Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Gembira dapat uang itu bukan tanda cinta dunia.
Itu normal, manusiawi dan bukan aib.
Kita semua merasakannya.
Tidak perlu mematikan perasaan seperti itu dengan persangkaan bahwa itu adalah zuhud dan tanda sudah tidak cinta dunia.
***
Imam Ahmad itu pernah bergembira karena dapat uang.
Padahal kita tahu bertapa zuhudnya imam Ahmad yang berkali-kali menolak hadiah senilai milyaran rupiah dari sahabat, penguasa maupun pengagumnya.
Dalam kitab Manāqib al-Imām Ahmad disebutkan,
Artinya,
“Muḥammad bin Yāsīn al-Baladī berkata, ‘Aku duduk bersama Abū Abdillah (imam Ahmad). Lalu datanglah salah satu penyewa toko beliau dengan membawa 1,5 dirham. Ketika uang itu sudah berada di tangannya, maka beliau meninggalkan saya, lalu bangkit menuju rumahnya. Saya melihat kegembiraan pada wajah beliau. Maka saya menduga uang sewa itu sudah beliau siapkan untuk sebuah kebutuhan yang penting.” (Manāqib al-Imām Ahmad, hlm 307)
Kegembiraan imam Ahmad itu bisa kita pahami sebagai bentuk kegembiraan hamba Allah yang saleh yang dijaga kehormatannya oleh Allah sehingga tidak sampai “sambat”, berutang, apalagi meminta-minta.
Jadi kegembiraan beliau adalah kegembiraan karena menjaga iffah.
Bukan karena cinta uang.
***
Dengan demikian, kegembiraan kita mendapatkan uang setelah sekian lama menunggu-nunggu karena ada kebutuhan adalah kegembiraan yang wajar. Bukan aib dan bukan cela.
Bergembiralah tanpa ada celaan, bertahmidlah dan beramal salehlah setelah itu sebagai tanda syukur.
Yang termasuk cinta dunia terkait uang adalah jika pelit saat diuji Allah menggunakan uangnya di jalan haqq. Misalnya pelit untuk menafkahi, pelit untuk membayar zakat, pelit untuk silaturahmi dan semisalnya.
21 November 2024 / 19 Jumadil Awal 1446 pada 09.05