Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara cara indah Allah menasihati orang berilmu adalah diberi kesempatan ceramah.
Lahirnya dia menasehati hamba Allah yang awam dengan gempuran dalil-dalil, tetapi hakikatnya dia sebenarnya seperti tengah menembak dirinya sendiri dengan seribu peluru!
Tema ceramahnya memang betul diminta oleh umat, tapi secara ajaib yang ia sampaikan justru paling pas dinasihatkan untuk dirinya sendiri.
Seakan-akan Allah memberi pesan secara halus,
“Wahai hambaku! Semua ilmu ruwet yang kau pelajari, semua ilmu yang tampak sebagai kemegahan di hadapan manusia, semua ilmu yang engkau kira ilmu hebat, sesungguhnya yang paling berguna untuk menempuh jalan menuju Aku adalah ilmu yang aku memberi taufiq kepadamu sehingga engkau bisa menyampaikannya kepada hambaku yang lain.”
Tapi, nampaknya orang berilmu yang dibimbing seperti ini hanyalah mereka yang merasa dan mau meraba hatinya saja. Yang saat membacakan ayat-ayat Allah atau hadis Nabi ﷺ mereka sambil membayangkan bahwa Allah berbicara kepadanya atau Nabi ﷺ menasihatinya. Yakni mereka yang punya niat serius mengabdi kepada Allah dan sungguh-sungguh menempuh jalan kepada-Nya.
Mereka yang terlihat seperti ulama, tapi Allah tahu hatinya hanya menarget kemegahan dan kenikmatan dunia, maka dia akan dibuat selalu “merasa baik-baik saja”, selalu merasa bersih dan selalu merasa suci. Akhirnya menjadi lalailah dia, merasa sebagai kekasih Allah bahkan yakin akan masuk surga. Di saat itulah dia akan binasa.
Terakhir, tentu saja ada cara baku dan reguler menasihati orang berilmu.
Jika dosanya begitu jelas, qaṭ’ī dan dilakukan terang-terangan seperti meninggalkan salat lima waktu tanpa uzur, meninggalkan puasa Ramadan tanpa uzur, berdusta tanpa malu, mengucapkan kalimat kekufuran dalam kehidupan publik dan semisalnya maka orang awam pun berhak bahkan wajib menasehatinya.
Tetapi jika jenis kemungkarannya samar, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan masih mungkin ditakwil, maka hanya sesama ulama yang berhak menasihatinya, dan itu pun hanya yang tahu saja. Sebab sesuatu yang diduga sebagai mungkar masih harus di-tahqiq dan dipastikan sebagai kemungkaran. Perlu ilmu mendalam untuk menilainya. Itu pun tanpa tajassus. Jika ini dilanggar, maka akan banyak kemungkaran baru yang muncul seperti merusak citra ulama, merobek kehormatan muslim, suuzan, gibah, tajassus, sampai fitnah bin buhtan.
Semoga Allah senantiasa melindungi dan menjaga ulama-ulama kita yang ikhlas mendidik umat
هذه الخواطر قذفت في قلبي على إثر تدبر قوله تعالى:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ [البقرة: 44]
***
6 Rabi’ul Akhir 1442 H