Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Nama resmi yang ditulis oleh sang pengarang untuk kitab ini adalah “Bahru Al-Madzhab (بحر المذهب). Sebagian manuskrip ada yang keliru menulisnya “Bahru Adz-Dzahab” dan ada pula manuskrip yang keliru menulisnya menjadi “Tahriru Al-Madzhab”. Kadang-kadang para ulama menyingkatnya menjadi “Al-Bahr”. Lafaz “bahr” sendiri bermakna “lautan”. Jadi, nama kitab ini seakan-akan ingin memberi informasi bahwa kandungan ilmu yang ada di dalamnya keluasaannya adalah bagaikan lautan, khususnya dalam menjelaskan ilmu fikih mazhab Asy-Syafi’i.
Kitab ini adalah salah satu syarah “Mukhtashor Al-Muzani”. Dalam catatan-catatan sebelumnya, kita telah membahas sejumlah syarah “Mukhtshor Al-Muzani” seperti kitab “At-Ta’liqoh” karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari, “Nihayatu Al-Mathlab” karya Al-Juwaini, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi dan lain-lain. Kitab “Bahru Al-Madzhab” adalah salah satu dari syarah-syarah “Mukhtashor Al-Muzani” tersebut.
Kitab ini tergolong syarah muthowwal, sampai disebut Ibnu Khollikan, “min athwali kutubi Asy-Syafi’iyyin” (di antara kitab-kitab terpanjang yang dikarang oleh ulama mazhab Asy-Syafi’i).
Pengarangnya bernama Ar-Ruyani (الروياني), seorang qodhi/hakim di masanya. Lengkapnya, Abu Al-Mahasin Abdul Wahid bin Isma’il Ar-Ruyani. Beliau berasal dari Ruyan (رويان), yakni sebuah kota besar di Thobaristan (wilayah Iran sekarang). Lahirnya tahun 415 H.
Hafalannya sangat kuat. Penguasaannya terhadap mazhab Asy-Syafi’i sangat dalam, sampai-sampai konon beliau berkata,
“Seandainya kitab-kitab Asy-Syafi’i (semuanya) terbakar, pastilah aku (sanggup) mendiktekannya (lagi) dengan hafalanku”
Barangkali karena kedalaman penguasaan ini beliau digelari “syafi’iyyu zamanihi” (Asy-Syafi’i di zamannya).
Motivasi Ar-Ruyani menulis kitab ini -sebagaimana beliau tulis dalam muqoddimah-adalah untuk menghimpun semua karya-karya beliau sebelumnya terkait fikih Asy-Syafi’i dan ikhtilaf-ikhtilafnya. Dengan begitu kitab ini nantinya akan menjadi rujukan yang mudah diakses untuk mengetahui penjelasan lebih detail kasus fikih tertentu dan mengetahui mana pendapat yang paling sahih. Kitab ini ditulis Ar-Ruyani di akhir-akhir hidup beliau.
Kitab ini pantas disebut “bahr” (lautan), karena luasnya memang bagaikan lautan. Ibnu Ash-Sholah memujinya sebagai kitab yang kaya nukilan. Ibnu Katsir memujinya sebagai kitab yang padat, lengkap, dan mencakup hal-hal yang langka. As-Subki memujinya sebagai kitab yang lebih kaya perincian fikihnya daripada “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi. Adz-Dzahabi memujinya sebagai kitab yang sangat kaya informasi dan luas bahasannya. Yaqut Al-Hamawi bersaksi bahwa kitab “Bahru Al-Madzhab” ini lebih difavoritkan untuk dipelajari oleh sejumlah ulama-ulama Khurosan daripada semua kitab Asy-Syafi’iyyah di zaman itu.
Adapun metode penulisannya, dari sisi cara penggolongan dan ketegorisasi topik termasuk urutannya, Ar-Ruyani mengikuti “Mukhtashor Al-Muzani”. Dalil-dalil disebutkan dalam kitab ini, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas. Ikhtilaf internal ulama mazhab Asy-Syafi’i tak lupa dinukil dan diulas. Pendapat-pendapat imam mazhab termasuk ikhtilaf mereka juga dinukil dan dibahas. Termasuk juga pendapat ulama shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in. Dari sisi ini, kitab “Bahru Al-Madzhab” bisa dijadikan sebagai salah satu referensi kitab fikih perbandingan (fiqh muqoron).
Ar-Ruyani juga melakukan pembahasan aspek kebahasaan, gramatikal/nahwu dan bahkan –syawahid syi’riyyah. Di berbagai tempat, Ar-Ruyani banyak menukil dari “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, bahkan mengulang lafaz tanpa pengubahan sedikitpun. Termasuk yang patut mendapat perhatian, Ar-Ruyani memiliki banyak ikhtiyarot (yakni pendapat pribadi yang bertentangan dengan pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i). Ikhtiyarot–ikhtiyarot ini kebanyakan sama dengan mazhab Malik.
Kelemahan kitab ini adalah tidak menjelaskan mana hadis yang sahih maupun yang dhoif. Ar-Ruyani juga tidak mentakhrij hadis. Ada sejumlah hadis dhoif, bahkan sangat lemah di dalamnya. Akibatnya sejumlah persoalan fikih diturunkan hukumnya berdasarkan hadis dhoif ini.
Jika dibandingkan dengan kitab “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, kitab “Bahru Al-Madzhab” dari sisi furu’ lebih kaya. Hanya saja, “Al-Hawi Al-Kabir” lebih bagus susunanya dan lebih jelas dalam melakukan “tahdzib”.
Dari sisi popularitas, kitab ‘Bahru Al-Madzhab” masih kalah populer dengan kitab “Al-Hawi Al-Kabir”. Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan dan dikuatkan oleh As-Subki bahwa kitab “Bahru Al-Madzhab” karya Ar-Ruyani esensinya hanyalah mengambil dari “Al-Hawi Al-Kabir” kemudian ditambahi sejumlah perincian fikih yang didapatkan dari ayah Ar-Ruyani dan kekeknya. Barangkali fakta ini yang menyebabkan “Bahru Al-Madzhab” menjadi kalah pamor.
Manuskrip kitab “Bahru Al-Madzhab” bisa ditemukan di sejumlah perpustakaan, di antaranya “Dar Al-Kutub Wa Al-Watsa-iq Al-Qoumiyyah” di Mesir, “Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah” di Kairo; Mesir, dan “Ma’had Al-Makhthuthot Al-‘Arobiyyah” di Kairo; Mesir.
Percetakan “Dar Ihya’ At-Turots Al-‘Aroby” di Beirut; Libanon menerbitkan kitab ‘Bahru Al-Madzhab dalam 14 jilid dengan ketebalan total sekitar 4900-an halaman atas jasa tahqiq Ahmad Azo ‘Inayah.
Sayangnya, muhaqqiq hanya bertumpu pada satu manuskrip. Itupun kondisinya sudah memprihatinkan. Penyalinnya kelihatan lebih dari satu dan banyak tulisan yang hilang/tak terbaca. Akhirnya terpaksa muhaqqiq menyempurnakan kalimat yang hilang itu dengan merujuk pada “Al-Hawi Al-Kabir” dengan alasan Ar-Ruyani banyak menukil dari sana. Jika muhaqqiq tidak mendapati di dalam “Al-Hawi Al-Kabir” apa yang diperlukannya, maka bagian itu dalam “Bahru Al-Madzhab” dibiarkan kosong.
Adapun kisah wafatnya Ar-Ruyani, hal itu mengandung kisah sedih, tragis dan memilukan. Kata Ma’mar bin Al-Fakhir, wafatnya Ar-Ruyani adalah dibunuh setelah selesai mengisi kajian imla’. Kejadiannya di hari Jumat 11 Muharram tahun 502 H di masjid Jami’ Amul.
Pembunuhnya adalah salah seorang anggota sekte Bathiniyyah (Isma’iliyyah) melalui kelompok pembunuh mereka yang terkenal dengan nama “hasy-syasyin” ( istilah ini lalu diserap dalam bahasa Inggris menjadi “Assassin”). Cara terkenal kelompok ini dalam membunuh adalah dengan melemparkan belati dari jarak jauh, atau menusukkan pada perut, atau menusukkannya pada leher korban. Ar-Ruyani sendiri dibunuh dengan cara ditusuk pada lambungnya.
Kelompok Bathiniyyah ini memang sengaja mentarget ulama dan penguasa, karena ulama adalah orang yang paling banyak menyingkap kebatilan mereka, sementara penguasa adalah orang yang menekan mereka secara militer. Tapi, teror kaum bid’ah seperti ini tidak pernah menyurutkan para ulama untuk tetap tegas menyatakan kebenaran seperti yang dilakukan Al-Ghozzali ketika mengarang “Fadho-ih Al-Bathiniyyah” (menelanjangi skandal-skandal sekte bathiniyyah).
Kata Ibnu Al-Atsir, sekte Bathiniyyah memang melakukan pemberontakan pada tahun 502 H pada saat gubernur sedang tidak ada. Mereka menduduki wilayah Syiroz, berbuat kerusakan dan melakukan pembunuhan. Di antara yang mereka bunuh adalah Ar-Ruyani. Setelah sang gubernur kembali, maka pemberontakan sekte ini dipadamkan.
رحم الله الروياني رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين