Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara hal menyedihkan zaman sekarang adalah adanya sejumlah oknum dai yang mengajari umat supaya menjadi penjilat penguasa zalim, menjadi “jubir” semua kebijakan mereka dan pengecut menyuarakan kebenaran.
Bisu dengan segala kemungkaran penguasa dan secara sukarela memberikan tengkuknya untuk diperkuda politisi-politisi busuk demi melanggengkan kekuasaannya.
Di antara tanda sifat penjilat, pengecut, bermuka dua dan nifāq adalah tidak bisa berbuat adil dan sering memakai standar ganda jika sudah bersinggungan dengan penguasa.
***
Dalil-dalil taat dan menghormati ulil amri itu maksudnya adalah jika penguasa menerapkan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Bukan sembarang penguasa. Artinya yang dijaga adalah wibawa hukum Islam dan syariat Allah. Bukan wibawa penguasa korup. Adapun jika sebuah negara ditegaskan bukan sebagai negara Islam, maka ketaatan kepada penguasa itu hanyalah jenis kesepakatan sosial. Bukan tadayyun. Sekedar kesepakatan sosial untuk meraih kemaslahatan duniawi. Negara “abu-abu” yang bukan negara Islam dan juga bukan negara kafir seperti kasus negara Mardīn juga harus disikapi tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan ulil amri yang menerapkan Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Apa pun kondisi kaum muslimin, baik di negara Islam, negara “abu-abu” maupun negara bukan Islam, umat tetap wajib diajari kritis dan serius menegakkan amar makruf nahi mungkar seraya tetap memperhatikan kaidah “lā ḍarara walā ḍirār” supaya tidak menimbulkan kerusakan, fitnah dan pertumpahan darah.
Taat dan menghormati penguasa itu bukan bermakna membutakan diri dengan kezaliman dan ketidakbecusan mereka dalam kebijakan publik. Taat harus disertai dengan sikap kritis. Seperti ketaatan rakyat kepada Umar, tapi siap meluruskan jika Umar sampai membuat penyimpangan. Ini penguasa selevel mujtahid mutlak saja kaum muslimin tetap diperintahkan untuk bersikap kritis dan tegas mengoreksi. Apalagi penguasa yang membaca Surah Fatihah saja tidak becus.
Bahkan jika penyimpangan penguasa levelnya sampai kekufuran, hadis Nabi ﷺ juga menunjukkan boleh mengubah dengan kekuatan militer. Hanya saja keputusan rawan pertumpahan darah seperti ini harus mendapatkan fatwa dan kesepakatan dari ulama-ulama besar sedunia (bukan hanya fatwa ulama kelompok), atau minimal mujtahid mutlak yang diakui ulama sedunia agar tepat kapan menerapkan kaidah irtikāb akhaff ḍararain.
***
Larangan ulama memberontak kepada penguasa yang menerapkan hukum Allah di masa lalu itu konteksnya adalah setelah mereka melihat sendiri dampak mengerikan perang Ḥarrah. Bukan untuk menjadi pendukung orang-orang zalim. Ini menunjukkan bahwa aksi mengubah kemungkaran dengan tangan dalam peristiwa politik itu sangat rawan dan inilah yang semestinya difatwakan dengan sangat hati-hati kepada umat.
24 Agustus 2024 / 19 Safar 1446 pada 14.05