Dijawab oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
PERTANYAAN
Assalaamu’alaikum ustadz, saya hendak bertanya:
Dalam madzhab syafi’i kan qunut itu dilaksanakan pada 3 waktu: raka’at kedua shubuh, raka’at terakhir shalat witir di sepertiga terakhir ramadhan; dan qunut nazilah. Sementara di madzhab hanbali qunut itu pada shalat witir. Nah, boleh tidak yg bermadzhab syafi’i melakukan qunut di rakaat terakhir shalat2 witir selain ramadhan?
Yg kedua, boleh tidak menggabungkan beberapa redaksi qunut, seperti allahummahdinii.. terus allaahumma innaa nasta’iinuka… terus allaahumma ‘adzdzibil kafarata… atau menambah dengan doa seperti yg kita lihat di mekkah/madinah pada saat witir ramadhan? Terima kasih ustadz .. (Mulyadin)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh.
Orang yang bermazhab Asy-Syafi’i lalu melakukan qunut pada witir selain Ramadan padahal tidak meyakini ijtihad tersebut tentu saja tidak disyariatkan. Ibnu Ash-Sholah berkata,
“Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencukupkan diri fatwa dan amalnya sesuai dengan sebuah ijtihad imam atau ijtihad ulama mazhab dalam suatu kasus dan beramal dengan ijtihad yang ia sukai tanpa meneliti dan melakukan tarjih dan tidak terikat dengannya, maka sesungguhnya dia itu bodoh dan melawan ijmak“ (Adabu Al-Mufti wa Al-Mustafti, hlm 125)
Tetapi jika bermakmum kepada orang yang salat witir sementara imamnya berqunut pada rakaat terakhir, maka orang yang bermazhab Asy-Syafi’i ini disyariatkan ikut berdasarkan hadis,
“Imam (salat) itu diangkat untuk diikuti” (H.R. Al-Bukhori)
Lebih dari itu, kita diperintahkan untuk merealisasikan i’tilaf (harmoni) dan ittihad (persatuan) di tengah-tengah kaum muslimin serta menjauhi tafarruq (perpecahan) dan ikhtilaf madzmum (perselisihan tercela). Jadi, “mengalah” untuk meninggalkan ijtihad dalam kondisi khusus demi menghindari perpecahan dan hubungan yang tidak baik adalah disyariatkan. Ahmad berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al-‘Utsaimin sebagai berikut,
“Sungguh, Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam salat Subuh itu bid’ah. Kendati demikian beliau memfatwakan, ‘Jika engkau bermakmum kepada seorang imam yang berqunut, maka ikutilah dalam qunutnya dan aminkan doanya. Semua itu adalah untuk kesatuan barisan, harmoni hati dan menghindarkan kebencian satu sama lain” (Asy-Syarhu Al-Mumti’, juz 4 hlm 64)
Masalah meninggalkan ijtihad demi persatuan umat bisa dibaca lebih detail pada artikel saya yang berjudul “Meninggalkan Ijtihad Dalam Rangka Persatuan Umat”
Untuk menggabung doa-doa ma’tsur, saya mengikuti pendapat yang membolehkan sebagaimana difatwakan An-Nawawi dan yang lainnya. An-Nawawi berkata,
“..tetapi yang terbaik adalah menggabung (riwayat) dzikir-dzikir ini seluruhnya jika memungkinkan hal itu, asalkan tidak menyusahkan orang lain (Al-Adzkar, hlm 114)
Wallahua’lam.