Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustad yang saya hormati,
Terus terang saja saya mempunyai perasaan yang bikin hati nggak tenang,
dan sampai saat ini kepikiran terus, masalahnya adalah:
Saat ini saya sudah melakukan cerai rujuk 2x, berarti kalau saya
bercerai lagi pasti tidak ada kesempatan untuk rujuk (saya akui
perbuatan saya sangat jelek sampai2 ua saya yang kiayi terkenal di
Sukabumi bilang ke saya “tidak bagus suka mengobral talak”. padahal
talak saya dikeluarkan agar istri saya menjadi baik dan nggak melakukan
banyak kesalahan seperti berbohong dan suka pinjam2 uang ke orang lain,
dan sekaligus membentengi istri saya agar jangan begitu begitu lagi,
dengan harapan kalau dibentengi talak dia akan takut ).
Nah yang terakhir, apakah saya sudah jatuh cerai yang ke tiga atau
belum ? karena saya pernah berucap sama istri saya ” kalau kamu nggak
ikut sama saya pergi ke acara di ibu (kandung) saya maka jatuh talak “.
Ternyata sampai batas waktu terakhir yang ditentukan, istri saya nggak
mau ikut dengan saya ke acara ibu (kebetulan istri saya mempunyai acara
sejenis dengan yang di ibu kandung saya). Karena ada gelagat dia pasti
nggak mau ikut, maka saya ralat sendiri ucapan saya (pararun ya Allah
saya ralat ucapan talak saya itu).
Ustad yang baik, karena kegundahan hati saya ini saya ingin ada jawaban
yang syar’i agar rumah tangga saya kedepan dengan istri saya tidak
menyalahi aturan agama Islam. Tentu saja bagi saya sendiri selalu
kepikiran terus sedangkan istri ketika ditanya oleh saya soal pernah
berucap tersebut atau tidak dia tidak ingat sama sekali.
Sebagai gambaran, memang selama rumah tangga dirasakan kurang harmonis
walaupun sdh berumah tangga 24 tahun dan dikaruniai 6 anak (1 perempuan, 5 laki2), kalau diistilahkan bahasa sunda mah AWET RAJET (rumah tangga jalan tapi cekcok melulu).
Sekali lagi ustad, saya mohon petunjuk dengan jawabannya.
Terima kasih banyak atas bantuannya.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
(Nama dan alamat penanya ada pada kami)
Jawaban
Oleh Ust. Muafa
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Talak tersebut telah jatuh, sehingga jatuhlah talak yang ketiga yang berkonsekuensi tidak halalnya istri kembali kepada suami sampai istri menikah lagi dengan pria lain dengan pernikahan wajar (bukan pura-pura/sandiwara/perkomplotan), kemudian diceraikan.
Menjatuhkan talak dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain disebut para Fuqoha’ dengan istilah الطَّلاَقُ الْمُعَلَّقُ (Suspended Divorce/ Talak Tergantung). Kasus talak yang ditanyakan penanya termasuk jenis ini, karena mengancam jatuhnya talak kepada istri, jika istri tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan suami. Ketentuan Fikih dalam hal ini, talak dihukumi jatuh jika syarat yang disebutkan pada ancaman talak tersebut terealisasi. Maka, seandainya seorang suami berkata kepada istrinya; “Jika matahari telah tenggelam hari ini, maka jatuhlah talakku kepadamu” atau “jika engkau menerima tamu tanpa seizinku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, atau “jika engkau berhutang lagi tanpa sepengetahuanku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, kemudian tiba waktu tenggelamnya matahari, atau istri menerima tamu tanpa seizin suami, atau istri berhutang tanpa sepengetahuan suami, dalam kondisi ini semuanya dihukumi jatuh talak tanpa bisa diralat lagi. Pada kasus yang ditanyakan penanya, suami mengancam istri jika tidak ikut hadir pada acara di ibu kandung maka jatuh talak. Ternyata istri tidak ikut hadir bersama suami. Dengan demikian syarat jatuhnya Tholaq Mu’allaq telah terealisasi sehingga hukum talak tiga telah jatuh dan berlaku konsekuensi-konsekuensi talak tiga dalam Syariat. Hukum jatuhnya talak ini tidak membedakan apakah ancaman talak bersyarat itu benar-benar dimaksudkan mentalak atau sekedar “mengancam/menakut-nakuti/mendorong melakukan suatu perbuatan” dan semisalnya. Niat apapun dari suami yang mengucapkan ancaman talak tidak diperhatikan, dan ketentuan jatuhnya talak tetap berlaku.
Dalil yang menunjukkan Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan telah terealisasi adalah sejumlah nash berikut;
Pertama; membuat syarat yang tidak bertentangan dengan hukum Syara’ hukumnya Mubah, dan kaum Muslimin terikat oleh syarat yang dibuatnya. Ad-Daruquthni meriwayatkan;
عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا ».
“Dari Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany dari ayahnya dari kakeknya dai Nabi SAW, beliau bersabda ” Kaum Muslimin terikat syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.R.Ad-Daruquthni)
Membuat syarat jatuhnya talak termasuk keumuman bolehnya membuat syarat dalam Hadis ini. Oleh karena itu, hukum jatuhnya talak berlaku ketika syarat tersebut terealisasi sebagaimana talak dijatuhkan tanpa ada syarat.
Kedua; Talak dihukumi tetap jatuh baik diucapkan dengan serius maupun bercanda. Abu dawud meriwayatkan;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ ».
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnya dihukumi serius dan candanya (tetap) dihukumi serius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk (H.R.Abu Dawud).”
Tholaq Mu’allaq jelas menyebut lafadz talak sebagai ancaman, karena itu apapun motivasi mengucapkan ancaman tersebut, entah serius, main-main, atau sekedar menakut-nakuti termasuk cakupan makna Hadis ini. Karena itu, talak dihukumi jatuh ketika syarat ancaman talak tersebut telah terealisasi.
Ketiga; Ibnu Umar berfatwa jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq. Bukhari meriwayatkan;
قَالَ نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَخْرُجْ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
“Nafi’ berkata: Seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak Battah (talak tiga/Bainunah Kubro) jika sang istri keluar (dari rumah suaminya). Maka Ibnu Umar berkomentar; Jika wanita itu keluar, maka dia tertalak oleh lelaki itu. Jika dia tidak keluar maka tidak ada konsekuensi apapun” (H.R.Bukhari)
Adanya fatwa dari Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa ketentuan jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq sudah diketahui semenjak zaman Shahabat. Fatwa Ibnu Umar ini dikuatkan oleh riwayat fatwa senada dari Ibnu Mas’ud. Al-Baihaqi meriwayatkan;
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ فَعَلَتْ كَذَا وَكَذَا فَهِىَ طَالِقٌ فَتَفْعَلُهُ قَالَ : هِىَ وَاحِدَةٌ وَهُوَ أَحَقُّ بِهَا.
“Dari Abdullah bin Mas’ud, tentang seorang lelaki yang berkata kepada istrinya; Jika dia (sang istri) melakukan ini dan itu maka dia tertalak. (ternyata) wanita itu melakukannya. Maka Ibnu Mas’ud berkomentar; itu (sudah jatuh talak) satu, dan dia (lelaki itu) lebih berhak kepadanya -untuk Rujuk kembali- (H.R.Al-Baihaqi)
Adapula riwayat yang menunjukkan bahwa para Fuqoha’ Madinah berfatwa dengan fatwa ini. Al-Baihaqi meriwayatkan;
عن ابْنِ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ كَانُوا يَقُولُونَ : أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ خَرَجْتِ حَتَّى اللَّيْلِ فَخَرَجَتِ امْرَأَتُهُ أَوْ قَالَ ذَلِكَ فِى غُلاَمِهِ فَخَرَجَ غُلاَمُهُ قَبْلَ اللَّيْلِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ طَلَقَتِ امْرَأَتُهُ وَعَتَقَ غُلاَمُهُ لأَنَّهُ تَرَكَ أَنْ يَسْتَثْنِىَ لَوْ شَاءَ قَالَ بِإِذْنِى وَلَكِنَّهُ فَرَّطَ فِى الاِسْتِثْنَاءِ فَإِنَّمَا يُجْعَلُ تَفْرِيطُهُ عَلَيْهِ.
“Dari Ibnu Abi Az-Zinad dari ayahnya dari para Fuqoha’ penduduk Madinah, mereka memfatwakan; lelaki manapun yang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau keluar hingga malam hari, kemudian ternyata istrinya keluar, atau dia mengatakan ucapan itu kepada budaknya, lalu budaknya keluar sebelum malam tiba tanpa sepengetahuannya, maka istrinya tertalak dan budaknya menjadi bebas. Hal itu dikarenakan dia tidak melakukan Istitsna’ (pengecualian). Kalau dia mau, dia bisa mengatakan “dengan izinku”, tetapi dia melalaikan Istitsna’, sehingga beban kealaian itu ditimpakan kepadanya (H.R.Al-Baihaqi)
Tidak bisa mengatakan bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar adalah riwayat yang lemah. Klaim ini tertolak karena Hadis tersebut diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya. Meskipun Bukhari meriwayatkannya secara Mu’allaq, namun beliau menyebutkannya dengan Sighat Jazm (tegas) sehingga riwayatnya terhitung Shahih. Lagipula Ibnu hajar telah menyebutkan sanad lengkapnya dalam kitab Taghliqu At-Ta’liq. Justru riwayat fatwa shahabat yang bertentangan dengan riwayat fatwa Ibnu Umarlah yang lebih layak dipertanyakan keshahihannya, sekaligus diperiksa ulang redaksinya karena riwayat-riwayat yang ada seringkali difahami tidak tepat sebagai Tholaq Mu’allaq padahal sebenarnya adalah terkait sumpah.
Tidak bisa pula memahami bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar itu adalah dalam kondisi suami memang berniat talak sehingga dihukumi talak. Tidak bisa diklaim demikian, karena tidak ada perincian apapun dalam lafadz riwayat yang memberi isyarat niat suami. Karena itu, lafadz riwayat tersebut harus difahami umum dan mutlak yang mencakup niat talak maupun hanya niat menakut-nakuti. Lagipula Ibnu Umar dalam berfatwa sama sekali tidak menyinggung niat suami dalam membangun fatwa.
Keempat; Suami dalam kondisi memegang hak talak dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa. At-Tirmidzi meriwayatkan;
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan pada sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada (hak) talaq pada sesuatu yang tidak dimilikinya (H.R.At-Tirmidzi).”
Hadis diatas menerangkan bahwa tidak ada talak bagi orang yang tidak memiliki hak talak. Artinya, orang yang tidak memiliki hak talak jika menjatuhkan talak maka talaknya tidak jatuh. Mafhumnya; orang yang memiliki hak talak, dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa berarti talaknya jatuh. Suami yang mentalak dengan cara Tholaq Mu’allaq termasuk keumuman Mafhum Hadis ini, oleh karena itu Tholaq Mu’allaq juga jatuh berdasarkan Hadis ini.
Itulah dalil-dalil utama yang menunjukkan jatuhnya Tholaq Mu’allaq.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi berdasarkan niatnya; jika berniat talak maka jatuh talak, jika berniat hanya menakut-nakuti maka tidak dianggap talak tetapi hanya dianggap sumpah yang cukup ditebus dengan Kaffaroh dalam kondisi terealisasi syarat, yang mana pendapat ini mendasarkan hujjahnya pada Hadis Nabi yang berbunyi;
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)
Maka argumen ini tidak bisa diterima. Alasannya; Perlakuan dan konsekuensi hukum Syara’ memperhatikan yang Dhohir bukan niat pelaku. Niat pelaku adalah urusan hamba dengan Allah, bukan hamba dengan sesama hamba. Seorang munafik yang bersyahadat, meskipun tidak ada niat masuk Islam sama sekali, tetapi karena Dhohirnya dia telah bersyahadat maka diterapkan hukum-hukum sebagai seorang Muslim. Urusan batin dan niat dia bukan wilayah tanggungjawab manusia. Allahlah yang akan menghisab dia pada hari pembalasan terkait niat jahatnya. Umar pernah berpidato menegaskan kaidah ini. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدْ انْقَطَعَ وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمْ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ
“Dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, aku mendengar ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sejumlah orang dihukum berdasarakan (pemberitahuan) wahyu pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari ini wahyu sudah terputus. Dan hari ini kita menilai kalian berdasarkan amal amal yang nampak (zhahir). Maka siapa yang secara zhahir menampakkan perbuatan baik kepada kita, kita percaya kepadanya dan kita dekat dengannya dan bukan urusan kita apa yang tersembunyi darinya karena hal itu sesuatu yang menjadi urusan Allah dan Dia yang akan menghitungnya. Dan siapa yang menampakkan perbuatan yang jelek kepada kita, maka kita tidak percaya kepadanya dan tidak membenarkannya sekalipun batinnya baik (H.R. Bukhari)” .
Syariat Li’an juga menunjukkan bahwa konsekuensi hukum itu hanya melihat Dhohirnya, bukan maksud dan niat pelaku Li’an. Allah berfirman;
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur; 6-9)
Dalam kasus Li’an, pasti ada salah satu yang berdusta. Namun jika dua pihak yang berli’an semuanya berani bersumpah sebanyak lima kali untuk mendustakan lawannya, maka kedua-duanya selamat dari konsekuensi hukum (cambuk atau rajam) karena Dhohirnya mereka memang tidak bersalah. Namun diakhirat, kedustaan salah satu diantara mereka pasti terbukti dan akan dibalas. Dan ini berada diwilayah wewenang Allah karena terkait dengan maksud dan niat batin manusia yang tidak ada yang tahu kecuali Allah.
Hadis;
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)
juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis tersebut adalah membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum syara yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari aspek keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.
Lagipula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa talak itu termasuk perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius maupun canda. Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali tidak diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya. Anulir-anulir talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat syariat talak menjadi sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan canda untuk mengingkari pernah mentalak. Dengan adanya ketentuan jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.
Adapun alasan bahwa Tholaq Mu’allaq dianggap tidak berlaku dengan mengqiyaskan tidak bolehnya ada Zawaj Mu’allaq (pernikahan digantung), maka alasan ini tidak bisa diterima. Karena talak berbeda dengan akad Nikah. Akad nikah adalah akad antara dua pihak, sementara talak hanya menjadi hak suami dan tidak perlu ridha istri. Oleh karena dua hal ini berbeda, maka keduanya tidak bisa diqiyaskan/dianalogikan.
Adapun argumen bahwa Nabi pernah mengharamkan minum madu zainab lalu ditegur Allah dengan turunnya surat At-Tahrim dan diperintahkan membatalkan sumpahnya, kemudian hal ini difahami bahwa sumpah tidak selalu memakai lafadz sumpah sehingga boleh saja Tholaq Mu’allaq difahami sumpah (yang konsekuensinya hanya wajib ditebus dengan Kaffaroh), bukan difahami jatuhnya talak, maka argumentasi ini tidak dapat diterima karena dua alasan. Pertama; ucapan Nabi saat bertekad tidak mau minum madu Zainab itu sama sekali tidak mengandung unsur Ta’liq (mengaitkan) dengan terealisasinya sesuatu sebagaimana dalam Tholaq Mu’allaq. Kedua; riwayat Bukhari jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi memakai lafadz “Halafa” (bersumpah) sebelum bertekad tidak minum madu. Hal ini menunjukkan sumpah yang diperintahkan Allah untuk dibatalkan itu adalah sumpah yang memang diucapkan nabi, bukan tekad untuk tidak minum madu yang difahami sebagai sumpah. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ زَعَمَ عَطَاءٌ أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَزْعُمُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ أَكَلْتَ مَغَافِيرَ فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَا بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ فَنَزَلَتْ
{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ }
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ }
لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ
{ وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا }
لِقَوْلِهِ بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا
و قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ وَقَدْ حَلَفْتُ فَلَا تُخْبِرِي بِذَلِكِ أَحَدًا
“Dari Ibnu Juraij menuturkan; ‘Atha` mengataka bahwa dirinya pernah mendengar Ubaid bin Umair mengatakan; aku pernah mendengar ‘Aisyah menuturkan; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah saling berpesan bahwa siapa saja diantara kami berdua yang didatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya kami mengatakan; ‘Aku mencium bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan buah mighfar? ‘ Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia mengatakan ucapan yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab: “Tidak, tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku tidak akan mengulanginya.” Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan kepadamu’ dan ayat, ‘jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ‘ ditujukan kepada Aisyah dan Hafshah. Dan firman-Nya; ‘Ingatlah ketika Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan kepada sebagian isterinya, ‘ petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang mengatakan: ‘Namun aku minum madu.’ Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari Hisyam dengan tambahan redaksi: “Saya sekali-kali tak akan mengulanginya selama-lamanya, saya telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada seorang pun.”(H.R.Bukhari)
Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun (sumpah main-main) tidak dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum (ada konsekuensi syariat), berdasarkan ayat;
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89)
maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil bahwa niat diperhatikan dalam kasus Tholaq Mu’allaq. Alasannya; Tholaq Mu’allaq tidak bisa dihukumi sebagai sumpah dan belum bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula hukum sumpah berbeda dengan hukum talak dan tidak bisa diqiyaskan. Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi talak main-main dihukumi jatuh berdasarakan nash.
Kisah Maulat (majikan wanita) Abu Rofi’ juga tidak bisa dijadikan dasar bahwa Thalaq Mu’allaq dihukumi sumpah. Dengan meneliti redaksinya kita akan bisa memahami bahwa riwayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi sebagai sumpah.
عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ قَالَتْ مَوْلاَتِى لأُفَرِّقَنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ وَكُلُّ مَالٍ لَهَا فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ وَهِىَ يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ إِنْ لَمْ تُفَرِّقْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ قَالَ فَانْطَلَقْتُ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ إِنَّ مَوْلاَتِى تُرِيدُ أَنْ تُفَرِّقَ بَيْنِى وَبَيْنَ امْرَأَتِى فَقَالَتِ انْطَلِقْ إِلَى مَوْلاَتِكَ فَقُلْ لَهَا إِنَّ هَذَا لاَ يَحِلُّ لَكِ. فَرَجَعْتُ إِلَيْهَا – قَالَ – ثُمَّ أَتَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ فَجَاءَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْبَابِ فَقَالَ هَا هُنَا هَارُوتُ وَمَارُوتُ فَقَالَتْ إِنِّى جَعَلْتُ كُلَّ مَالٍ لِى فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ قَالَ فَمَا تَأْكُلِينَ قَالَتْ وَقُلْتُ وَأَنَا يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ. فَقَالَ إِنْ تَهَوَّدْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَنَصَّرْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَمَجَّسْتِ قُتِلْتِ . فَقَالَتْ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ تُكَفِّرِينَ يَمِينَكِ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ فَتَاكِ وَفَتَاتِكِ .
“Dari Abu Rofi’ beliau berkata; Maulat (tuan wanita)ku berkata: “Aku benar-benar akan memisahkanmu (menceraikanmu) dengan istrimu (dan dia bersumpah) semua hartanya (dishodaqohkan) digerbang pintu Ka’bah, dan dia akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi “jika kamu tidak berpisah dengan istrimu” (ancamnya). Maka aku pergi menuju Ummul Mukminin Ummu Salamah dan aku berkata : “Sesungguhnya Maulatku ingin memisahkan aku dengan istriku”. Ummu Salamah berkata; “Pergilah kepada Maulatmu dan katakan bahwa hal ini tidak halal baginya”. Maka aku kembali kepadanya. Lalu aku mendatangi Ibnu Umar, lalu aku memberitahunya. Maka Ibnu Umar datang, hingga ketika sampai di pintu beliau berkata; “Di sini ada Harut dan Marut”. Maulatku berkata: “Sesungguhnya aku telah menjadikan semua hartaku (dishodaqohkan) digerbang Ka’bah”. Ibnu Umar bertanya; “lalu apa yang kamu makan”? dia melanjutkan: “Dan aku berkata; Aku akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi”. Ibnu Umar berkomentar; “Jika engkau menjadi Yahudi maka engkau akan dibunuh, jika engkau menjadai Nasrani maka engkau akan dibunuh, dan jika engkau menjadi Majusi maka engkau akan dibunuh. Dia berkata; “Kalau begitu apa yang kau perintahkan kepadaku”?Ibnu Umar menjawab: “Tebuslah sumpahmu dan kumpulkan antara pemuda dan pemudimu –jangan berusaha menceraikan-” (H.R.Ad-Daruquthni)
Jelas sekali bahwa yang melakukan Ta’liq adalah Maulat Abu Rofi’ bukan Abu Rofi’ sendiri. Tentu saja yang punya hak talak yang berkonsekuensi jatuh talak hanya Abu Rofi’ bukan Maulatnya. Maulat Abu Rofi’ adalah pihak luar, bukan suami dan bukan pula istri. Karena itu Ta’liq yang ia ucapkan sebagai Ta’kid keinginannya bisa difahami secara Urfi sebagai sumpah, sehingga dia diperintahkan menebus sumpahnya dengan Kaffaroh.
Dengan demikian, berdasarkan uraian dalil-dalil di atas, serta bantahan terhadap sejumlah kebaratan bisa difahami bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak ketika syaratnya yang disebutkan dalam ancaman terealisasi. Pendapat ini adalah pendapat seluruh Imam empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’I, dan Imam Ahmad. Bahkan disebut telah menjadi Ijma’ oleh Imam Mujtahid Abu Ubaid, Abu Tsaur, At-Thobary, Abu Bakr bin Al-Mundzir, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, dan Al-Baji.
Ralat dalam Tholaq Mu’alaq tidak berguna, karena Talak bersifat Luzum (mengikat), begitu diucapkan maka jatuhlah konsekuensi sebagaimana lafadz Ijab Qobul dalam akad nikah yang tidak membedakan serius ataupun main-main.
Konsekuensi jatuhnya talak yang ketiga adalah tidak halalnya menikah lagi sampai istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian diceraikan. Allah berfirman;
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain (Al-Baqoroh; 230)
Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.
Memang benar, saran dari ulama kerabat penanya, bahwa dalam mengucapkan talak hendaknya tidak diobral. Seyogyanya para lelaki berhati-hati sekali dalam mengucapkan lafadz talak, karena konsekuensinya berat dan tidak bisa dibatalkan. Rasulullah ﷺ pernah memarahi seorang lelaki yang mentalak istrinya tiga kali sekaligus karena dianggap mempermainkan Kitabullah. An-Nasa’I meriwayatkan;
مَحْمُودَ بْنَ لَبِيدٍ قَالَ
أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا ثُمَّ قَالَ أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَقْتُلُهُ
“Mahmud bin Labid berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kabar mengenai seseorang yang menceraikan istrinya dengan tiga kali cerai sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan marah, kemudian bersabda: “Apakah ia mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku berada diantara kalian, ” hingga seseorang berdiri dan berkata; ya Rasulullah bolehkan aku membunuhnya?” (H.R. An-Nasai)
Diriwayatkan pula bahwa Allah sendiri memubahkan Talak, tetapi talak adalah perkara mubah yang paling dibenciNya. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”(H.R. Abu Dawud)
Jika dalam rumah tangga terjadi persoalan, seyogyanya jangan langsung mengancam dengan talak, tetapi mengikuti cara yang diajarkan dalam Al-Quran. Cara tersebut bisa difahami dari ayat berikut ini;
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (pembangkangan)nya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (An-Nisa:34)
Dari ayat di atas bisa difahami bahwa solusi awal terhadap istri yang bermasalah adalah dinasehati. Nasehat ini jika tidak mempan dari suami bisa meminta tolong kepada ulama atau orang yang disegani istri. Jika nasehat masih tidak mempan, bisa membuat aksi pisah ranjang sebagai hukuman mental yang bisa disertai tidak mengajak berbicara sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah ﷺ kepada istri-istrinya selama satu bulan. Jika pisah ranjang masih tidak mempan maka suami boleh memukul, namun pukulan yang mendidik, bukan pukulan yang menyakitkan. Saat istri membangkang (Nusyuz) maka dia kehilangan hak nafkah. Jadi, jika suami tidak menafkahi istri karena istri yang membangkang, maka suami tidak berdosa.
Jika dipukul belum juga berubah, berarti persoalannya lebih dalam lagi sehingga perlu keterlibatan pihak luar. Dalam kondisi ini, untuk mencari penyelesaian, pihak lelaki mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya dan pihak wanita juga mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya. Kedua utusan ini bertemu untuk membahas dan mencari solusi bersama. Allah menjamin, jika semua memang berniat baik maka Dia akan memberikan taufiq kebaikan. Allah berfirman;
dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.(An-Nisa: 35)
Jika pelibatan dua keluarga ternyata masih juga belum memberikan solusi dan titik terang, berarti persoalan rumah tangga keduanya sudah mencapai puncaknya, sehingga dalam hal ini talaklah yang menjadi solusi terakhir.
Atas dasar ini, bisa disimpulkan kembali bahwa kasus talak yang dibawa penanya adalah termasuk Tholaq Mu’allaq yang dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan terealisasi. Oleh karena syarat yang diancamkan, yaitu pembangkangan istri untuk pergi bersama suami telah terealisasi, maka jatuhlah talak tersebut dan berlaku konsekuensi-konsekuensi jatuhnya talak tiga.
Menjadi pelajaran pula bagi para Muslim-Muslimah yang hendak melangsungkan pernikahan, bahwa dalam menikah hendaknya bukan hanya pembahasan romantisme pernikahan saja yang dikedepankan. Namun yang lebih penting dari itu adalah mengkaji hukum-hukum Fikih baik terkait Fikih lelaki maupun Fikih wanita (seperti topik Tholaq Mu’allaq ini) agar tidak terjatuh pada pelanggaran-pelanggaran syariat yang berkonsekuensi berat. Wallahua’alam.
dimuat ulang dari tulisan kami di sini
4 Comments
Intan
Assalamualaikum wr wb ustad
Dalam rumah tangga saya dengan suami ada pertengkaran dimana suami mengancam saya dengan kalimatnya ( kamu tuh kuliah sudah mau selesai malah mau bubar !!! Kalo kamu bubar kuliahnya ya sudah kita bubar )
Ustad, saya sebelum nikah dengan suami memang saya sudah kuliah , dan awalanya saya masuk kuliah di perguruan tinggi yang memang hanya sampai 2 tahun saja, serta hanya dapat sertifikat saja . Di semester 3 saya kuliah , kampus saja pindah managemen dimana kuliah harus sampai 3 tahun serta nama saya pun sudah di daftarkan oleh pihak kampus untuk melanjutkan ke D3 nya, Tidak lama saya menikah dengan suami akhirnya saya hamil dan mengajukan cuti di semester ke 4 , setelah masa cuti habis saya diberikan pilihan oleh pihak kampus mau meneruskan kuliah yang hanya sampai 2 tahun saja atau mau melanjutkan kuliah pada managemen yang sekarang kuliah sampai D3 . Dan saya pun bingung mau memilih yang mana , jika saya memilih untuk melanjutkan kuliah yang hanya 2 tahun itu ,saya hanya dapat sertifikat saja dan tidak mempunyai ijasah , saya pun memilih managemen kampus yang kuliah sampai D3 . Tetapi pada managemen kampus yang pertama saya masuk itu, dimana saya kuliah hanya sampai 2 tahun saja , saya dinyatakan TIDAK LULUS. karna saya kuliah hanya sampai semester 3 . Jika sudah terjadi talak akibat saya tidak memilih melanjutkan pendidikan saya pada kampus yang pertama yaitu kuliah hanya sampai 2 tahun saja , saya benar2 tidak tau ustad bahwa akan mengakibatkan jatuhnya talak bersyarat yang telah diberikan oleh suami saya ,..
Pertanyaan
1. Bagaimana hukumnya ustad , karna ternyata saya tidak lulus pada kuliah saya yang pertama itu , dimana kuliah saya yang pertama harus menempuh pendidikan selama 2 tahun tetapi saya tidak sampai 2 tahun dan dinyatakan tidak lulus , apakah ancaman suami saya kepada saya itu sudah jatuh talak ?
2. Setelah masa cuti berakhir saya sudah bilang kepada managemen kampus saya yang sekarang bahwa saya lebih baik mundur , tetapi akhirnya tidak jadi karna saya mendapatkan keringanan agar dapat lulus bareng dengan teman teman saya , dimana awalnya pihak kampus yang sekarang menyuruh saya untuk mengulang kembali pada semester 3 .karna saya takut sudah jatuh talak akhirnya saya meminta suami untuk bilang rujuk kepada saya . Saya khawatir tindakan saya yang bilang ingin keluar kepada pihak kampus mengakibatkan jatuh talak .
Apakah tindakan saya itu mengakibatkan jatuh talak ?
3. Bagaimana hukum ucapan rujuk suami pada pertanyaan ke dua itu ustad ?
Mohon dijawab atas semua pertanyaan saya yang di atas , ustad 🙏🙏🙏
Wassalamu’alaikum wr wb.
Admin
Wa‘alaikumussalām waraḥmatullāhi wabarakātuh.
1.kata bubar bukan lafal talak lugas/ṣarīḥ, jadi suami harus ditanya dulu niat talak apa tidak. Jika niat talak baru berlaku hukum talak mu’allaq, jika tidak niat maka tidak berlaku hukum talak mu’allaq. Jika benar talak mu’allaq, begitu dinyatakan lulus maka jatuh talak. Termausk juga jika tidak bisa melanjutkan, maka jatuh talak. Karena semuanya bisa disebut bubar kuliah
2. keinginan keluar dari kampus belum jatuh talak, tapi jika riil benar2 keluar dari kampus membuat jatuh talak. Termasuk juga lulus baik2 juga mmebuat jatuh talak
3.Rujuk sah, jika talak sudah jatuh. Jika belum jatuh maka tidak sah rujuk
Hikmah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirrahmaanirrahiim
Saya mau bertanya ustaz, Suami saya orangnya cemburuan dan sering marah karena dia tidak mau kalau saya bekerja di sekolah. Permasalahannya adalah…
1. Suami saya marah kalau saya bekerja, namun saya tidak mau berhenti bekerja karna suami belum memiliki pekerjaan tetap dan waktu itu saya masih kuliah. Sementara suami saya cuma kerja di toko kecil. Tidak ada dukungan dari orang tua dan mertua saya kalau suami melarang saya bekerja, suami saya marah besar sampai tubuhnya bergetar dan dia ucapkan saya talak kamu. Dia marah besar dan keluar rumah naik motor hingga ke kabupaten sebelah. Malamnya dia pulang dan meminta maaf telah marah-marah dan kami melakukan hubungan suami istri…
2. Sampai umur pernikahan 1 tahun saya ingin punya anak tapi suami tidak mau kasih kalau saya tidak berhenti bekerja, dan saya berjanji akan berhenti bekerja kalau sudah punya anak, namun sampai anak saya lahir saya mengingkari janji dan suami saya pun marah besar. Pagi itu saya mau berangkat bekerja, suami berkata kurang lebih seperti ini “kamu jangan mendekat dengan laki-laki”. Saya bilang “iaa saya janji”, suami bilang Wallahi? Saya bilang iaa Wallahi. Suami saya bilang “kalau kamu mendekat dengan laki-laki maka jatuh talak, intinya kamu jangan selingkuh, jaga diri”. Saya jawab iaa….
Dulu hampir Setiap hari saya pulang kerja suami selalu bertanya hari ini kamu tidak mendekat dengan laki-laki? Ingat kamu sudah janji…saya jawab iaa saya tidak mendekat, meskipun sebenarnya di sekolah kadang saya berfoto bersama teman-teman, berbicara tapi tidak ada maksud saya untuk selingkuh.
Setelah beberapa tahun saya mendengar ceramah tentang talak dan membuat saya was-was, saya tanya maksud suami dulu bilang kalau kamu mendekat it ap, mendekat maksudnya bagaimana? Apakah ketika saya berfoto atau sekedar duduk-duduk bicara atau berdesak-desakan di pasar? Suami saya jawab, mendekat dengan maksud untuk selingkuh, kalau sekedar berfoto atau bicara memang saya cemburu tapi bukan itu maksud talakku. Talakku maksudnya kalau kamu mendekat dengan tujuan selingkuh.
Dan saya tidak pernah mendekat dengan laki-laki dengan maksud selingkuh…apakah talak saya jatuh?
Saya dan suami tidak paham masalah talak ustadz…Yang ingin saya tanyakan berapa talak yang jatuh? Apakah pernikahan ini masih sah?
Jazakallahu khairan
Lina
Assalamualaikum wr.wb ustad
Sebelumnya saya pernah ditalak 1x, setelah itu saya dijatuhkan talak taqliq suami saya bilang apabila saya pergi kerumah ibu saya jatuh talak, dan saya melanggarnya, tapi setelah itu saya rujuk kembali, dan setelah itu suami saya mengizinkan saya kerumah ibu saya lagi, jadi apakah itu masih jatuh talak, terima kasih ustad