Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Untuk kasus Indonesia, bisa dikatakan bahwa mobil secara umum bukanlah kebutuhan primer, bukan kebutuhan pokok dan bukan kebutuhan dasar. Bahkan mendekati kebutuhan dasar saja tidak.
Mobil di Indonesia secara umum lebih ke arah gaya hidup, menaikkan status sosial, kebutuhan pengakuan dan menaikkan prestise/gengsi. Buktinya, seringkali orang membeli mobil tapi masih punya utang, atau membeli mobil dengan cara mengangsur, atau membeli mobil tapi kebingungan dengan biaya perawatannya, atau membeli mobil sambil melalaikan kewajiban-kewajiban syar’inya, atau membeli mobil tetapi ternyata penggunaannya sangat minim dan banyak nganggurnya, atau membeli mobil padahal jauh lebih murah pakai alat transportasi umum, atau membeli mobil sementara faktanya yang berguna dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah alat transportasi miliknya yang kualitasnya di bawah mobil atau hal-hal lain semisal dengan ini. Fakta-fakta seperti ini menunjukkan kasus mobil di Indonesia itu secara umum termasuk kebutuhan sekunder, bahkan tersier.
Kebutuhan dasar yang harus didahulukan daripada haji atau umrah ada dua yakni,
- Maskan/tempat tinggal. Ini mencakup tempat tinggal yang diperoleh dengan cara menyewa, membeli maupun membangun.
- Khādim/pembantu. Ini yang dimaksud adalah pembantu yang memang dibutuhkan, seperti orang yang terkena penyakit kronis sehingga butuh menggaji pembantu untuk merawatnya. Atau dia punya kedudukan tertentu di masyarakat yang membuat sibuk sehingga urusan pribadinya harus dibantu oleh seorang pembantu
Tampak dari kebutuhan mendesak di atas, tidak ada satupun yang menyebut kendaraan. Padahal kendaraan di zaman Nabi ﷺ maupun sesudahnya selalu ada dan selalu dipakai dalam masyarakat, baik kuda, unta, keledai maupun hewan tunggangan semisal. Jadi membeli mobil tidak bisa dimasukkan dalam salah satu dari dua macam kebutuhan di atas.
Ada juga jenis pengeluaran wajib yang harus didahulukan daripada haji. Para fukaha hanya menyebut dua juga yakni
- Membayar utang. Ini mencakup utang yang sudah jatuh tempo maupun belum
- Nafkah wajib. ini mencakup nafkah untuk diri sendiri maupun orang-orang yang ditanggungnya seperti anak, istri, ayah-ibu yang sudah tua renta, budak, hewan piaraan dan semisalnya
Tampak juga dari dua poin di atas bahwa membeli kendaraan tidak termasuk pengeluaran wajib yang syar’i. Jadi, membeli mobil juga tidak masuk dalam dua jenis kewajiban tersebut.
Jika mobil disepakati bukan kebutuhan mendesak, maka seorang muslim harus mendahulukan uangnya untuk berhaji atau berumrah daripada membeli mobil.
***
Hanya saja, jika diteliti lebih dalam dalam kitab-kitab fikih, ada jenis kebutuhan yang tidak termasuk contoh-contoh di atas yang ternyata harus didahulukan daripada haji. Misalnya kebutuhan menikah. Mazhab al-Syāfi‘ī menegaskan bahwa orang yang butuh menikah dan takut berzina, maka uang yang dimilikinya lebih utama dipakai untuk menikah dulu dan menunda haji/umrahnya. ini termasuk pembahasan skala prioritas antara kewajiban menikah (karena sudah takut berzina) dan kewajiban berumrah/berhaji.
Pembahasan kebutuhan perabot rumah dan kitab ilmu syar’i dalam fikih zakat fitri juga menunjukkan bahwa definisi kebutuhan itu lebih luas daripada sekedar tempat tinggal dan pembantu. Sebab, ulama yang butuh kitab untuk belajar dan mengajar misalnya, dia tidak dituntut untuk menjual kitabnya agar bisa melaksanakan kewajiban seperti zakat fitri atau membayar kafarat. Orang yang masih menggunakan perabotan rumahnya dalam setahun dipandang masih butuh pada perabotannya sehingga tidak dituntut menjualnya agar bisa melaksanakan kewajiban seperti zakat fitri atau membayar kafarat. Jika orang tidak dituntut untuk menjual kitab ilmu syar’i dan perabot rumah yang dibutuhkannya untuk melaksanakan kewajiban membayar zakat fitri atau kafarat, maka tentu dia juga tidak dituntut untuk menjual barang-barang tersebut demi bisa menunaikan kewajiban haji dan umrah.
Al-Ḥisnī juga memperluas jangkauan kebutuhan ini dengan segala sesuatu yang dibutuhkan orang untuk melayani dirinya yang lemah karena penyakit kronis atau melayani dirinya yang memiliki kedudukan tertentu di masyarakat. Al-Ḥiṣnī berkata,
Artinya,
“Demikian pula disyaratkan bekal dan kendaraan itu melebihi tempat tinggal dan pembantu yang layak baginya. Juga apapun yang dibutuhkannya karena penyakit kronisnya atau jabatannya berdasarkan pendapat yang paling kuat.” (Kifāyatu al-Akhyār, hlm 212)
Jika hal-hal seperti ini dipertimbangkan, berarti mobil dalam kondisi tertentu bisa menjadi kebutuhan bagi orang-orang tertentu atau kaum muslimin di negeri tertentu.
Untuk kasus Indonesia misalnya, bisa jadi seorang anak yang punya orang tua atau kerabat yang harus sering kontrol ke rumah sakit maka mobil menjadi kebutuhan dasar dia. Sebab jika sewa maka akan lebih mahal dan jika meminjam orang akan merepotkan. Bisa jadi juga mobil menjadi kebutuhan dasar jika terkait dengan bisnisnya yang tidak bisa jalan upayanya mencari nafkah jika tidak ada mobil.
Jika seperti ini kondisinya terkait kebutuhan mobil, maka bisa dibenarkan jika seorang muslim mendahulukan untuk membeli mobil daripada berangkat haji atau umrah.
Nampaknya pertimbangan seperti ini yang dijadikan dasar oleh Syaikh Ibnu al-Ūtsaimīn saat berpendapat bahwa mobil termasuk kebutuhan dasar di zaman sekarang sebagaimana kitab ilmu syar’i menjadi kebutuhan dasar bagi ulama. Nampaknya beliau memaksudkan kebutuhan mobil di Saudi Arabia. Sebab fakta iklim di Saudi Arabia lebih cocok berkendaraan mobil daripada sepeda motor. Orang juga cenderung membeli mobil untuk mobilitas aktivitasnya daripada membeli rumah yang jauh lebih mahal. Ibnu al-Utsaimīn berkata,
Artinya,
“Contoh kebutuhan dasar (yang didahulukan daripada haji) adalah kitab, pena, mobil dan yang serupa itu.” (al-Syarḥu al-Mumti’, juz 7 hlm 29)
Pendapat yang serupa dengan Ibnu al-Uṡaimin juga dikemukakan oleh salah seorang ulama al-Azhar yakni Syaikh ‘Ali Jumu’ah.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
04 Mei 2024 / 25 Syawal 1445 pukul 05.06