Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Dalam pembahasan-pembahasan fikih haji dan umrah, para ulama pasti akan membahas istilah alal faur (عَلى الفَوْرِ) dan alat tarākhī (عَلى التَّرَاخِيْ).
Apa makna dua istilah ini?
Istilah ini sebenarnya terkait dengan hukum kewajiban haji dan umrah.
Masalah yang muncul setelah dibahas syarat-syarat yang membuat seorang muslim wajib haji biasanya begini,
“Jika sudah disepakati bahwa haji itu hukumnya wajib dan umrah hukumnya juga sama dengan haji yakni wajib, pertanyaannya kewajiban itu sifatnya apakah harus seketika itu juga dilaksanakan tanpa boleh ditunda-tunda ataukah boleh ditunda karena kepentingan tertentu dengan niat melaksanakan di masa yang akan datang dan menduga kuat bisa melakukannya?”
Nah, kewajiban yang sifatnya harus seketika itu juga dilaksanakan istilahnya adalah wajib yang ‘alal faur. Kewajiban yang sifatnya boleh ditunda selama menduga kuat di masa yang akan datang akan bisa melaksanakan kewajiban tersebut istilahnya adalah ‘alat tarākhī.
Terkait kewajiban haji dan umrah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat kewajibannya adalah ‘alal faur, sehingga begitu sudah terwujud kemampuan/istiṭā’ah maka seketika itu harus dilaksanakan tanpa boleh ditunda-tunda lagi. Sebagian ulama berpendapat kewajibannya adalah alat tarākhī, sehingga jika syarat wajib haji dan umrah telah terwujud, tidak wajib hukumnya melaksanakan seketika dan di tahun tersebut. Boleh ditunda di tahun depan atau beberapa tahun ke depan jika diduga kuat bisa melaksanakannya. Sebab, terkadang orang merasa harus mendahulukan pernikahannya, atau membeli rumah, atau membeli tanah untuk membangun rumah, atau membayar biaya pendidikan atau kepentingan-kepentingan lainnya yang dianggapnya mendesak sehingga memutuskan untuk menunda haji atau umrah.
***
Mazhab al-Syāfi‘ī berpendapat bahwa kewajiban haji dan umrah itu sifatnya ‘alat tarākhī. Artinya boleh ditunda dan tidak harus seketika itu juga saat sudah terealisasi kemampuan/istiṭā’ah. al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Jika sudah terkumpul syarat-syarat wajib haji, maka wajibnya itu ‘ala al-tarākhī-tidak harus seketika-“ (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 3 hlm 33)
Argumentasi utama mengapa kewajiban haji itu ‘alat tarākhī adalah perbuatan Rasulullah ﷺ. Kewajiban haji turun pada tahun 5 H atau 6 H. Tapi fakta sejarah menunjukkan Rasulullah ﷺ baru berhaji pada tahun 10 H. Ini menunjukkan Rasulullah ﷺ menunda pelaksanaan haji beliau hingga hampir 5 tahun.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
05 Mei 2024 / 26 Syawal 1445 pada 05.07