Oleh : Ust. Muafa
Kita tengah membicarakan seorang pakar manzhumah bermadzhab Asy-Syafi’i asal Mesir yang wafat pada 989 H. Nama lengkapnya Syarofuddin Yahya bin Nuruddin bin Musa bin ‘Amiroh. Karya manzhumahnya dalam ilmu nahwu yang bernama “Ad-Durrotu Al-Bahiyyah”, yakni bentuk puisi dari matan Al-Ajurrumiyyah, terkenal bukan hanya di kalangan madzhab Asy-Syafi’i tetapi juga madzhab-madzhab lainnya. Manzhumah ini bahkan lebih populer dengan nama pengarangnya. Jika disebut orang “Nazhom ‘Imrithi”, terutama di pondok-pondok pesantren, maka yang dimaksud adalah “Ad-Durrotu Al-Bahiyyah” itu.
Demikian hebat kemampuan beliau dalam membuat manzhumah sampai-sampai Hasan Habannakah (guru ulama-ulama besar Asy-Syafi’iyyah kontemporer seperti Romadhon Al-Buthi, Musthofa Dib Al-Bugho, Musththofa Al-Khin, dan lain-lain) menyebutnya sebagai “aayatan fin nazhmi” (آية في النظم)/ “ayat dalam membuat nazhom”. Karya-karya manzhumah beliau memang bermutu tinggi, pilihan katanya fasih, mudah dihapal, bahasanya mudah dan mengena langsung ke pokok ilmu yang dibicarakan.
Karya manzhumah beliau selain Ad-Durrotu Al-Bahiyyah adalah,
• Nihayatu At-Tadrib (نهاية التدريب) yang merupakan manzhumah dari matan Abu Syuja’ dalam bidang fikih
• At-Taisir (التيسير) yang merupakan manzhumah dari kitab fikih madzhab Asy-Syafi’i yang berjudul “Tahriru Tanqih Al-Lubab” karya Zakariyya Al-Anshori
• Tashilu Ath-Thuruqot (تسهيل الطرقات) yang merupakan manzhumah dari kitab ushul fikih ringkas karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini yang berjudul “Al-Waroqot”
Pertanyaannya, mana yang lebih tepat dalam melafalkan nama beliau, apakah dilafalkan ‘Imrithi (العِمْرِيْطِي) dengan mengkasrohkan ‘ain ataukan ‘Amrithi (العَمْرِيْطِي) dengan memfathahkan ‘Ain?
Kata (عمريط) sesungguhnya adalah nama tempat di Mesir sebagaimana ditegaskan Az-Zirikli dalam kitab Al-A’lam,
Artinya : “nama العمريطي adalah seorang fakih bermadzhab Asy-Syafi’i. termasuk ulama dari desa عمريط , Mesir bagian timur. (Al-A’lam, juz 8 hlm 175)
Jadi, kata tersebut adalah laqob yang diperoleh dari nisbat terhadap nama sebuah desa di Mesir. Dengan demikian dhobth lafaz yang harus dijadikan rujukan sebenarnya adalah dhobth lafaz isim ‘alam yang terkait dengan nama negeri yang lazimnya bisa ditemukan pada kitab-kitab Mu’jamu Al-Buldan.
Al-Hazimi dalam kitabnya; “Asy-Syarh Al-Mukhtashor Linazhmi Al-Waroqot” menegaskan bahwa pelafalan yang tepat adalah membacanya dengan memfathahkan ‘ain (العَمْرِيْطِي)/‘Amrithi. Bahkan beliau menegaskan bahwa membaca dengan mengkasrohkan ‘ain adalah bentuk lahn (kesalahaan berbahasa). Konsepsi lahn bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Memerangi Lahn”.
Al-Hazimi berkata,
Artinya: “…’Amrithi adalah dengan memfathahkan ‘ain. Di sebagian kalangan lafaz ini populer dengan lafaz ‘Imrithi dengan mengkasrohkan. Ini mengandung unsur lahn…” (Asy-Syarh Al-Mukhtashor Linazhmi Al-Waroqot, juz 1 hlm 3)
Cara pelafalan ‘Amrithi ini juga ditegaskan oleh Hasan Habannakah pada saat beliau memberi pengantar untuk editannya terhadap kitab “Nihayatu At-Tadrib. Pelafalan ‘Amrithi itulah yang lebih masyhur.
Hanya saja, Az-Zabidi dalam kamusnya yang berjudul “Taju Al-‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus” menjelaskan bahwa desa di Mesir asal ulama yang kita bicarakan ini dibaca dengan mengkasrohkan ‘ain. Az-Zabidi berkata,
Artinya : “…’Imrith dengan mengaksrohkan (‘ain) adalah desa di Mesir bagian timur “ (Taju Al-‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus juz 19 hlm 492)
Az-Zabidi adalah seorang pakar bahasa Arab, karena itu informasi dari beliau juga tidak bisa diremehkan.
Barangkali karena ada dua informasi berbeda seperti inilah maka ada sebagian peneliti yang memilih jalan mengkompromikan, misalnya seperti yang dilakukan oleh Yasir Al-Miqdad pada saat mentahqiq kitab At-Taisir, manzhumah karya Al-‘Amrithi untuk kitab mukhtashor fikih berjudul “Tahriru Tanqih Al-Lubab”. Menurut Yasir, melafalkan ‘Amrithi adalah betul, melafalkan ‘Imrithi juga betul.
Adapun analisis yang saya condongi adalah, pelafalan ‘Imrithi “diterima” bukan karena itu benar, tetapi barangkali karena sudah kadung populer di tengah-tengah masyarakat sebagaimana diterimanya lafaz “zakat fitrah” (seharusnya zakat fitri), “muhrim” (seharusnya mahrom), “Ibnu Roslan” (seharusnya Ibnu Arsalan) dan semisalnya karena sudah telanjur populer. Pelafalan yang sudah “kadung populer” itulah yang diriwayatkan oleh Murtadho Az-Zabidi.
Wallahua’lam.