Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika gagasan menyerahkan wewenang talak kepada hakim untuk melindungi wanita ditolak, lalu bagaimana caranya agar wanita tetap terlindungi dalam pernikahan islami? Adakah pengaturan khusus untuk melindungi wanita jika kebetulan suaminya jahat, tidak bertanggungjawab, fasik, menindas dan tidak bisa menjadi ayah yang baik? Adakah mekanisme yang diajarkan dalam dalil sehingga wanita tetap dihargai perasaan dan martabatnya mengingat hak suami yang demikian besar dan ketentuan nusyūz yang juga cukup berat?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Minimal ada 12 hal yang bisa dikuatkan untuk melindungi wanita tanpa perlu menggagas penyerahan wewenang talak di tangan hakim.
PERTAMA, pendidikan pra nikah
Allah memberikan hak yang sangat besar kepada wanita untuk memilih calon suaminya. Siapapun tidak bisa intervensi. Entah itu temannya, bosnya, gurunya, mursyid-nya, murabbī-nya, musyrif-nya,imamnya, amirnya, organisasinya, pemerintahnya bahkan orang tuanya. Ayah dan ibu hanya berperan memberi masukan dan nasihat. Tetapi hak besar tetap diberikan kepada wanita. Allah melarang para wali melakukan ‘aḍl (العضل) yakni, menghalang-halangi wanita menikahi lelaki yang dicintainya. Bahkan wali yang melakukan itu dihukumi fasik yang gugur persaksiannya. Ini semua menunjukkan hak memilih lelaki adalah hak “prerogatif” wanita yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Hak ini dalam nalar normal sangat wajar, karena konsekuensinya juga sangat besar. Begitu wanita sudah memutuskan untuk menjadi istri seorang lelaki, maka dia terkena kewajiban taat secara mutlak selama bukan urusan kemaksiatan. Suami punya hak yang sangat besar dan diumpamakan Nabi ﷺ seandainya boleh manusia sujud pada manusia lain, pastilah istri diperintahkan Rasulullah ﷺ sujud kepada suaminya. Jadi, dengan konsekuensi sebesar ini sangat wajar jika syariat memberikan hak memilih suami sepenuhnya pada wanita tanpa intervensi siapapun. Jika sampai wanita ketemu suami jahat, maka kebanyakan itu adalah kesalahannya sendiri yang tidak selektif dalam memilih suami.
Dari sini bisa dipahami bahwa perlindungan terbaik untuk wanita agar tidak ditindas lelaki adalah pendidikan pra nikah. Dia dibekali fikih dan tatacara memilih suami sehingga dia nanti bisa sangat bijaksana memilih calon suaminya sehingga tidak salah pilih. Dengan kata lain, fungsi pendidikan pra nikah ini adalah untuk membentuk sikap wanita supaya ketat saat menerima lelaki sebagai suami, supaya tidak ketemu suami jahat yang menindas.
KEDUA, mekanisme isytirāṭ (الاشتراط)
Bentuk perlindungan lain untuk wanita adalah boleh mengajukan isytirāṭ sebelum akad nikah. Makna isytirāṭ adalah pengajuan syarat sebelum setuju untuk menikah. Misalnya istri mengatakan,
“Saya mau menikah denganmu asalkan saya tidak dibawa keluar dari kampung halamanku,” lalu calon suami setuju.
Yang semacam ini sah, mengikat dan berlaku hukum dalam mazhab Hambali (tapi dalam mazhab al-Syafi’i tidak sah). Pelanggaran isytirāṭ membuat wanita bisa mengajukan tafrīq pada hakim atau fasakh.
Termasuk isytirāṭ adalah kebolehan istri menutut ta’liq talak atau talak mu‘allaq sebelum akad nikah. Maksud isytirāṭ berupa talak mu‘allaq misalnya wanita berkata begini,
“Saya mau menikah denganmu, tapi dengan syarat urusan nafkahku benar-benar dijamin. Jika sampai 3 bulan berturut-turut aku tidak dinafkahi, berarti jatuh talak satu.”
Yang semacam ini sah, mengikat dan berlaku hukum. Pelanggaran isytirāṭ terkait talak mu‘allaq membuat otomatis tertalak satu.
Rasulullah ﷺ memerintahkan memenuhi syarat pernikahan yang diajukan wanita. Bahkan mengatakan itu adalah jenis pemenuhan syarat yang paling layak dipenuhi karena terkait dengan penghalalan kemaluan wanita. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Syarat yang paling patut kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan wanita.”
Isytirāṭ ini juga bisa dipakai untuk mengamankan soal perjanjian kepemilikan harta, soal gono-gini dan lain-lain.
KETIGA, mekanisme tafwīḍ al-ṭālāq (تفويض الطلاق)
Bentuk perlindungan lain untuk wanita adalah mekanisme tafwīḍ al-ṭālāq. Makna tafwīḍ al-ṭālāq adalah suami menyerahkan urusan talak kepada istri. Jika mau dia bisa melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan suami, jika mau maka dia bisa tetap bertahan. Misalnya suami mengatakan,
“Wahai istriku, saya serahkan urusna talak ini kepadamu.”
Lalu istrinya menjawab, “Iya.”
Yang seperti sah, mengikat dan berlaku hukum. Jika istri memutuskan lepas dari suami, maka saat itu juga dia lepas dari suami tanpa harus menunggu talak suami.
Rasulullah ﷺ pernah memberikan hak ini kepada istri-istri beliau, saat mereka menuntut agar taraf hidupnya sedikit ditingkatkan. Adanya mekanisme tafwīḍ al-ṭālāq menunjukkan bahwa mengharuskan talak di depan hakim dengan klaim untuk melindungi wanita patut dipertanyakan, sebab mekanisme fikih sendiri sudah menyediakan hal itu.
KEEMPAT, mempermudah mekanisme syakwā (aduan) pada hakim
Bentuk perlindungan lain untuk wanita adalah seorang istri dalam fikih dizinkan untuk mengadukan kezaliman suaminya dalam peradilan. Tujuan pengaduan ini adalah agar suami yang tidak bisa berubah dengan nasihat istri atau orang yang dihormati suami, dia bisa berubah jika pemerintah sudah turun tangan. Mekanisme ini sudah dipraktekkan berabad-abad dalam masyarakat Islam. Tinggal dalam prakteknya hari ini perlu dipermudah mekanismenya dengan penanganan secepat-cepatnya. Dengan cara begitu, maka hak wanita terjaga, terlindung dari kezaliman dan tidak sampai tertindas dalam waktu yang lama.
KELIMA, melaksanakan mekanisme talak secara ideal.
Bentuk perlindungan lain untuk wanita adalah penjatuhan talak secara ideal mengikuti tatacara yang diajarkan Allah. Agar talak tidak dilakukan sembarangan, Islam sudah mengatur waktu menjatuhkannya, yakni tidak boleh saat haid atau saat suci yang sudah digauli. Artinya, jika suami sedang emosi berat dan ingin mentalak, lalu baru tahu istrinya haid atau suci tapi baru saja disetubuhi, maka dia akan menunda keputusan talak sehingga punya waktu lagi untuk memutuskan apakah talak atukah tidak. Waktu menunda ini cukup lama. Jika istri sedang haid, berarti paling tidak dia harus menunggu sekitar sepekan sebelum menjatuhkan talak. Jika istri sedang suci tapi sudah pernah digauli, maka lebih lama lagi. Paling tidak dia harus menunggu masa suci dan masa haid yakni minimal 15+7= 22 hari! Atau hampir satu bulan. Jelas syariat ini menjauhkan suami dari talak semena-mena, gegabah dan terburu nafsu, karena talak ideal itu dijatuhkan dengan penuh pertimbangan dan jauh dari emosi.
Lalu ada syariat masa idah. Di masa idah yang lamanya sekitar 3 bulan, suami punya waktu yang cukup untuk merenungkan lagi apakah talaknya sudah benar atau tidak. Jika dia merasa menyesal, dia masih punya waktu untuk merujuk. Jika istri juga menyesal, dia juga punya waktu untuk meminta rujuk. Ini juga akan menggiring suami tuk bijaksana menggunakan syariat talak.
Lalu ada syariat pembatasan talak maksimal 3 kali. Ini juga akan mencegah suami seenaknya menggunakan hak talak. Sebab dia tahu, jika sudah talak sebanyak tiga, maka dia tidak bisa rujuk lagi dan tidak bisa menikah lagi dengan istri yang ditalak 3 itu dengan akad baru.
KEENAM, mekanisme tafrīq paksa
Bentuk perlindungan lain untuk wanita adalah mekanisme tafrīq paksa. Makna tafrīq adalah pemisahan. Jadi tafrīq paksa bermakna pemisahan secara paksa. Memang, dalam fikih ada ketentuan tafriq paksa dari hakim, yakni dalam kondisi suami tidak bertanggungjawab atau ada sebab-sebab yang membuat kehidupan rumah tangga tidak bisa berjalan normal.
Contoh kondisi yang membuat istri bisa mengajukan tafrīq paksa adalah suami tidak menafkahi padahal mampu, suami impoten, atau suami punya penyakit berbahaya semisal AIDS, suami gila, suami homo, suami berzina, suami membahayakan nyawa istri, suami hilang kabar, suami dipenjara dalam waktu yang lama dan lain-lain. Hakim juga bisa memaksa talak pada kasus īlā yang sudah lebih dari 4 bulan sementara suami tidak mau menggauli. Mekanisme ini jika direnungi sesungguhnya adalah sebesar-besar bentuk perlindungan terhadap wanita.
KETUJUH, ketentuan nafkah masa idah dan nafkah hamil
Wanita tidak perlu merasa dirugikan jika benar-benar akhirnya terpaksa ditalak. Sebab meski ditalak, selama masih di masa idah, suami masih wajib menafkahi. Sekitar 3 bulan wanita wajib menjalani masa idah. Selama masa idah itu wanita sudah bisa membuat perencanaan, melakukan kontak-kontak, melakukan lobi-lobi, bahkan mencari pekerjaan sehingga kehidupannya tetap terjamin setelah benar-benar terpisah dengan suami. Bahkan seandainya istri hamil, maka suami terus wajib menafkahi karena kehamilannya itu.
KEDELAPAN, hak waris
Bentuk perlindungan lain untuk wanita adalah hak waris untuk wanita yang dicerai. Saat wanita ditalak, hak warisnya tidak serta merta hilang. Selama wanita masih di masa idah, maka statusnya adalah istri. Jadi, seandainya suami wafat maka dia berhak 1/4 harta suami jika suami tidak punya anak atau 1/8 dari tinggalan suami jika suami tidak punya anak.
KESEMBILAN, sanksi untuk lelaki yang mempermainkan janda
Termasuk gagasan melindungi wanita adalah dibuat regulasi yang memberi sanksi kepada lelaki yang mempermainkan janda. Kebanyakan lalaki yang mempermainkan janda mengawali hubungannya dengan sejumlah kemungkaran, seperti rayuan, khalwat sampai janji palsu. Jika ini dijadikan delik pidana dan dijadikan sanksi ta‘zīr, maka setiap lelaki yang mendekati wanita akan memastikan dirinya bahwa dia serius ingin menikahi dan memuliakan wanita.
KESEPULUH, sanksi untuk wali yang tidak mengurus janda tanggungannya
Jika seorang wanita dicerai, sebenarnya tanggung jawab nafkah kembali kepada walinya. Yakni ayahnya, atau kakeknya, atau putranya yang mampu, atau saudara, atau paman patrirkal, dan semua ‘aṣabah yang masih ada. Sayang, di masyarakat masih kurang sekali terkait kesadaran ini. Banyak yang merasa bahwa tanggung jawab nafkah itu hanya terbatas pada keluarga inti. Padahal Islam punya konsep silaturahmi. Salah satu pelaksanaan penting silaturahmi adalah mengurusi para janda, terutama yang baru dicerai oleh suaminya. Negara bisa mengontrol pelaksanaan kewajiban tersebut. Jika dilalaikan, padahal mampu maka negara bisa memberi sanksi sebagaimana memberi sanksi orang tua jika menelantarkan anak.
KESEBELAS, mempermudah wanita menikah lagi
Jika talak terhadap wanita dianggap merugikan wanita, maka berarti pernikahan wanita menguntungkan wanita, sebab dengan menikah dia diurus, dinafkahi, dilindungi dan mendapatkan kasih sayang. Jika seperti ini fakta pernikahan, sudah seharusnya pernikahan jauh dipermudah untuk para janda. Tidak perlu ditarik biaya, petugas yang mencatat menjemput bola, dan jika perlu segala persiapan untuk menikah lagi dialokasikan secara khusus dananya dari kas negara.
KEDUA BELAS, tunjangan janda
Termasuk gagasan untuk melindungi wanita adalah pemberian tunjangan janda. Mereka yang berhak adalah janda-janda yang menderita, yang tidak punya pekerjaan, yang berpotensi terjatuh ke lembah hitam, yang tidak punya kerabat mampu. Negara mengalokasikan dana khusus untuk mereka sampai mereka mandiri atau menikah lagi atau ada kerabat yang sudah sanggup mengurusnya.
Wallāhu a‘lam.
***
11 Żulqa‘dah 1442 H