Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Pada tahun 2014 saya pernah menulis buku tentang fikih waris setebal 300-an halaman. Diterbitkan oleh Universitas Brawijaya Press. Insya Allah saya mengerti ketentuan-ketentuan waris yang dijelaskan para ulama, mengerti dalil-dalilnya, termasuk bagaimana nalar fikihnya hingga dari sekumpulan dalil itu bisa diturunkan menjadi kaidah-kaidah detail terkait ketentuan waris. Bahkan pada kasus topik yang menjadi ikhtilaf fukaha semisal diskursus apakah żawul arḥām itu ahli waris atau bukan, atas karunia Allah saya bisa menjelaskan dalil masing-masing yang berselisih lalu saya jelaskan mana yang terkuat berdasarkan mazhab al-Syāfi‘ī.
Pengetahuan yang saya tuangkan dalam buku tersebut alhamdulillah sudah cukup untuk memecahkan kasus-kasus waris umum yang banyak terjadi di masyarakat. Dalam kehidupan nyata, saya juga sudah berkali-kali membantu memecahkan kasus waris orang mulai level warisan puluhan jutaan hingga puluhan milyar.
***
Jika saya diminta meringkas seluruh ilmu yang saya tuangkan dalam 300-an halaman itu dalam satu kalimat, mungkin saya akan menulis begini,
“Ahlul faridah adalah ahli waris yang mendapatkan jatah spesifik sementara asabah adalah ahli waris mendapatkan sisa, yang pasti mendapatkan warisan di kalangan mereka disebut aqwiyā’ sementara yang berpotensi gugur disebut ḍu’āfā.”
***
Jika ada hamba Allah yang pengetahuan warisnya setara dengan saya atau di atas saya, maka bisa dipastikan sangat mudah bagi beliau untuk mensyarah kalimat ringkas di atas. Beliau akan bisa menerangkan bahwa istilah ahlul fariḍah itu setara dengan aṣḥābul furūḍ atau żawul furūḍ. Beliau juga bisa memerinci 12 orang ahlul faridah itu siapa saja. Beliau juga dengan mudah akan menerangkan maksud ahlul faridah aqwiya’ itu meliputi 5 orang yaitu suami, istri, ayah, ibu dan putri. 7 sisanya adalah ahlul fariḍah ḍu’afa’ yang berpotensi gugur. Asabah aqwiyā’ adalah putra sementara asabah sisanya entah kelompok bunuwwah, ubuwwah, ukhuwwah maupun ‘umūmah semuanya berpotensi gugur. Mudah pula bagi beliau untuk menjelaskan ketentuan detail untuk masing-masing ahli waris, kapan mendapatkan jatah warisan utuh, berkurang atau gugur lengkap dengan dalil dan wajhul istidlalnya. Di sela-sela mensyarah ini bahkan bisa jadi beliau memandang perlu menjelaskan mukadimah waris sebagai pelengkap seperti masalah definisi, keutamaan, hukum mempelajari, arkān, syurūṭ, mawāni’, ḥuqūq tarikah dan lain-lain. Bisa juga di tengah-tengah mensyarah beliau menemukan redaksi yang lebih utama sehingga mengusulkan redaksi perbaikan untuk abstraksi yang saya buat.
Poinnya adalah hanya orang yang berilmu yang sanggup memahami nilai sebuah ringkasan ilmu. Seperti seorang ilmuwan ber-reputasi internasional yang sudah bisa menilai kualitas paper hanya dengan melihat abstraknya saja.
***
Lalu di zaman sekarang, bisa jadi ada orang yang belum tahu kadar dirinya kemudian membaca satu kalimat ringkasan ilmu waris yang saya buat itu, kemudian dengan pongahnya dia berkomentar,
“Ah, apaan itu. Ilmu waris kok cuma seupil begitu penjelasannya. Jelas bodoh itu pengarangnya.”
***
Begitulah kira-kira kondisi orang yang merendahkan Abū Syujā’.
Sudah bisa dipastikan orang yang merendahkan beliau memang ilmunya sama sekali tidak “nutut” dengan levelnya Abū Syujā’ sehingga tidak mampu melihat nilai mukhtaṣar beliau yang bernama Matan Abū Syujā’ itu.
Matan Abū Syujā’ atau terkadang disebut al-Taqrīb atau al-Gāyah wa al-Taqrīb adalah kitab tua. Ditulis kira-kira abad ke-6. Artinya, hingga sekarang hampir 9 abad alias 900 tahun kitab ini terus digunakan dan memberi manfaat jutaan, puluhan juta, ratusan juta atau bahkan milyaran kaum muslimin di seluruh dunia.
Kitab ini direviu ribuan ulama sepanjang masa. Ada yang membuat manẓumah-nya, mensyarahinya, memberikan dalil untuknya, melakukan tahrir dan banyak sekali yang lainnya. Tahun 2017 saya sudah membuat resensi khusus untuk kitab ini dalam situs irtaqi di bawah judul MENGENAL MATAN ABU SYUJā’. Di sana saya jelaskan kitab apa saja yang lahir untuk melayani kitab ini dengan berbagai genre-nya.
Bayangkan, jurnal kualitas internasional bereputasi saja mungkin per reviunya hanya butuh 3-5 orang. Ini ada kitab yang direviu hingga ribuan ulama berbagai generasi dan terus kukuh bertahan selama berabad-abad tanpa kritik berarti. Hanya sebagian kecil saja yang dikoreksi jika hendak dinisbahkan ke mazhab al-Syāfi‘ī. Bagaimana mungkin ulama kacangan bisa membuat kitab dengan abstraksi setinggi ini?
Benarlah jika dikatakan :”Hanya ulama yang mengenal ulama” .
Orang jahil jangan kan mengenal ulama, mengenal kadar dirinya saja sebenarnya masih gagal.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
05 November 2024 / 3 Jumadil Awal 1446 pada 21.06