Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hari itu, Ad-Dakhili, salah seorang pengajar hadis sedang memberikan kuliahnya di depan para ulama pemburu hadis. Di antara ucapan beliau saat menjelaskan salah satu sanad hadis yang beliau ajarkan adalah kalimat ini,
“….Sufyan, dari Abu Az-Zubair dari Ibrohim….”
Tiba-tiba seorang bocah berusia 11 tahun menyela dan menyanggah,
“Abu Az-Zubair tidak pernah meriwayatkan dari Ibrahim”
Ad-Dakhili marah dan membentak bocah itu, karena bagaimana mungkin seorang bocah “ingusan” berani mengoreksi seorang ahli hadis yang dikenal mengajarkan hadis di kota itu? Mendengar bentakan itu, sang bocah tak ciut nyali. Dengan penuh keberanian dan rasa tanggungjawab dia merespon,
“Silakan dicek pada catatan induk, ustaz”
Penasaran, Ad-Dakhili masuk ke ruangannya dan mengecek catatan induk hadis yang ada pada beliau. Demi setelah dilihatnya catatan tersebut, terkejutlah beliau karena bocah kecil itu sepertinya benar. Akan tetapi Ad-Dakhili ingin mengetesnya lebih lanjut sehingga beliau keluar lagi dan bertanya,
“Bagaimana yang benar nak?”
Bocah itu menjawab,
“Yang benar beliau adalah Az-Zubair bin ‘Adi (bukan Abu Az-Zubair). Beliau (Az-Zubair bin Adi)-lah yang meriwayatkan hadis dari Ibrohim.”
Mendengar penjelasan itu segeralah Ad-Dakhili mengambil pena yang dipegang bocah itu dan mengoreksi catatannya sambil berkata,
“Kamu benar”
Siapakah bocah kecil yang ada dalam kisah di atas?
Beliau adalah Al-Bukhari, ahli hadis paling tersohor di dunia Islam, pengarang Sahih Al-Bukhari yang disebut para ulama sebagai kitab paling sahih setelah Al-Qur’an. Adz-Dzahabi menulis cerita ini dalam Siyar A’lam An-Nubala’ sebagai berikut,
“…Aku mulai sering mendatangi majelis Ad-Dakhili dan (ulama) selain beliau. Suatu hari, beliau berkata pada saat mengajar jamaahnya, ‘…Sufyan dari Abu Zubair dari Ibrahim” Aku berkata kepada beliau, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim’ Beliau membentakku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Silakan dicek kembali pada catatan induk’. Beliau masuk dan memeriksanya kemudian keluar dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimana yang benar nak?’ Aku menjawab, ‘Beliau adalah Az-Zubair bin Adi (bukan Abu Az-Zubair) dari Ibrahim. Maka beliau mengambil pena dariku dan mengoreksi catatannya dan berkata ‘Kamu benar’” (Siyaru A’lami An-Nubala, juz 12 hlm 393)
Mengoreksi guru bukan hal yang tabu. Ia bukan aib dan tidak menunjukkan adab yang buruk terhadap guru. Ada sejumlah alasan syar’i mengapa mengoreksi kesalahan guru itu justru sebuah keharusan dalam masyarakat Islam, di antaranya,
- Mengoreksi guru dengan ilmu yang benar justru bentuk kasih sayang kepada guru, agar guru tidak mengajarkan ilmu yang salah kepada umat dan malah akan melestarikan kesalahan sepanjang zaman. Jika kesalahannya fatal, maka itu akan menyesatkan banyak generasi
- Mengoreksi guru adalah cerminan sikap kritis yang diperintahkan dalam dien, karena Allah melarang menjadikan pemuka-pemuka agama sebagai “arbaban min dunillah” (tuhan-tuhan kecil selain Allah) dan tidak mungkin hal seperti itu terlaksana kecuali dengan nalar kritis.
- Mengoreksi guru adalah bentuk “nashihah” yang diperintahkan dalam dien.
- Mengoreksi guru adalah bentuk amar makruf nahi mungkar jika kekeliruannya sudah mencapai level kemungkaran.
- Dan lain-lain.
Melarang koreksi terhadap guru dengan ilmu yang benar akan membuat tradisi ilmu dalam Islam menjadi rusak, membuat adanya kultus individu, melestarikan bid’ah dan yang paling berbahaya menjadikan pemuka-pemuka agama sebagai tuhan selain Allah.
Hanya saja, mengoreksi guru juga perlu ilmu. Tidak bisa sembarangan mengoreksi. Orang yang tak berilmu tidak punya otoritas untuk mengoreksi. Jika orang-orang awam dibiarkan mengoreksi menurut pendapatnya yang tak berbasis ilmu, maka tradisi keilmuan dalam Islam malah semakin rusak, orang jahil dijadikan panutan dan ulama sejati malah disingkirkan. Oleh karena itu, tidak pantas orang yang belum bisa bahasa Arab misalnya mengoreksi ulama dalam soal-soal agama yang pelik-pelik dan membutuhkan kajian mendalam. Orang dengan kualifikasi seperti ini boleh bertanya dan mengklarifikasi jika menemukan atau merasakan hal yang janggal menurut pengetahuannya. Hanya saja, level pengetahuannya membuatnya tidak boleh sampai mengoreksi. Lebih bijaksana jika hal yang dianggap janggal itu dikaji oleh ulama lain yang berilmu sehingga jika muncul koreksi, maka yang mengoreksi adalah orang yang memiliki otoritas ilmu dan berdasarkan ilmu. Dakwah di dunia Islam hari ini di beberapa tempat terlihat keruh dan gaduh karena orang-orang jahil ikut berbicara pada persoalan-persoalan yang berada di luar jangkauan pengetahuannya. Orang-orang seperti ini harus dicegah keras dengan kekuatan (jika ada) atau dengan lisan, jika belum ada kekuatan yang sanggup menertibkannya.
Hanya saja, untuk mengoreksi tidak disyaratkan tingkat keilmuan yang mengoreksi harus setara atau lebih tinggi daripada yang dikoreksi. Orang yang keilmuannya lebih rendah boleh mengoreksi ulama yang lebih tinggi selama tetap berbasis ilmu yang bertanggung jawab dan dia tahu persis ilmu yang ia koreksi tersebut. Yang demikian itu karena ulama setinggi apapun ilmunya, sangat dimungkinkan sesekali atau di beberapa tempat mengalami “ghoflah” (lengah), “nisyan” (kelupaan), waham, bahkan “zallah” (ketergelinciran). Oleh karena kaum muslimin tidak boleh mengasumsikan manusia selain nabi adalah maksum dalam seluruh ucapan/tindakannya, maka menjadi hal niscaya untuk mengoreksi ulama yang tinggi keilmuannya jika memang jelas-jelas pendapatnya keliru atau lemah. Yang demikian itu seperti kisah koreksi seorang wanita terhadap Umar bin Al-Khotthob dalam perkara mahar. Umar adalah mujtahid muthlaq. Wanita yang mengoresinya tidak mencapai level Umar dalam hal ilmu. Hanya saja, wanita itu tahu betul makna sebuah ayat yang zhohirnya bertentangan dengan kebijakan Umar yang ingin membatasi jumlah mahar. Umar pun menerima koreksi tersebut dan mengakui pendapatnya salah meskipun yang mengoreksi adalah orang yang secara keilmuan dan kedudukan di bawah Umar. Kisah ini sekaligus menjadi pelajaran dalam hal adab dan akhlak orang berilmu. Betapapun tinggi kedudukan orang berilmu, beliau tidak menolak koreksi orang yang keilmuannya di bawahnya jika memang koreksi tersebut memiliki dasar ilmu yang kokoh dan bisa dipertanggungjawabkan.
Bahkan, bukan hanya shahabat yang pernah dikoreksi. Rasulullah ﷺ pun juga pernah dikoreksi terkait hal-hal yang tidak berhubungan dengan wahyu, tetapi berhubungan dengan pengetahuan fakta. Misalnya koreksi terhadap Rasulullah ﷺ ketika beliau memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal sementara beliau tidak tahu jika tambang garam itu memiliki deposit yang besar. Rasulullah ﷺ juga pernah dikoreksi karena keliru salat empat rakaat dilakukan hanya dua rakaat karena lupa. Pada saat perang Badar, konon Rasulullah ﷺ juga dikoreksi oleh Hubab bin Al-Mundzir terkait penetapan tempat strategis untuk pangkalan pasukan.