Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Allah melarang kita menyembah setan. Misalnya dalam Surah Yasin,
Artinya,
“(Wahai anak Adam), janganlah kalian menyembah setan.” (Yasin: 60)
Masalahnya, pernahkah Anda berpikir seperti ini:
“Allah melarangku menyembah setan. Tapi aku tidak pernah bertemu dan melihatnya. Bagaimana aku menyembahnya? Apakah yang dimaksud adalah masuk sekte Satanic?”
Faktanya, masyarakat jahiliah saat ayat ini turun tidak dikenal melakukan ritual seperti sekte satanic. Mereka mempercayai ada pencipta langit dan bumi yang mereka sebut dengan nama Allah, berdoa kepada-Nya, bahkan berani bermubahalah dengan memakai nama-Nya seperti yang dilakukan Abu Jahal sesaat sebelum perang badar.
Tidak ada visualisasi setan, membuat patung setan, melukis gambar setan atau topeng-topeng setan untuk pemujaan.
***
Kalau begitu makna menyembah setan itu sebenarnya bagaimana?
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa menyembah itu bermakna MENAATI.
Masalahnya, apa iya dalam kehidupan sehari-hari kita bertemu setan, menghadapnya lalu menerima petunjuk-petunjuk darinya kemudian kita taati?
Tidak bukan?
Kalau begitu apa maksud menaati setan yang disebut Allah sebagai bentuk penyembahan kepadanya itu?
***
Jika kita perhatikan dalil-dalil dalam Al-Qur’an, hadis dan praktek para Sahabat, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, bahwa bentuk menaati setan jika pakai bahasa orang sekarang adalah MENGIKUTI GAGASAN/IDE/PEMIKIRAN darinya!
Maksudnya bagaimana?
Maksudnya, menaati setan itu tidak harus melihat setan, bertemu setan atau menerima instruksi setan secara langsung tetapi cukup dengan membenarkan, mempercayai dan mengikuti gagasan-gagasan batil darinya!
Bagaimana kita bisa tahu bahwa sebuah gagasan itu dari setan?
Jawabannya adalah: Kita bisa tahu dengan mengukurnya memakai wahyu!
Artinya batu ujian untuk menilai sebuah gagasan itu dari setan atau tidak adalah diukur melalui ilmu yang diturunkan Allah melalui Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ.
Yang bertentangan berarti jelas dari setan, yang sejalan maka bisa diduga dari Allah dan malaikat-Nya.
Nah di area ini, yakni aktivitas menyortir, menyaring, menyeleksi, menilai dan memastikan apakah sebuah gagasan itu dari setan atau dari Allah, itu benar-benar area samar yang berpotensi menimbulkan perselisihan yang tak pernah selesai. Karena itulah seorang hamba harus selalu minta tambahan petunjuk dan selalu minta dibantu Allah menghilangkan kebingungan atas perselisihan pemikiran manusia. Harus serius saat berdoa “ihdinaṣṣirāṭal mustaqīm” dan berdoa “ihdinī limakhtulifa fīhi minal ḥaqqi bi idznika”
Saat orang memutuskan untuk mengikuti gagasan setan, maka dia telah menyembah setan. Saat orang memutuskan untuk mengikuti petunjuk yang berasal dari wahyu Allah, berarti dia telah menyembah Allah.
Ini konsisten dengan apa yang diajarkan Allah dalam Surah al-Nās supaya berlindung kepada Allah dari pikiran jahat setan, baik setan dari kalangan jin maupun manusia!
Artinya, memang yang harus kita waspadai adalah gagasan, ide dan pemikiran!
***
Saya akan memberikan contoh kasus nyata yang terjadi di zaman Rasulullah ﷺ terkait gagasan setan dan petunjuk Allah ini.
Abu Bakar adalah Sahabat Nabi ﷺ yang sangat baik dalam menyambung silaturahmi. Di antara aksi nyata beliau dalam silaturahmi adalah menanggung nafkah kerabat beliau yang miskin bernama Misṭaḥ (مِسْطَحٌ).
Lalu keluarga Abu Bakar diuji.
Putri beliau tersayang, ummul mukminin Aisyah (رضي الله عنها) dituduh berzina oleh orang-orang munafik!
Sedihnya, Misṭaḥ yang selama ini dibantu Abu Bakar termakan isu tersebut dan ikut menyebarkan tuduhan tersebut!
Bayangkan bagaimana kira-kira gejolak hati Abu Bakar mengetahui kerabatnya yang dibaikinya selama ini seperti itu sikapnya.
Momen sedih dan disakiti seperti itu sangat besar berpeluang membuka pintu setan untuk memasukkan gagasan-gagasan batilnya. Sebab orang sakit hati itu biasanya butuh pemuasan dengan cara membalas. Entah membalas dengan ucapan atau tindakan. Misalnya setan memberi pikiran seperti ini,
“Kurang ajar sekali si Misṭaḥ ini. Selama ini kutanggung nafkahnya kok malah malah ikut memfitnah Aisyah. Benar-benar air susu dibalas air tuba. Anak tak tahu diuntung. Jika seperti ini sifatnya, buat apa aku menanggung nafkahnya selama ini?! Lebih baik hartaku aku alokasikan ke kerabat lain yang lebih saleh dan lebih tahu diri. Atau kubuat amal saleh yang lain. Biar dia tahu rasa! Sungguh zalim anak ini. Benar-benar anak tak tahu diri. Tak tahu diuntung!”
Perhatikan alur argumen dan gejolak hati yang mungkin timbul dalam situasi seperti itu.
Sekilas seperti logis, masuk akal dan memuaskan kemarahan dalam hati.
Faktanya Abu Bakar memang memutus menyetop nafkah Misṭaḥ waktu itu. Satu sikap yang sebenarnya sangat manusiawi dan bisa dipahami. Kata Abu Bakar,
Artinya,
“Demi Allah, aku tidak akan menafkahi Misṭaḥ sedikit pun selamanya setelah dia ngomong seperti itu terkait Aisyah.”
Tetapi setelah itu Allah segera menegur Abu Bakar dan turun ayat yang berbunyi,
Artinya,
“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Nūr: 22)
Artinya, menurut wahyu, sikap yang benar menghadapi manusia seperti Misṭaḥ adalah memaafkan, tidak mengomeli dan tetap membaiki dengan harapan Allah memaafkan juga kesalahan-kesalahan dan dosa kita kepada-Nya. Seperti Allah yang tetap membaiki kita dengan menjamin rezeki walaupun kita sering menyakiti-Nya dan membuat-Nya kecewa.
Begitu tahu turun ayat ini, segera saja Abu Bakar membatalkan tekadnya dan berkata,
Artinya,
“Tentu demi Allah. Sesungguhnya aku suka Allah mengampuniku.”
Lebih jauh dari itu, Abu Bakar bertekad menafkahi Misṭaḥ seumur hidup! Beliau berkata,
Artinya,
“Demi Allah saya tidak akan menghentikan nafkahku kepada Misṭah selamanya.”
Beginilah contoh praktis Sahabat yang membangkang setan, menolak gagasan darinya dan berusaha menaati Allah. Selama sudah jelas ada wahyu dan petunjuk Allah terkait sesuatu, berarti itulah yang benar dan itulah yang diikuti. Semua ide, gagasan dan pemikiran yang bertentangan dengannya maka itu dari setan yang wajib dilemparkan ke tempat sampah.
Karena itulah sekarang kita bisa paham mengapa terkadang para Sahabat bersikap sesuatu, tapi setelah mengingat Allah, maka beliau membatalkan sikapnya itu kemudian mengatakan “ini dari setan” karena setelah direnungkan dengan tenang dan diukur memakai petunjuk wahyu, tidak ada dalil apa pun yang membenarkan sikap seperti itu dan justru sikap sebaliknya yang lebih dekat dengan petunjuk Allah. Diriwayatkan Abu Bakar pernah bersumpah tidak mau makan bersama tamunya. Setelah Allah menunjukkan karamahNya dengan memperbanyak makanan Abu Bakar, maka Abu Bakar membatalkan sumpahnya dan berkomentar “Innamā kāna żālika minasy syaiṭān.”
Dari sini pula bisa kita pahami mengapa kafir Quraisy disebut Allah menyembah setan. Sebab pengagungan mereka terhadap berhala-berhala seperti al-Lāta, al-Uzzā, Manāt, Hubal dan lain-lain itu tidak didasarkan wahyu, tapi gagasan-gagasan yang berasal dari setan lalu dipropagandakan oleh tokoh-tokoh mereka seperti ‘Amr bin Luḥayy. Saat mereka membuat aturan-aturan seperti Nasī’ah, Baḥīrah, tidak boleh menikahi istri anak angkat dan lain-lain itu semua tidak ada basis wahyunya, tetapi gagasan setan semua yang ditaati.
***
Oleh karena itu, saya sarankan, jika Anda punya masalah, maka sedapat mungkin jangan disebar di medsos yang akan memancing komentar ribuan orang bermacam-macam. Sebab Anda tidak tahu seberapa besar pengaruh setan pada masing-masing komentator itu. Bisa jadi ada orang fasik, ahli maksiat, jarang mengingat Allah dan banyak mendapatkan gagasan dari setan, lalu menulis gagasannya, lalu hawa nafsu Anda merasa cocok lalu Anda ikuti. Saat Anda mengikuti, Anda tidak peduli apakah gagasan itu sesuai dengan petunjuk Allah ataukah tidak. Yang Anda pentingkan adalah kesesuaian dengan keinginan Anda, pengalaman hidup Anda, dan yang Anda rasakan. Kemudian Anda mengikutinya. Jika itu yang Anda lakukan maka Anda dikatakan telah menaati setan. Anda menyembah setan.
Sebaliknya, jika Anda meminta nasihat kepada ulama ikhlas saat tertimpa masalah, maka Anda akan dibimbing sesuai wahyu agar tidak keliru dan perbuatan Anda semua menjadi amal saleh. Tentu saja saran ulama ikhlas tidak akan selalu sejalan dengan keinginan Anda atau hawa nafsu Anda. Bisa jadi Anda tidak suka, tapi Anda tidak bisa membantah bahwa nasihatnya adalah benar. Jika Anda sanggup menaklukkan keinginan diri dan memaksanya untuk mengikuti petunjuk Allah melalui ulama ikhlas ini, maka pada saat itu Anda telah menaati Allah dan dikatakan menyembah Allah.
Saya cukup sering melihat orang memposting urusan rumah tangga, lalu dikomentari secara celometan oleh banyak juhala’ yang tidak berbasis ilmu. Ketika saran-saran ini diterima, maka masalah rumah tangganya bukan malah baik tapi malah semakin parah, rusak, hancur dan memproduksi banyak dosa. Sebabnya adalah karena saran setan yang diikuti, bukan petunjuk Allah.
Dari sini Anda semakin paham dengan siapa seharusnya Anda berteman dan memilih orang yang akrab dengan Anda. Semua orang punya pilihan untuk dekat dengan wali-wali setan ataukah wali-wali Allah.
. وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
14 Juli 2024 / 7 Muharram 1446 pada 19.14