Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ada berapa banyak hamba Allah yang berbuat kebaikan atau punya kelebihan lalu sanggup untuk menahan kecenderungan hatinya untuk menceritakannya kepada orang lain?
Sangat sedikit.
Kebanyakan tidak banyak yang sanggup melawan godaan itu. Sebab, bercerita tentang kelebihan atau perbuatan baik yang telah dilakukan, di samping memberikan kenikmatan tersendiri pada jiwa, kadang-kadang orang menemukan sejumlah alasan “pembenaran” untuk melakukannya. Sekilas, alasan-alasan pembenaran itu seperti sejalan dengan ajaran agama, tetapi jika diteliti betul tampaklah bahwa apa yang dianggapnya sebagai alasan yang benar itu sesungguhnya lebih dekat pada jurang kebinasaan dan jebakan setan daripada jalan lurus yang mengantarkan pada rida ilahi.
Menyembah Allah yang sejati sesungguhnya terletak pada jaminan kemurnian motivasi saat berbuat baik. Jika seseorang sanggup untuk memurnikan motivasinya berbuat baik semata-mata karena ingin menyenangkan Allah dan memburu rida-Nya, maka pada saat itulah dia benar-benar menyembah-Nya. Dia tidak butuh penghargaan manusia, pujian manusia, pengakuan manusia, kekaguman manusia, popularitas di tengah-tengah masyarakat, keharuman nama sepanjang masa, tercatatnya dia dalam sejarah dan semua motif-motif duniawi yang lain. Dia hanya butuh pujian Allah, penghargaan Allah, pengakuan Allah dan balasan dari Allah. Pamrihnya hanya kepada Allah. Dia “cari muka” juga hanya kepada Allah. Inilah tauhid sejati itu. Sebab, tauhid bermakna mengesakan, yakni menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah. Maksudnya, semua kebaikan dan kelebihan kita semata-mata diarahkan untuk memburu rida-Nya, tanpa dicampuri motiif-motif lain.
Namun, manusia sering tergoda untuk pamer.
Pamer cantik
Pamer anaknya pintar
Pamer hartanya banyak
Pamer punya koneksi banyak dengan orang penting
Pamer ke luar negeri
Pamer masuk TV
Pemer haji
Pamer sedekah
Pamer hafal Al-Quran
Pamer istiqomah tahajud
Pamer jamaah banyak
Dan lain-lain.
Bukan hanya pamer soal kekayaan, jabatan, popularitas dan hal-hal duniawi yang semisal, tetapi juga pamer terkait amal akhirat. Yang terakhir ini dalam bahasa agama disebut dengan istilah riya’ dan sumah. Sebutan riya’ dipakai untuk menunjuk jenis motif pamer yang dilakukan pada saat melakukan amal salih, sementara sumah dipakai untuk menunjuk jenis pamer yang dilakukan setelah melakukan amal salih. Semuanya menghancurkan pahala dan menjatuhkan seorang hamba dalam jurang syirik ashghor.
Hanya saja, di sana masih ada sejumlah hamba Allah yang sanggup melepaskan diri dari nafsu pamer seperti itu. Dia berhasil melatih jiwanya untuk muak dengan segala pujian manusia dan hanya bergembira untuk memburu rida Allah. Baginya, pujian manusia adalah momok yang menakutkan karena bisa merusak kemurnian motivasinya dalam berbuat kebaikan. Dia takut besar di mata manusia, tetapi kecil di sisi Allah. Ketakutannya ini sampai level tidak mau diduga sedang berbuat baik, sehingga nantinya mendapatkan pujian palsu yang tidak sesuai dengan kenyataan dirinya.
Salah satu hamba Allah yang punya sifat seperti ini adalah Hushoin bin Abdurrahman, murid Sa’id bin Jubair.
Suatu saat sang guru; Sa’id bin Jubair bertanya kepada murid-muridnya apakah ada yang melihat bintang jatuh malam kemarin. Hushoin bin Abdurrahman menjawab bahwa beliau melihatnya. Namun, beliau buru-buru mengonfirmasi bahwa beliau bisa melihat bintang jatuh bukan karena malam itu sedang terjaga untuk melakukan salat tahajud, tetapi beliau terjaga karena disengat oleh kalajengking atau ular. Muslim menceritakan bahwa Hushoin bin Abdurrahman berkata:
كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُمَّ قُلْتُ أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي صَلَاةٍ وَلَكِنِّي لُدِغْتُ (صحيح مسلم (1/ 494)
Artinya,
“Aku berada di dekat Sa’id bin Jubair. Beliau bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang melihat bintang jatuh kemarin malam?’ Aku menjawab, ‘Saya.’ Lalu aku melanjutkan, ‘Tetapi aku (bangun) tidak (untuk) salat (tahajud), melainkan aku (bangun karena) disengat (kalajengking/ular).’” (H.R. Muslim)
Ada berapa banyak di antara kita yang senang dipuji untuk kebaikan yang tidak kita lakukan?
Ada berapa banyak di antara kita yang senang dielu-elukan untuk kelebihan yang tidak kita miliki?
Ada berapa banyak di antara kita yang senang popularitas untuk kehebatan yang tidak ada pada kita?
Di saat banyak orang suka dipuji karena perbuatan yang tidak dilakukan…
Di saat orang banyak menikmati ketidakbenaran-ketidakbenaran yang menaikkan popularitasnya…
Ternyata, masih ada manusia zaman dulu yang sama sekali tidak butuh “wow” manusia, tidak berambisi kekaguman manusia, tak berhasrat elu-elu dari mereka.
Teladan keikhlasan luar biasa dari Hushoin bin Abdurrahman, murid seorang tabi’in syahid yang mulia; Sa’id bin Jubair.
رحمهما الله رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين واجعلنا من المخلصين