Islam. Perbedaan mereka dengan umat Islam yang terbesar hanya satu: Umat Islam mengimani nabi terakhir yakni Nabi Muhammad, tapi mereka mengkufurinya. Adapun informasi dalam Al-Qur’an bahwa orang Yahudi mengatakan Nabi Uzair anak Allah, maka itu sebagian oknum Yahudi di zaman Nabi ﷺ, bukan keseluruhan. Nampaknya sekarang sekte itu juga sudah tidak ada. Secara umum, mereka tetap monoteis7.
Bukan hanya din-nya yang mirip, bahkan sejarah umatnya juga mirip. Ada atsar dari Ibnu Mas’ud yang meramalkan bahwa sejarah umat Islam akan meniru sejarah Yahudi pelan-pelan. Ini bermakna, jika Yahudi pernah berkuasa dan jaya lalu hancur, maka umat Islam juga akan hancur terpecah belah setelah jaya. Jika Yahudi terpecah menjadi banyak golongan dan saling mengkafirkan, maka umat Islam juga akan terpecah dan saling mengkafirkan.
Penyakit-penyakit tadayyun yang pernah menimpa Yahudi juga sangat mungkin akan diulang lagi oleh Umat Islam. Barangkali ini hikmah mengapa kisah Bani Israel diulang-ulang banyak dalam al-Qur’an. Ibnu Mas‘ūd berkata8,
Artinya,
“Kalian (wahai umat Islam) adalah umat yang paling mirip dengan bani Israel dalam hal ciri kesalehan dan (tipe) petunjuk. Kalian akan menempuh jalan mereka sebulu panah-demi sebulu panah dan sesandal-demi sesandal.” (H.R.Ibnu Abī Syaibah)
Latar belakang pendirian negara Israel sebenarnya berangkat dari keinginan “membangkitkan” kembali umat Yahudi dari keterpurukan setelah sebelumnya terdiaspora dan terpecah-belah. Yakni mengulang masa kejayaan Nabi Sulaiman yang menjadi negara adidaya dan menguasai dunia. Mereka mendirikan Israel untuk menyambut Sang Mesias yang akan memimpin mereka menjadi mercusiar dunia dengan ibukota di Yerusalem. Perhatikan betapa miripnya dengan keinginan sebagian orang Islam yang ingin membentuk pemerintahan dunia untuk mengulang kembali masa kejayaan di masa lalu9. Persis seperti yang diramalkan dalam atsar Ibnu Mas’ud.
Ide mengejar kejayaan sebenarnya terlihat lebih dominan pertimbangan akal. Juga keinginan duniawi. Kalau dalil, maka belum belum didapati dasar yang melandasinya. Karena jika memang ada dalil khusus terkait mengejar kejayaan, sudah pasti sejak dulu para ulama mujtahidin akan mengajarkan kepada umat dan mewariskan ilmu tersebut agar jadi panduan hidup. Sering kali yang tampak adalah menyetempel keinginan akal itu dengan dalil. Bukan memahami dalil apa adanya. Jika berdasarkan dalil, umat Islam sebenarnya sudah cukup mengejar hidup dengan benar demi mendapat rida Allah. Perkara dapat kejayaan duniawi ataukah tidak semuanya dipasrahkan kepada Allah10.
Jika dikaitkan dalam konteks konflik Palestina dan Israel saat ini, maka dukungan terhadap Palestina sudah dilakukan umat Islam saat ini di seluruh dunia semampu mereka. Bantuan logistik, tekanan politik, boikot, dan semisalnya. Ada pula yang membantu dalam bentuk perjuangan opini dan mendoakan saja. Yang demikian tidak boleh dicela dan tidak boleh dituduh seolah membiarkan. Bedakan antara tidak mampu dan tidak peduli. Rasulullah ﷺ menolong wanita yang dihinakan Yahudi saat di pasar dengan mengirim pasukan. Tapi saat Rasulullah ﷺ tidak mampu menolong keluarga Yasir, maka beliau hanya mendoakan11. Padahal, bisa saja beliau mengorganisir mukmin di Mekah untuk melawan dengan aksi militer. Tapi tidak dilakukan beliau karena itu tidak bijak dan bisa menghancurkan dakwah beliau, juga karena beliau belum punya kekuatan yang layak untuk aksi fisik.
Adapun gagasan meminta minta umat Islam bersatu di bawah naungan khilafah untuk menyelesaikan masalah Palestina, maka ini ahistoris sekaligus anormatif. Mendirikan khilafah itu tidak sesimpel yang diajarkan sebagaian kelompok umat Islam. Batasan-batasannya banyak dan fitnahnya besar. Syarat khalifah, kata ulama harus mujtahid12, hanya ahlul bid’ah yang mengatakan tidak harus mujtahid. Satu syarat ini saja sudah tidak mungkin terpenuhi di zaman ini karena tidak ada mujtahid zaman sekarang. Pembicaraan penegakan khilafah kata para ulama juga hanya boleh dilakukan mujtahid, calon khilafah dan ahlul halli wal aqdi. Saat ini juga tidak mungkin dilakukan. Para ulama ahlussunnah juga mengingatkan jangan membesarkan isu khilafah karena fitnahnya besar. Jadi, ide khilafah saat ini justru berpeluang merusak serta menggembosi perjuangan rakyat Palestina. Lagi pula, fakta Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan al-Quds itu tidak pakai khilafah. Ini menunjukkan ajaran “hanya khilafah pembebas al-Quds” adalah pernyataan yang tidak ada realita sejarahnya. Di antara buku yang direkomendasikan untuk mempelajari sejarah yahudi yang cukup bagus adalah kitab al-Yahudiyyah karya dr. Ahmad Syalabi. Sudah diterjemahkan dengan judul, Sejarah Yahudi Dan Zionisme oleh Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Rupanya, buku ini diterima bagus di dunia Arab karena dicetak berkali-kali.
20 November 2023/ 7 Jumādā al-Ūlā 1445 H pukul 14.57
Catatan Kaki
- Muḥammad al-Ṭāhir bin Muḥammad al-Tūnisī Ibnu ‘Āsyūr, Al-Taḥrīr Wa al-Tanwīr/Taḥrīru al-Ma‘nā al-Sadīd Wa Tanwīru al-‘Aqli al-Jadīd Min Tafsīri al-Kitāb al-Majīd, vol. 10 (Tunisia: al-Dār al-Tūnisiyyah, 1984), 450.
- Abū ‘Abdūllāh Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ Li Aḥkāmi al-Qur’Ān/Tafsīr al-Qurṭubi, 2nd ed., vol. 13 (Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1964), 331.
- Muhammad bin ‘Ali Al-Syaukānī, Fatḥu Al-Qadīr al- Jāmi‘ Baina Fannai al-Riwāyah Wa al-Dirāyah Min ‘Ilmi al-Tafsīr, 1st ed., vol. 1 (Beirut: Dār al-Kalim al-Ṭayyib, 1993), 170.
- Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar al-Dimasyqī Ibnu Katsīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī Muhammad al-Salāmah, 2nd ed., vol. 3 (Beirut: Dār Ṭaibah, 1999), 481.
- Jalaluddin Al-Suyūṭī and Jalaluddin al-Maḥallī, Tafsīr Jalālain (Kairo: Dār al-Ḥadīṣ, n.d.), 152.
- Abū Abdullāh bin Hanbal al-Syaibānī Aḥmad, Musnad Aḥmad, 1st ed., vol. 39 (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1995), 144.
- Ibnu ‘Āsyūr, Al-Taḥrīr Wa al-Tanwīr/Taḥrīru al-Ma‘nā al-Sadīd Wa Tanwīru al-‘Aqli al-Jadīd Min Tafsīri al-Kitāb al-Majīd, 10:168.
- Abū Bakr Ibnu Abī Syaibah, Al-Kitāb al-Muṣannaf Fī al-Aḥādīṡ Wa al-Āṡār/Muṣannaf Ibni Abī Syaibah, vol. 7 (Riyadh: Maktabah al-Rusydi, 1988), 479.
- Muhammad bin ‘Ali Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Hidāyatu Al-Ḥuyārā Fī Ajwibati al-Yahūd Wa al-Naṣārā, ed. al-Haj, 1st ed., vol. 2 (Jedah: Dar Al-Qolam, 1996), 423.
- Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ Li Aḥkāmi al-Qur’Ān/Tafsīr al-Qurṭubi, 13:320.
- Abū Muhammad Abdul Malik bin Hisyām Ibnu Hisyām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah, ed. Ṭāhā ‘Abdur Ra’ūf Sa’ad, vol. 1 (Kairo: Syirkatu al-Ṭibā’ah al-Fanniyyah al-Muttaḥidah, n.d.), 279.
- Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syaraf Al-Nawawī, Rauḍatu Al-Ṭālibīn Wa ‘Umdatu al-Muftīn, 3rd ed., vol. 10 (Beirut: Al-Maktab al-Islamī, 1991), 42.