Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara manfaat terpenting mengetahui kronologi waktu penulisan kitab adalah memilih pendapat terkuat pada saat terjadi kontradiksi pada dua kitab atau lebih sementara penulisnya adalah orang yang sama. Adalah hal yang logis dan rasional jika dalam perjalanan intelektual seorang manusia ada yang namanya proses menuju kematangan dan stabilisasi pemikiran. Semakin bertambah pengetahuan seseorang, maka semakin matang dan mapan-lah pemikirannya. Oleh karena itu, karya intelektual seorang tokoh biasanya yang dianggap cerminan kematangan pemikirannya adalah karya yang terakhir. Jika terjadi kontradiksi antara pemikiran di “masa muda” dengan pemikiran di “masa tua”, maka pemikiran di “masa tua” ini dianggap “menasakh” pemikiran di “masa muda. Seperti itu pula-lah kira-kira yang terjadi pada kasus ijtihad Asy-Syafi’i terkait “qoul qodim” dan “qoul jadid”nya. Ijtihad Asy-Syafi’i yang “jadid” secara umum dianggap me”nasakh” dan mengoreksi ijtihad “qoul qodim” karena apa yang ditulis Asy-Syafi’i pada fase “qoul jadid” ini mencerminkan ijtihad yang lebih matang daripada Asy-Syafi’i muda pada saat mengajarkan “qoul qodim”nya.
Seperti itu pula-lah kira-kira yang juga terjadi pada sejumlah “maha karya” An-Nawawi pada saat melakukan pekerjaan raksasa yang dinamakan “tahrir mazhab” itu. Dalam usaha An-Nawawi melakukan “tahrir” mazhab Asy-Syafi’i, hasil penelitian beliau dituangkan dalam sejumlah karya baik yang berupa kitab “mukhtashor”, “mutawassith” maupun “muthowwal”. Hanya saja, bagi peneliti yang serius mengkaji kitab-kitab An-Nawawi, kadang-kadang dia mendapati kontradiksi penjelasan An-Nawawi sebagaimana pernah saya tuliskan dalam artikel yang berjudul “Contoh-Contoh Kontradiksi Dalam Kitab-Kitab An-Nawawi”. Adanya kontradiksi antara kitab-kitab An-Nawawi ini mengharuskan untuk ditarjih. Nah, cara mentarjih ini kaidahnya sederhana, yaitu, “Apa yang ditulis An-Nawawi di masa-masa akhir hayatnya adalah tarjih yang paling matang dan paling kuat daripada karya-karya yang lahir di masa awal-awal penulisan”. Dari sinilah muncul penjelasan terkait urutan kekuatan kitab-kitab An-Nawawi sebagaimana pernah saya tulis dalam artikel yang berjudul “Urutan “Kekuatan” Kitab-Kitab An-Nawawi”. Seperti inilah gambaran umum urgensi membahas kronologi waktu penulisan sebuah kitab yang ditulis oleh seorang tokoh.
Kembali pada pertanyaan utama, “Manakah Yang Lebih Dulu Ditulis Oleh An-Nawawi; “Al-Adzkar” Ataukah “Riyadhu Ash-Sholhin”? Kitab “Al-Adzkar” adalah kitab An-Nawawi yang berisi hadis-hadis Nabi ﷺ tetapi khusus menghimpun hadis-hadis yang terkait dzikir dan doa. Adapun kitab “Riyadhu Ash-Sholihin”, kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab akhlak yang resensinya pernah saya tulis dalam artikel yang berjudul “Mengenal Kitab “Riyadhu Ash-Sholihin” Karya An-Nawawi”.
Jawaban singkat dari pertanyaan di atas adalah , “Al-Adzkar ditulis lebih dulu”.
Minimal ada dua argumentasi yang melandasi kesimpulan ini.
Pertama, dalam penelitian Bassam Al-Jabi yang menyelidiki manuskrip kitab “Al-Adzkar” dan “Riyadhu Ash-Sholihin”, beliau menemukan data tanggal awal penulisan dua kitab itu sebagai berikut; Kitab “Riyadhu Ash-Sholihin” selesai di tulis An-Nawawi pada hari Senin, 4 Ramadan tahun 670 H. Adapun kitab “Al-Adzkar”, kitab ini diselesaikan An-Nawawi pada bulan Muharram tahun 667 H. Jika penelitian ini benar, maka data itu jelas menunjukkan bahwa kitab “Al-Adzkar” ditulis kira-kira tiga tahun sebelum “Riyadhu As-Sholihin”.
Kedua, dalam kitab “Riyadhu Ash-Sholihin”, dalam pembahasan bab dusta An-Nawawi sempat mengutip sekilas dari kitab “Al-Adzkar”. An-Nawawi berkata,
“Ketahuilah, sesungguhnya dusta itu meski hukumnya haram, tetapi dusta boleh dalam beberapa kondisi dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana telah pernah saya jelaskan dalam kitab Al-Adzkar’ (Riyadhu Ash-Sholihin, hlm 433)
Jika An-Nawawi mengutip dari kitab “Al-Adzkar”, maka fakta ini adalah bukti kuat bahwa “Al-Adzkar” sudah ditulis An-Nawawi sebelum menulis kitab “Riyadhu Ash-Sholihin”. Artinya, kitab “Al-Adzkar” sudah selesai ditulis sebelum An-Nawawi memulai menulis “Riyadhu Ash-Sholihin”. Tidak mungkin An-Nawawi mengutip dari kitab yang masih belum ada. Jadi kenyataan ini bisa kita jadikan sebagai bukti kuat yang menunjukkan bahwa kitab “Al-Adzkar” ditulis oleh An-Nawawi terlebih dahulu daripada kitab “Riyadhu Ash-Sholihin”. Wallahua’lam