Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
‘āmil (العَامِلُ) itu ada yang sangat jelas dan sangat mudah diidentifikasi.
Misalnya harf jarr. Kata sesudahnya pasti dikasrah/kasratain. Misalnya,
Kata fī sebagai ‘āmil yang membuat i’rāb jarr (الْجَرُّ) sangat mudah diidentifikasi.
Termasuk mudah diidentifikasi adalah fi’il yang menashabkan maf’ul bih dan muḍāf yang memajrurkan muḍāf ilaih.
Oh ya, maksud āmil di sini adalah KATA YANG MEMPENGARUHI i’rab kata lainnya.
***
Tetapi ada pula ‘āmil yang agak samar.
Misalnya ‘āmil yang berupa isim fā’il. Kita ambil contoh kalimat berikut ini,
Artinya,
“Ali berkhutbah seraya mengeraskan suaranya”
Pada kalimat di atas, kata ṣaut (صوتَ) pada frasa ṣautahū (صوتَهُ) berposisi sebagai maf’ul bih.
‘āmilnya mana?
‘āmilnya adalah kata rāfi’an (رافعاً).
Jadi ‘āmil yang bekerja pada maf’ūl bih itu tidak selalu fi’il. Bisa juga isim fā’il seperti kalimat di atas.
***
Nah, setelah kita memahami konsep di atas, sekarang menjadi lebih mudah dipahami makna bait ke 19 nazham al-‘Imrīṭī berikut ini,
Pada bait di atas, kata man berposisi sebagai maf’ūl bih dengan ‘āmil kata nāfi’an sebelumnya. Mengingat kata nāfi’ itu berasal dari kata nafa’a yang mengandung makna muta’addi yakni “memberi manfaat”, maka kata nāfi’an jelas membutuhkan obyek penderita. Nah, obyek penderitanya dalam bait tersebut adalah kata man. Si Man inilah yang diharapkan al-‘Imrīṭī diberi Allah manfaat ilmu yang terkandung dalam nazham al-‘Imrīṭī .
Dengan demikian terjemahan bait di atas adalah sebagai berikut,
“dan agar Dia (Allah) memberi manfaat dengan ilmu (yang ada di dalam) nya, (yakni memberi manfaat kepada orang) YANG memberi perhatian (dengan cara) menghafal dan memahaminya.”
Kajian I’rab lebih lengkap bait ke 19 lebih lengkap dinikmati di KANAL MUNTAHA di Youtube. Atau di sini.
5 Desember 2023/ 22 Jumādā al-Ūlā 1445 H pukul 08.15