Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ada sebagian orang yang membandingkan antara Abū Syujā’ (wafat 533 H) dan al-Albānī (wafat 1420 H ). Sayang, nadanya pongah. Abu Syujā’ direndahkan sejatuh-jatuhnya, Al-Albānī diangkat setinggi-tingginya. Sikap semacam ini sebenarnya menzalimi keduanya. Abū Syujā‘ dizalimi karena beliau adalah ulama besar dalam mazhab al-Syāfi‘ī yang ilmunya jelas bermanfaat lintas generasi hingga zaman ini. Al-Albānī juga dizalimi karena kelakuan oknum tersebut beliau jadi ikut dihina, dicaci dan direndahkan.
Sikap demikian bukan sifat mukmin saleh. Sebab, Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk mencintai ulama. Atas jasa merekalah kita kenal din ini. Sikap kritis boleh, bahkan bagus, tapi bukan merendahkan dan menghinakan. Selama seorang ulama terbukti ilmunya bermanfaat kepada kaum muslimin, maka beliau berhak mendapatkan porsi penghormatan dari kita, betapa pun kita tidak setuju dengan banyak pemikiran beliau.
Jasa Abū Syujā’ tidak usah dipertanyakan lagi. Kitab fikih tipis beliau yang terkenal dengan Matan Abū Syujā’ hingga hari ini dimanfaatkan jutaan kaum muslimin sepanjang masa untuk memahami din secara komplit mulai bab bersuci hingga pembebasan budak.
Jasa Al-Albānī juga tidak sepantasnya direndahkan. Penelitian beliau terhadap status hadis yang belum sempat dikaji mendalam ulama-ulama sebelumnya hingga hari ini dimanfaatkan para akademisi dan penuntut ilmu. Kalaupun kita tidak sepakat dengan sejumlah pemikiran fikih atau cabang akidah beliau, tidak selayaknya beliau direndahkan. Cukup jelas, karya-karya beliau mampu membantu dalam membangkitkan minat putra-putri kaum muslimin untuk mendalami takhrij hadis.
Dalam kaitan sikap keterlaluan terhadap Abū Syujā’, agar beliau tidak dizalimi secara keterlaluan, berikut ini akan saya sajikan analisis singkat terhadap kitab Sifat Salat Nabi ﷺ yang diagung-agungkan sebagian orang yang belum paham mazhab itu.
***
Membandingkan Matan Abū Syujā’ dengan buku Sifat Salat Nabi ﷺ sebenarnya tidak tepat, walau hanya pembahasan salat di antara keduanya. Sebab Matan Abu Syujā’ ditulis dengan pendekatan abstraksi/mukhtaṣar sementara buku Sifat Salat Nabi ﷺ ditulis dengan pendekatan narasi yang dijustifikasi dengan sekumpulan riwayat hadis sesuai topik. Tetapi, agar kaum muslimin memahami karakteristik buku Sifat Salat Nabi ﷺ tersebut, saya memilih contoh satu topik saja untuk dianalisis yakni topik MENGHADAP KIBLAT.
Gaya Abū Syujā’ saat menerangkan fikih tentu saja uslūb istinbāṭī (الأسلوب الاستنباطي) / deductive style. Adapun al-Albānī, nampaknya beliau memilih uslub tārīkhī (الأسلوب التاريخي) / historical style. Uslūb istinbāṭī langsung fokus pada kesimpulan hukum yang bersifat praktis yang dalam banyak karya diputuskan tanpa perlu menguraikan panjang lebar dalil-dalil yang menjadi dasar kesimpulannya maupun nalar berfikirnya untuk mencapai kesimpulan tersebut. Adapun historical style, ia lebih suka mengajak pembaca untuk membayangkan peristiwa di zaman Nabi ﷺ di depan matanya, lalu menyerahkan kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri detail-detail makna implisit yang terkandung di dalamnya.
Tentu saja kitab-kitab mazhab ditulis dengan gaya istinbāṭī ini, sementara historical style tampak sering dipromosikan oleh aliran yang mengajak langsung “kembali” kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah (yang seringnya) tanpa pengetahuan yang memadai tentang mazhab.
Sekarang kita akan mencoba menganalisis apakah historical style ini sanggup membentuk kerangka berpikir fiqhi yang kompeten dalam memecahkan masalah-masalah fikih secara tajam, mendalam dan berkelanjutan ataukah tidak? Lebih jauh lagi, mungkinkah teknik penulisan fikih dengan historical style ini membentuk malakah fiqhiyyah?
***
Secara umum metode al-Albānī saat menulis buku Sifat Salat Nabi ﷺ dan menerangkan tiap – tiap bab adalah membuat pernyataan umum yang diposisikan sebagai kesimpulan umum dari dalil, lalu memberi kumpulan dalil sebagai justifikasi lalu pembaca disuruh memahami sendiri rincian kesimpulannya!
Umpamanya dalam pembahasan istiqbālul qiblah (menghadap kiblat). Al-Albānī menulis,
Artinya al-Albānī membuat pernyataan bahwa Rasulullah ﷺ menghadap Kakbah dalam salat wajib dan sunah. Narasi bergaya historis semacam ini memungkinkan kita mengajukan sejumlah pertanyaan kritis. Misalnya,
- Hadis yang disebut al-Albānī menyebut qiblah, mengapa dipahami sebagai Kakbah? Apa dasarnya?
- Apa makna qiblah sebenarnya?
- Apa makna perbuatan Rasulullah saat menghadap ﷺ di sini? Apakah wajib, sunah, mubah, makruh atau bahkan haram? Bukankah ada perbuatan Rasulullah ﷺ yang haram kita ikuti misalnya menikah lebih dari empat? Bukankah ada perbuatan Rasulullah ﷺ yang mubah kita ikuti misalnya naik unta, makan daging kambing dan lain-lain?
- Jika dengan alasan bahwa menghadap kiblat itu urusan ibadah maka sudah pasti hukumnya antara wajib atau sunah saja, maka bagaimana menjawab fakta bahwa Rasulullah ﷺ melakukan puasa wisal tapi kita dilarang menirunya? Bukankah itu menunjukkan bahwa ada perbuatan Rasulullah ﷺ yang tergolong ibadah tapi kita dilarang menirunya?
- Anggap saja kita sanggup menyimpulkan hukum menghadap kiblat pada salat fardu dan nafilah adalah wajib atau sunah, hukum ini masuk jenis taklifi atau waḍ’ī? Dasarnya apa?
- Lalu maksud menghadap itu bagaimana?
- Jika menghadap kiblat itu hanya dengan separuh tubuh kanan atau separuh tubuh kiri apakah sah? Dasarnya apa jika dikatakan sah? Dasarnya apa jika tidak dikatakan sah?
- Bagaimana jika wajah menghadap kiblat tapi badan tidak?
- Bagaimana cara menghadap kiblat jika sakit tapi tidak bisa berdiri dan tidak bisa duduk? Bagaimana cara menghadap kiblat jika hanya bisa terlentang? Bagaimana cara menghadap kiblat jika hanya bisa berbaring miring?
Apakah pertanyaan-pertanyaan kritis ini bisa diselesaikan hanya dengan pernyataan “Rasulullah ﷺ menghadap Kakbah dalam salat wajib dan sunah” beserta sekumpulan riwayat yang menjadi justifikasinya? Saya kira itu mustahil bagi orang awam.
***
Contoh lagi al-Albānī menulis,
Artinya al-Albānī membuat pernyataan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan orang yang buruk salatnya (al-musī’ salātahū) supaya menghadap kiblat jika salat. Narasi bergaya historis semacam ini memungkinkan kita mengajukan sejumlah pertanyaan kritis. Misalnya,
- Perintah ini sifatnya jāzim atau gairu jāzim? Dengan indikasi apa?
- Terus makna perintah ini apa? Apakah wajib, sunah ataukah mubah? Dengan qarinah dan bukti apa? Bukankah dalam Al-Qur’an ada perintah yang bermakna larangan misalnya ayat “waman syā’a falyakfur”?! Apa iya wajib kufur berdasarkan ayat ini? Salah kan? Bukankah ayat itu jelas maknanya jangan kufur? Bukankah ada juga perintah dalam Al-Qur’an yang bermakna mubah misalnya “fal āna bāsyirūhunna”. Bukankah mustahil dimaknai wajib menyetubuhi istri di malam Ramadan? Lalu dasar apa yang menunjukkan perintah Rasulullah ﷺ itu tidak bermakna haram? Jika dipahami mubah apa dasarnya? Jika dipahami sunah apa dasarnya? Jika dipahami wajib apa dasarnya?
- Kalaupun dipahami wajib, apakah wajib itu sifatnya taklifi ataukah waḍ’ī? Jika dipahami wajib sebagai hukum taklifi apa dasarnya? Jika dipahami wajib berdasarkan hukum waḍ’ī apa dasarnya?
Apakah pertanyaan-pertanyaan kritis di atas bisa diselesaikan hanya dengan pernyataan “Rasulullah ﷺ memerintahkan orang yang buruk salatnya (al-musī’ salātahū) supaya menghadap kiblat jika salat” beserta sekumpulan riwayat yang menjadi justifikasinya? Saya kira itu mustahil bagi orang awam.
***
Contoh lagi al-Albānī menulis,
Artinya al-Albānī membuat pernyataan bahwa Rasulullah ﷺ jika safar, maka beliau salat nafilah dan salat witir di atas kendaraan. Narasi bergaya historis semacam ini memungkinkan kita mengajukan sejumlah pertanyaan kritis. Misalnya,
- Pernyataan tersebut apakah maksudnya pembaca disuruh memahami sendiri bahwa menghadap kiblat itu dalam safar tidak wajibkah? Bagaimana nalar dan bukti dalil lainnya jika benar kesimpulannya seperti ini?
- Atau maksudnya disuruh memahami bahwa menghadap kiblat saat salat sunah tidak wajibkah? Bagaimana nalar dan bukti dalil lainnya jika benar kesimpulannya seperti ini?
- Atau disuruh memahami bahwa kombinasi safar dan salat sunah adalah uzur yang membolehkan tidak menghadap kiblatkah? Bagaimana nalar dan bukti dalil lainnya jika benar kesimpulannya seperti ini? Apa dasar Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan kesimpulan itu semua?
- Jika benar kesimpulannya salah satu dari 3 kemungkinan di atas, bagaimana mempertanggungjawabkan kontradiksi dengan ayat qat’i yang tegas memerintahkan menghadap kiblat dalam kondisi apa pun “wa ḥaitsumā kuntum fawallū wujūhakum syaṭrah”? Apa pula itu makna perintah menghadap kiblat dalam Al-Qur’an? Apakah wajib, sunah, mubah, makruh ataukah haram? Atas dasar apa kesimpulan jenis perintah itu? Jika mau dipahami bahwa hadis mengoreksi Al-Qur’an apa dasar yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an bisa dikoreksi oleh hadis? Jika dipahami hadis tidak pernah mengkoreksi Al-Qur’an tapi memberi penjelasan tambahan apa dasarnya itu? Lalu bagaimana membantah pendapat ulama yang tidak sepakat dengannya? Sebenarnya bagaimana aturan detail terkait bahwa hadis bisa membatasi atau memperjelas atau membatalkan kesimpulan hukum yang bersifat taklifi? Bagaimana aturan detail terkait bahwa hadis bisa membatasi atau memperjelas atau membatalkan kesimpulan hukum yang bersifat wad’i?
- Jika menghadap kiblat dihukumi tidak wajib dalam salat sunah atau salat sunah dalam safar atau salat sunah dalam safar di atas kendaraan berdasarkan ayat “fai ainamā tuwallū fatsamma wajhullāh” bukankah ayat itu konteksnya dalam kondisi tidak ketemu kiblat atau dalam kondisi takut? Lalu bagaimana bisa dijadikan penjelas saat kondisi safar yang tidak terpaksa? Atau kah sebenarnya ayat itu dipahami menasakh ayat wajib hadap kiblat? Dasarnya apa? Atau sebaliknya yakni ayat wajib hadap kiblat dinasakh ayat bebas hadap mana pun? Dasarnya apa? Atau justru ayat “fatsamma wajihullah” itu maksudnya adalah Kakbah sehingga wajib menghadap Kakbah dalam kondisi apa pun? Jika tafsir ayat “fatsamma wajihuillah” dibatasi hanya tuk salat tatawwu’ apa dasarnya? Bagaimana membantah pendapat yang berbeda?
- Kalaupun misalnya safar dianggap menjadi uzur yang membolehkan tidak menghadap kiblat, lalu safar yang membolehkan tidak menghadap ini safar apa? Misalnya safar untuk merampok bagaimana? Apakah dibatasi safar wajib semisal haji dan jihad atau wajib dan sunah seperti safar ziarah, atau safar mubah seperti rekreasi dan berdagang? Atau semua safar? Dasarnya apa? Terus ketentuan jarak safar bagaimana? Misalnya safar untuk beli kabel boleh tidak? Safar beli pecel? Atau harus jarak qashar? Apa dalilnya terkait ketentuan jarak ini? Boleh tidak salat sambil jalan kaki? Bagaimana tata caranya? Dasarnya apa?
Apakah pertanyaan-pertanyaan kritis di atas bisa diselesaikan hanya dengan pernyataan “Rasulullah ﷺ jika safar maka beliau melakukan salat nafilah dan salat witir di atas kendaraan” beserta sekumpulan riwayat yang menjadi justifikasinya? Saya kira itu mustahil bagi orang awam.
***
Contoh lagi al-Albānī menulis,
Artinya al-Albānī membuat pernyataan bahwa kadang-kadang jika Rasulullah ﷺ mau salat sunah di atas kendaraan, maka beliau hadapkan kendaraannya dulu ke kiblat setelah itu mengikuti arah kendaraan. Narasi bergaya historis semacam ini memungkinkan kita mengajukan sejumlah pertanyaan kritis. Misalnya,
- Ini maksudnya pembaca disuruh menyimpulkan bahwa syarat sah tidak menghadap kiblat dalam salat di atas kendaraan adalah menghadap kiblat dulu atau bagaimana? Dasarnya apa kesimpulan ini? Siapa salaf yang mengajarkan?
- Ataukah itu tidak dipahami sebagai syarat sah tapi keutamaan saja? Apakah ada dalil lain yang membenarkan kesimpulan tersebut?
- Bagaimana jika kasusnya adalah naik pesawat udara yang tidak sembarangan bisa mengarahkan kapal ke arah kiblat? Bagaimana jika naik kereta api?
Apakah pertanyaan-pertanyaan kritis di atas bisa diselesaikan hanya dengan pernyataan “kadang-kadang jika Rasulullah ﷺ mau salat sunah di atas kendaraan, maka beliau hadapkan kendaraannya dulu ke kiblat setelah itu mengikuti arah kendaraan” beserta sekumpulan riwayat yang menjadi justifikasinya? Saya kira itu mustahil bagi orang awam.
***
Contoh lagi al-Albānī menulis,
Artinya al-Albānī membuat pernyataan bahwa Jika Nabi ﷺ mau salat wajib maka beliau turun dari kendaraan lalu salat. Narasi bergaya historis semacam ini memungkinkan kita mengajukan sejumlah pertanyaan kritis. Misalnya,
- Ini maksudnya menyuruh pembaca menyimpulkan bahwa menghadap kiblat hanya wajib jika salat wajib kah?
- Kenapa tidak dipahami sunah saja perbuatan Nabi ﷺ itu? Apa dasarnya kok dipahami wajib?
- Makna turunnya Nabi ﷺ itu sebenarnya wajib, sunah atau mubah? Bukanlah tidak semua perbuatan nabi itu wajib? bukankah malah ada yang haram misalnya menikah lebih dari empat? Nabi makan kambing bukankah itu bermakna mubah? Lalu apa dasarnya hadis yang disebut dipahami wajib?
- Kalaupun dipahami wajib, apa dasarnya dipahami wajib taklifi?
- Atau jika dipahami wajib wad’i apa dasarnya?
- Bagaimana jika kasusnya naik pesawat sampai 20 jam? Apakah orang yang naik pesawat selamanya tidak bisa melaksanakan hadis tersebut dan terpaksa meninggalkan salat dengan sengaja lalu mengkada jika sudah turun? Mana dalil Al-Qur’an maupun hadis yang membolehkan perbuatan seperti itu?
Apakah pertanyaan-pertanyaan kritis di atas bisa diselesaikan hanya dengan pernyataan “Jika Nabi ﷺ mau salat wajib maka beliau turun dari kendaraan lalu salat” beserta sekumpulan riwayat yang menjadi justifikasinya? Saya kira itu mustahil bagi orang awam.
***
Contoh lagi al-Albānī menulis,
Artinya al-Albānī membuat pernyataan bahwa jika dalam kondisi khauf (takut) maka Rasulullah ﷺ mengajarkan salat sebisanya di atas kendaraan maupun tidak, menghadap kiblat maupun tidak. Narasi bergaya historis semacam ini memungkinkan kita mengajukan sejumlah pertanyaan kritis. Misalnya,
- Ini maksudnya apakah disuruh menyimpulkan bahwa salat khauf itu tidak wajib menghadap kiblat baik salat wajib maupun sunah?
- Mengapa dalil-dalil cara menghadap kiblat dalam kondisi khauf ini tidak dipakai penjelas untuk ayat “fatsamma wajhullah” saja sehingga tidak selayaknya ayat “fatsamma wajhullah?” dipakai untuk kasus salat sunah musafir di atas kendaraan?
- Apa dasarnya bahwa kebolehan tidak menghadap kiblat dalam kondisi khauf bisa berlaku untuk salat wajib dan sunah?
- Jika konteks dalil-dalil ini hanya untuk salat 5 waktu apa riwayat lain yang menunjukkannya?
- Jika benar dalil-dalil ini hanya untuk salat 5 waktu apa dasarnya bisa dikenakan ke salat nazar misalnya?
- Lalu kondisi takut sekali itu perinciannya bagaimana? Apakah dibatasi saat perang saja? Atau boleh juga saat takut tikus misalnya? Atau takut singa? Atau takut perampok? Dasarnya apa?
- Jika dibatasi hanya perang, lalu bagaimana jika perangnya melawan sesama muslim seperti kasus muslim yang membela sekutu melawan Turki? Dasarnya apa jika dibolehkan jika tidak boleh apa?
- Apakah perang dibatasi hanya perang wajib? bagaimana dengan perang sunah? Bagaimana perang mubah?
Apakah pertanyaan-pertanyaan kritis di atas bisa diselesaikan hanya dengan pernyataan “Jika dalam kondisi khauf (takut) maka Rasulullah ﷺ mengajarkan salat sebisanya di atas kendaraan maupun tidak, menghadap kiblat maupun tidak” beserta sekumpulan riwayat yang menjadi justifikasinya? Saya kira itu mustahil bagi orang awam.
***
Sampai di sini mulai terasa gaya yang dipilih al-Albānī mengalami problem yang sangat banyak jika dihadapkan pada tantangan pemecahan problem (معالجة المشاكل) yang bersifat rinci. Gaya al-Albānī juga menghadapi tantangan berat jika diminta untuk menjelaskan nalar tasyri’ī untuk pertanyaan-pertanyaan detail terkait istinbāṭ.
Yang semacam ini tidak akan terjadi pada orang yang belajar fikih lewat mazhab. Sebab semua pertanyaan rinci itu insya Allah dijawab secara memuaskan, asal belajarnya runtut mulai kitab dasar menengah hingga kitab tinggi.
Abū Syujā’ misalnya dalam Matan Abū Syujā’ beliau membahas masalah menghadap kiblat itu dengan redaksi sebagai berikut,
Artinya Abū Syujā’ langsung menata posisi masalah menghadap kiblat itu sebagai syarat sah salat. Jika disebut syarat sah, maka ini sudah jelas peletakannya adalah dimasukkan dalam hukum waḍ’ī, bukan hukum taklifī. Jadi, dalil-dalil yang ada dipahami sebagai hukum waḍ’ī yang sifatnya “mengatur” hukum taklifī. Setelah itu dijelaskan pengecualian dalam dua kondisi yang boleh tidak menghadap kiblat, yaitu saat sangat takut dan saat melakukan salat nafilah dalam safar di atas kendaraan.
Muslim awam cukup tahu dua aturan ini terkait menghadap kiblat untuk melaksanakan salat sehari-hari walaupun belum tahu rincian dalilnya apa.
Lalu jika ingin pembahasan dalil masing-masing ketentuan, maka masuk saja ke kajian kitab al-Tażhīb karya al-Bugā. Jika mau lebih dalam terkait fikih rincian tanpa dalil yang sudah memasukkan tarjih al-Nawawī dan al-Rāfi’ī, maka masuk saja ke kitab Fatḥu al-Qarīb karya al-Gazzī. Jika ingin tahu fikih rincian yang mengandung pembahasan dalil, maka masuk saja kitab Kifāyatu al-Akhyār karya al-Ḥiṣnī. Lalu jika sudah mencapai level muntahī, maka kaji saja al-Iqnā’ karya al-Syirbīnī. Itu semua adalah kitab-kitab yang “melayani” Matan Abū Syujā’ mulai level dasar hingga tinggi.
***
Saya khawatir mengagung-agungkan kitab Sifat Salat Nabi ﷺ sebagai “satu-satunya modul sakti” untuk mengajar kaum muslimin terkait fikih salat akan membentuk orang-orang yang punya sifat waqāhah (الوقاحة) yakni kurang ajar, tidak tahu diri, dan tidak tahu malu. Juga memicu awam untuk memiliki sifat jur’ah (الجرأة), yakni kesembronoan dalam berfatwa tanpa ilmu dan berlagak jadi mujtahid padahal bodoh.
Sayang, nampaknya itu sudah terjadi.
04 November 2024 / 2 Jumadil Awal 1446 pada 22.07