Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Dana pensiun termasuk hal baru yang belum pernah ada di zaman fukaha dulu. Oleh karena itu, wajar jika sejumlah ulama kontemporer berfatwa secara meragam terkait statusnya.
Adapun penjelasan yang saya pilih, ringkasnya adalah sebagai berikut.
Semua jenis harta pensiun termasuk tarikah yang diwariskan. Dalilnya adalah ayat Al-Qur’an berikut ini,
Artinya,
“Bagimu (para suami) seperdua dari apa yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak punya anak.” (Q.S. Al-Nisā’ 12)
Dalam ayat di atas, Allah menyebut yang diwariskan itu dengan lafaz mā. Ini sifatnya umum. Mencakup amwāl (harta), manāfi’ (manfaat), maupun ḥuqūq (hak-hak). Harta pensiun tidak akan lepas dari 3 macam ini. Oleh karena itu itu termasuk harta warisan yang wajib dibagi menurut hukum waris.
***
Lagipula, dalam Undang Undang No. 11 tahun 1992 tentang dana pensiun, yakni pada pasal 43 ayat 3 disebutkan sebagai berikut,
“Dalam hal peserta meninggal dunia, maka hak peserta menjadi hak ahli warisnya.”
Pernyataan ini cukup lugas menunjukkan bahwa harta pensiun adalah hak mayit. Ia adalah tunjangan yang diberikan setelah orang memasuki usia pensiun dan tidak bekerja lagi. Karena ia hak mayit, maka setelah kematiannya ia diberikan kepada ahli warisnya.
***
Lagi pula, ada jenis harta pensiun yang dikumpulkan dari potongan gaji karyawan setiap bulan. Ini lebih jelas lagi menunjukkan bahwa harta tersebut statusnya adalah harta milik mayit.
Kalaupun harta pensiun itu diberikan untuk membantu keluarga mayit yang masih lemah sebagai santunan, misalnya anak yang masih kecil, atau istri mayit yang sudah menjanda, dan pembayarannya tidak mengambil dari potongan gaji, maka hal ini tidak menghilangkan status harta pensiun itu sebagai harta mayit. Sebab pensiun diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap karyawan atas pengabdiannya selama ini ketika bekerja. Seandainya karyawan tersebut tidak bekerja niscaya pemberi harta pensiun tidak akan memberikan harta tersebut kepada keluarganya yang lemah walaupun atas nama kemanusiaan.
Ini mirip seperti kasus yang disebutkan al-Nawawī dalam Rauḍatu al-Ṭālibīn. Jika seseorang memasang penjebak, lalu dia mati, lalu setelah mati ada hewan yang kena, maka hewan tersebut menjadi haknya ahli waris. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Sebagaimana seandainya dia memasang jaring lalu ada buruan yang terjebak di dalamnya setelah kematiannya, maka itu menjadi milik ahli waris.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 5 hlm 371)
Demikian pula kasus harta pensiun. Saat karyawan masih hidup, sudah jelas harta itu adalah miliknya. Jika dia mati, maka harta itu tetap cair juga atas perbuatan, jasa dan khidmatnya sebagai karyawan. Maka ia layak dipandang sebagai harta mayit yang diwariskan.
***
Lagipula ijab kabul hibah dana pensiun sudah selesai saat mayit masih hidup bersamaan dengan kontraknya sebagai pegawai. Hanya pembayaran dan qabḍ/levering-nya saja yang ditunda menunggu masuk usia pensiun. Ini semua semakin menguatkan bahwa harta pensiun sesungguhnya adalah harta mayit, bukan harta keluarga mayit.
Oleh karena itu, dana pensiun adalah harta warisan. Wajib dibagi sesuai ketentuan waris. Bukan hibah kepada keluarga mayit.
Oleh karena itu, tidak relevan membagi-bagi harta pensiun menjadi 3 misalnya,
- Harta pensiun yang diterima karyawan yang masih hidup
- Harta pensiun yang cair setelah karyawan wafat dan asalnya adalah potongan gaji karyawan
- Harta pensiun yang cair setelah karyawan wafat dan asalnya adalah kas negara
Pembagian di atas tidak diperlukan karena semua jenis harta pensiun adalah hak milik mayit. Bukan hak keluarga mayit.
Adapun pengaturan undang-undang yang mensyaratkan sejumlah kondisi untuk mencairkan harta pensiun dalam kondisi karyawan wafat, maka itu termasuk hibah bersyarat. Hibahnya tetap sah, tapi syaratnya mulgā (tidak berlaku) karena tetap wajib diperlakukan seperti harta warisan.
Wallahua‘lam.