Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Dulu Iblis diuji Allah apakah bisa menerima keutamaan Nabi Adam di banding dirinya, tapi ternyata gagal.
Qābīl juga diuji Allah apakah bisa menerima keutamaan Hābīl, ternyata gagal.
Saudara-saudara Nabi Yusuf di masa muda juga diuji Allah apakah bisa menerima keutamaan Nabi Yusuf, ternyata mereka gagal, walaupun akhirnya tobat di masa tua.
Yahudi diuji Allah apakah bisa menerima keutamaan Arab dibandingkan Bani israel, tapi mereka gagal.
***
Demikianlah.
Seakan sudah menjadi sunatullah, bahwa kita masing-masing akan diuji apakah bisa menerima keutamaan hamba Allah yang lain ataukah tidak.
Jika berhasil, maka pasti kita bisa menerima pemberian Allah dan di situ ada rida Allah. Jika gagal, maka yang muncul adalah dengki dan di situ ada murka Allah.
***
Sampai hari ini kita diuji, apakah bisa menerima keutamaan keturunan Nabi ﷺ dibandingkan dengan kaum muslimin yang lainnya.
Kita juga diuji, apakah bisa menerima keutamaan Quraisy yang paling berhak kekhilafahan dibandingkan dengan suku lainnya.
Para wanita juga diuji, apakah bisa menerima keutamaan suami dibandingkan dengan mereka.
Bahkan para ulama, para ustaz, dan para dai juga diuji apakah bisa mengakui keilmuan orang lain yang lebih tinggi daripada dirinya atau punya kelebihan yang tidak ada pada dirinya.
Jika berhasil lolos ujian ini, maka lisannya tidak akan segan-segan memberikan tazkiyah dan pujian sebagai bentuk rahmat kepada para awam kaum muslimin dan bentuk rida atas pembagian Allah. Sebaliknya jika hatinya dipenuhi kedengkian dan hasrat membesarkan namanya sendiri, maka kecenderungannya adalah menolak memuji dan justru malah mencari-cari kesalahan, kekurangan, kelemahan dan aib orang yang punya keutamaan tersebut, seraya menyembunyikan kelebihannya.
Memang, di antara ciri akhlak orang baik adalah sanggup meremukkan kesombongan dirinya, lalu menerima pembagian Allah dan mengakui keutamaan hamba Allah yang lain yang memang dilebihkan Allah di atas dirinya. Seperti ucapan penyair,
Artinya,
“Tidaklah manusia mengungkapkan keutamaan dirinya, seperti saat dia meyakini keutamaan setiap orang yang utama.” (Nuzhatu al-Alibbā’ hlm 33)
25 Desember 2023/ 12 Jumādā al-Tsāniyah 1445 H pukul 10.48