Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Suatu malam -demikian tersebut dalam Shahih Muslim- Rasulullah ﷺ keluar rumah karena kelaparan. Di jalan, secara tidak sengaja beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya alasan mereka keluar, ternyata rasa laparlah yang menyebabkannya.
Akhirnya Rasulullah ﷺ dan kedua Shahabatnya berjalan bersama-sama menuju rumah salah satu shahabat Anshor. Sesampai di sana, yang menemui adalah istri shahabat Anshor tersebut karena suaminya masih mencari air.
Tak lama kemudian, datanglah shahabat Anshor itu. Gembira sekali ia dengan kedatangan ketiga tamu agung itu. Segera saja ia mengambilkan setandan kurma untuk dihidangkan kepada Rasulullah ﷺ dan kedua shahabatnya. Upayanya dalam memuliakan Rasulullah ﷺ dan kedua shahabatnya tidak berhenti di sini. Setelah menghidangkan tandan kurma, segera saja ia mengambil pisau, menyembelih kambing, memasaknya dan menyajikannya untuk disantap tamu-tamunya.
Ketiga hamba Allah mulia tersebut pun menikmati hidangan istimewa itu dengan penuh nikmat sampai kenyang. Setelah selesai maka Rasulullah ﷺ bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian pasti akan ditanya oleh Allah tentang nikmat ini pada hari kiamat! Rasa lapar telah membuat kalian keluar rumah, kemudian sebelum pulang kalian telah mendapatkan nikmat ini” (H.R. Muslim)
Sabda Rasulullah ﷺ ini sesungguhnya adalah menegaskan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi,
“Kemudian, sungguh kalian pasti akan ditanyai tentang nikmat (yang diberikan Allah) pada hari itu -hari kiamat- (Q.S. At-Takatsur: 8)
Mari kita renungkan.
Jika nikmat makan sampai kenyang saja nanti akan ditanyakan oleh Allah, bagaimana dengan nikmat makan yang lebih dari itu?
Bagaimana dengan para hamba yang dalam makan tujuannya bukan sekedar memadamkan rasa lapar tetapi juga pilih-pilih makanan enak, bahkan sengaja hanya mau makan di tempat-tempat tertentu demi mengejar prestise?
Sungguh. Semua nikmat pasti akan dihisab oleh Allah kecuali tiga saja,
Pertama: Sepotong makanan untuk sekedar memadamkan rasa lapar
Kedua: Secarik pakaian untuk sekedar menutup aurot
Ketiga: Kediaman untuk sekedar berlindung dari panas dan dingin.
Ahmad meriwayatkan,
“…Umar mengambil setangkai kurma kemudian memukulkannya di atas tanah hingga kurma-kurma mudanya berguguran di dekat Rasulullah ﷺ. Lalu dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, apakah kita nanti akan ditanya tentang ini pada hari kiamat?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Ya, kecuali tiga hal. Kain perca yang digunakan seseorang untuk menutup auratnya, sepotong makanan untuk menghilangkan rasa laparnya, dan kediaman yang ia masuki untuk berlindung dari panas dan dingin…” (H.R. Ahmad)
Dengan adanya ajaran seperti ini, tidak heran jika shahabat seperti Salman Al-Farisi menolak jika diajak makan yang membuatnya sampai kenyang terus-terusan karena beliau pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa orang yang paling lama kenyangnya di dunia adalah orang yang paling lama laparnya di akhirat!
Kalau begitu, apakah dilarang makan enak, punya pakaian bagus, punya rumah bagus, punya kendaraan nyaman, gadget canggih dan semua kenikmatan duniawi lain selain tiga hal tadi?
Tidak juga.
Hanya saja harus diakui, orang yang mendapatkan nikmat berlebih, pasti hisabnya lebih berat daripada orang yang nikmatnya minimalis.
Yang dituntut Allah kepada seorang hamba saat mendaptkan nikmat adalah bersyukur kepada-Nya. Minimal, jika dia makan sampai kenyang atau makan enak dia mengawali dengan menyebut nama Allah dan mengakhiri dengan memuji-Nya, maka itu sudah cukup dikatakan bersyukur.
Syukur yang paling ideal adalah memaksimalkan penggunaan nikmat itu untuk menyenangkan Allah dan membuatnya menjadi ridha. Setelah makan, energi yang tercipta kemudian diniatkan untuk melakukan ketaatan habis-habisan. Entah itu salat, haji, jihad, membaca Al-Qur’an, berdakwah, membantu meringankan pekerjaan orang dan semua amal salih yang disenangi Allah. Dengan cara itulah kita bisa berharap selamat dari hisab atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah.
فإنه لا عيش إلا عيش الآخرة