Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika Anda punya uang yang cukup untuk berangkat umrah atau mendaftar porsi haji, sementara pada saat yang sama Anda belum punya rumah sendiri, maka saya sarankan dahulukan rumah dulu. Termasuk mendahulukan rumah adalah membeli tanah yang direncanakan untuk membangun rumah, atau membeli rumah jadi, atau membangun rumah secara bertahap, atau membayar DP rumah.
Termasuk dalam hal ini adalah jika uang Anda cukup untuk mengkontrak rumah dan sisanya bisa dipakai untuk berangkat umrah atau mendaftar porsi haji atau langsung berangkat haji. Dalam kondisi semacam ini tetap disarankan untuk mendahulukan punya rumah sendiri, walaupun harus berproses misalnya membeli tanahnya dulu, atau membangun pondasinya dulu, atau membayar DP-nya dulu.
Alasannya, tempat tinggal adalah kebutuhan primer sebagaimana makanan dan pakaian. Karena itu, suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istrinya sebagaimana seorang ayah juga wajib menyediakan tempat tinggal untuk anak-anaknya. Kebutuhan terhadap tempat tinggal juga bisa menggugurkan sejumlah fardu ain yang lain semisal membayar zakat fitri dan membayar kafarat. Ini menunjukkan prioritas mengamankan tempat tinggal sudah benar jika didahulukan daripada kewajiban umrah atau haji.
Lagipula memiliki rumah sendiri yang permanen dan stabil lebih dekat dengan menjaga kehormatan daripada mengkontrak atau kos. Sebab menyewa itu bagaimanapun juga bermakna masih “merepotkan” orang lain, dan “bergantung” pada orang lain. Padahal Allah suka dengan sifat iffah, yakni sifat menjaga kehormatan, tidak bergantung kepada orang lain, tidak menjadi beban orang lain, dan tidak meminta-minta kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sehati-hati apapun orang yang mengkontrak rumah seringkali tidak selamat dari gunjingan atau ucapan buruk pemilik rumah. Karena rumah yang ditempati sudah pasti kualitasnya akan menurun. Entah catnya yang mengelupas, lantai yang pecah, tembok yang kotor, kayu yang rapuh atau “penyusutan” yang lain. Biasanya penyewa sering menjadi sasaran tuduhan penyebab segala kerusakan dan turunnya kualitas rumah yang disewa. Yang seperti ini membuat kehormatan seorang muslim menjadi tercederai. Oleh karena itu, memiliki rumah sendiri lebih utama daripada mengontrak/kos karena lebih dekat juga dengan sifat iffah.
Selain itu dalam mazhab al-Syāfi‘ī, kewajiban haji dan umrah itu sifatnya alat tarākhī (على التراخي), alias tidak seketika sehingga bisa ditunda. Artinya, jika seorang mukmin mendahulukan pernikahannya daripada berumrah atau berhaji, maka dia tidak tercela. Jika dia mendahulukan biaya pendidikannya daripada berumrah atau berhaji, maka dia juga tidak tercela. Jika dia mendahulukan biaya pengobatan kerabatnya maka itu juga tidak bisa dicela. Termasuk jika mendahulukan pembelanjaan sunah semisal berwakaf, sedekah kepada anak yatim, menyumbang ponpes, membelikan hadiah kepada orang yang dicintai karena Allah dan semisalnya. Selama dia punya dugaan kuat di masa yang akan datang masih bisa menjalankan haji atau umrah dan tidak bermaksud untuk melalaikan perintah Allah, maka penundaannya itu tidak berdosa. Apalagi menunda haji dan umrah untuk memiliki rumah sendiri, maka yang demikian lebih utama untuk tidak dicela.
Al-Nawawī menegaskan bahwa seorang muslim baru terkena kewajiban haji/umrah itu jika hartanya sudah berlebih dan melebihi kebutuhan tempat tinggalnya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Pendapat yang terkuat adalah mempersyaratkan (kelebihan harta yang disebutkan sebelumnya itu) melebihi tempat tinggalnya.” (Minhāj al-Ṭālibīn, hlm 82)”
Frasa “maskanihī” dalam teks di atas sifatnya umum, mencakup rumah yang sudah dimiliki maupun masih belum dimiliki. Juga mencakup rumah yang dimiliki maupun ditinggali dengan akad perkontrakan.
Oleh karena itu, jika orang punya uang untuk membeli rumah, maka bisa dibenarkan jika dia mendahulukan pembelian rumah atau pembangunan rumah daripada melaksanakan haji atau umrah. Al-Nawawī menegaskan prinsip ini sebagai berikut,
Artinya,
“Atas dasar ini, jika dia punya uang, maka boleh digunakan untuk memiliki tempat tinggal dan pembantu.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 3 hlm 6)
***
Hanya saja, maksud tempat tinggal yang didahulukan di sini adalah yang sesuai kebutuhan. Jika seorang lelaki punya satu istri dan satu putra dan satu putri misalnya, maka kebutuhan minimalnya adalah punya satu rumah dan 3 kamar. Satu kamar untuk dirinya dan istrinya, satu kamar untuk putranya dan satu kamar untuk putrinya (karena anak beda jenis harus dipisah). Jika dia punya 2 istri, maka kebutuhannya adalah dua rumah dan seterusnya. Jika dia hanya punya satu istri tapi rumahnya dua, artinya sebenarnya satu rumahnya adalah kelebihan hartanya dan dia wajib menjualnya agar bisa menjalankan haji atau umrah!
Termasuk jika punya satu rumah tapi terlalu mewah untuk levelnya. Jika memungkinkan untuk dijual sebagian rumah, maka dia juga wajib menjual sebagian rumahnya itu agar bisa menjalankan haji atau umrah. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Adapun jika dia mampu untuk menjual sebagian rumah dan harganya memenuhi biaya haji, atau rumah dan pembantunya itu mewah yang tidak layak dengan levelnya yang mana seandainya digantikan (dengan kualitas lebih rendah) maka selisih harganya cukup membiayai haji, maka dia wajib menjualnya.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 3 hlm 6 )
***
Adapun para istri yang tidak punya rumah sendiri tapi diberi tempat tinggal oleh suami atau tinggal bersama suami di tempat tinggal manapun (rumah suami, rumah orang tua suami, rumah orang yang diizinkan untuk ditinggali, atau tempat halal manapun), maka status istri sudah dihukumi punya tempat tinggal. Jika harta tabungannya sudah memenuhi biaya minimal haji dan umrah, maka wajib baginya untuk berangkat haji atau umrah.
Termasuk dihukumi seperti istri adalah para santri atau ulama yang tinggal di pondok pesantren yang mana bangunannya adalah wakaf atau para sufi yang tinggal di tempat riyadah yang statusnya wakaf. Mereka dihukumi sudah punya tempat tinggal, sehingga harta berlebih mereka jika sudah cukup untuk umrah atau haji maka mereka terkena kewajiban haji atau umrah.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
06 Mei 2024 / 27 Syawal 1445 pada 13.06