Oleh Ustaz Muafa
Tentu tidak bisa.
Ini persepsi keliru yang kadang menimpa sebagian penganut mazhab Asy-Syafi’i, dan terutama sekali kalangan eksternal. Kadang-kadang ada dai yang tidak bermazhab Asy-Syafi’i, yang kemudian mungkin berniat melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penganut mazhab Asy-Syafi’i yang dianggapnya menyimpang atau tidak konsisten dengan mazhab Asy-Syafi’i, lalu mengutip salah satu kitab fikih bermazhab Asy-Syafi’i dan langsung mengklaimnya sebagai pendapat Asy-Syafi’i atau mazhab Asy-Syafi’i.
Itu keliru dan harus diluruskan.
Catatan terkait topik ini idealnya mengupas banyak sisi secara komprehensif sehingga masalah ini bisa terurai sejelas-selasnya. Tetapi dalam artikel kali ini, saya akan membahas singkat dengan memfokuskan uraian masuk lewat isu esensialnya, yakni adopsi hukum muqollid terhadap pendapat mazhab tertentu.
Jika ada orang berilmu atau orang awam yang kagum dengan ijtihad imam Asy-Syafi’i, kemudian mengadopsi sebagian besar hukum yang merupakan hasil ijtihad beliau atau pendapat mu’tamad yang dinisbatkan kepada mazhabnya, dan hanya dalam beberapa hukum saja mengambil pendapat yang tidak mu’tamad atau bahkan pendapat dari luar mazhab karena merasa pendapat di luar lebih kuat secara argumentasi, maka cara mengambil hukum syara seperti ini tidak masalah tanpa membedakan apakah dia menyatakan diri bermazhab Asy-Syafi’i ataukah tidak. Hanya saja, patut dicatat bahwa penyikapan cara pengambilan hukum syara dengan gambaran seperti ini dalam hal perincian ada ikhtilaf di kalangan ulama Asy-Syafi’i sendiri, terutama antara ulama mutaqoddimin dengan mutaakhirin.
Akan tetapi, jika ada orang berilmu atau orang awam yang telah menyatakan diri TERIKAT (الالتزام)/multazim dengan mazhab Asy-Syafi’i (karena telah yakin bahwa mazhab beliau adalah mazhab yang terkuat di antara seluruh mazhab) bukan hanya bermazhab yang sifatnya “intisab” (الانتساب)/menisbatkan diri (karena merasa cocok dengan mayoritas ijtihad Asy-Syafi’i), maka dalam kondisi ini wajib baginya untuk mencari mana pendapat mu’tamad, dan tidak boleh mengamalkan pendapat ulama Asy-Syafi’iyyah yang tidak mu’tamad apalagi pendapat di luar mazhab Asy-Syafi’i. Mufti dan hakim yang ditanya hukum oleh orang yang bermazhab Asy-Syafi’i secara “iltizam” ini juga wajib memberikan jawaban berdasarkan pendapat mu’tamad.
Nah, untuk melacak pendapat mu’tamad, tidak boleh langsung merujuk secara sembarangan pada kitab-kitab fikih yang ditulis oleh ulama Asy-Syafi’i. Penjelasan alasan singkatnya, tidak semua isi kitab fikih yang ditulis oleh ulama Asy-Syafi’iyyah itu mencerminkan pendapat mu’tamad.
Dalam menelaah kitab-kitab fikih ulama Asy-Syafi’iyyah kita harus jeli dan bisa membedakan mana yang termasuk pendapat Asy-Syafi’i, mana yang termasuk mazhab Asy-Syafi’i, mana yang termasuk “ikhtiyarot” ulama Asy-Syafi’iyyah dan mana pendapat yang tidak ada hubungan dengan mazhab Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab fikih yang ditulis oleh ulama Asy-Syafi’iyyah itu memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung zaman penulisannya, siapa penulisnya, maksud penulisannya, pendekatan cara penulisannya, berada di fase perkembangan mazhab yang mana dan seterusnya.
Ada kitab yang ditulis pada saat Asy-Syafi’i masih hidup, ada yang ditulis setelah beliau wafat, ada yang ditulis di zaman di mana “ash-habul wujuh” memasukkan hasil ijtihad mereka kemudian diklaim sebagai mazhab Asy-Syafi’i, ada yang kuat dalam memvalidasi riwayat aqwal Asy-Syafi’i, ada yang lemah memvalidasi awqal Asy-Syafi’i, ada yang memasukkan “ikhtiyarot” masing-masing dan seterusnya. Dengan gambaran sekilas ini, tentu saja sudah bisa dipahami bahwa tidak mungkin langsung mengklaim suatu pendapat fikih sebagai pendapat Asy-Syafi’i atau mazhab Asy-Syafi’i hanya dengan membaca kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah.
Menentukan mana pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i memerlukan kerja keras dalam hal “tahrir”, “tanqih”, dan “tahdzib”. Ini adalah kerja raksasa. Dalam sejarah, Allah menakdirkan beberapa orang saja yang sanggup melakukannya dan menonjol dalam bidang ini. Mereka adalah Ar-Rofi’i, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Ar-Romli. Kitab-kitab merekalah yang menjadi tumpuan dalam menentukan mana pendapat mu’tamad, itupun masih harus dirinci terkait tarjihnya jika ada ikhtilaf dan bagaimana mengurutkan kitab-kitab mereka dari sisi kekuatan.
An-Nawawi berkata,
“…tidak boleh orang yang fatwanya menukil mazhab seorang imam, jika dia bertumpu pada kitab-kitab, (tidak boleh baginya) bertumpu kecuali pada kitab yang sudah diverifikasi kesahihannya dan (sudah diverifikasi) bahwa ia memang mazhab imam tersebut” (Al-Majmu’, juz 1, hlm 46)
Atas dasar ini, tidak boleh ada orang yang sekedar membaca kitab “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, atau “Nihayatu Al-Mathlab” karya Al-Juwaini, atau “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi, atau “Al-Bayan” karya Al-‘Imroni, atau bahkan kitab kecil semacam “Matan Abu Syuja’”, lalu menukilnya kemudian secara gegabah mengklaim bahwa apa yang dinukilnya itu atau apa yang dipahaminya dari nukilan itu adalah pendapat imam Asy-Syafi’i atau pendapat mazhab Asy-Syafi’i atau pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i.
Agar kesalahan seperti itu tidak terjadi, maka harus diketahui apa perbedaan antara istilah “Pendapat Asy-Syafi’i” dengan “Mazhab Asy-Syafi’i”, apa itu pengertian pendapat mu’tamad, bagaimana aturan main menentukan pendapat mazhab Asy-Syafi’i yang dilakukan melalui upaya keras tahrir mazhab, bagaimana sejarah “tahdzib”, “tanqih” dan “tahrir” mazhab Asy-Syafi’i, mana kitab mu’tamad dan mana yang bukan, dan lain-lain.
وارزفنا تواضعا جميلا
One Comment
Ibn Jakartawi
Kalau merujuk kitab al-Mu’tamad fi Fiqh asy-Syafi’i karya Muhammad Zuhaili, boleh langsung dianggap muktamad atau tidak, Ust?