Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Hukum menafkahi istri adalah wajib.
Makna wajib dalam fikih adalah kita meyakini (atau minimal menduga kuat) Allah memerintahkan perbuatan tersebut dengan perintah yang keras dan Dia akan marah jika Anda melalaikannya. Jika Anda mati dalam keadaan tidak menunaikan kewajiban itu, maka Anda mati dalam keadaan membawa dosa dan terancam masuk neraka karenanya.
Jadi, jika suami mengerti bahwa hukum menafkahi istri adalah wajib, sudah semestinya dia semangat bekerja untuk menunaikan kewajiban ini demi membuat Allah rida.
Dalil yang menunjukkan bahwa menafkahi istri hukumnya wajib adalah ayat berikut ini,
[النساء: 34]
Artinya,
“Laki-laki (suami) itu pengurus bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Dalam ayat di atas, para suami disebut Allah dengan kata qawwāmūn. Kata qāma, jika digandeng dengan ḥarf ‘alā, maka maknanya adalah al-wilāyah wal iṣlāḥ wal ihtimām yang boleh diterjemahkan bebas menjadi “mengurus”. Aktivitas suami mengurus istrinya yang terpenting adalah mencukupi kebutuhannya. Dengan kata lain, aktivitas terpenting mengurus adalah menafkahi. Lanjutan ayat juga menegaskan posisi suami sebagai qawwām itu aktivitas terpentingnya adalah memberi nafkah istri. Jadi ayat ini menjadi dalil wajibnya suami menafkahi istri.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
[البقرة: 233]
Artinya,
“Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (para istri) dengan cara yang patut.”
Dalam ayat di atas para ayah (yakni para suami) diwajibkan Allah untuk menanggung nafkah istri dan menanggung pakaian istri dengan cara yang ma‘rūf. Lafal yang menunjukkan kewajiban adalah ḥarf ‘alā (على) pada frasa wa ‘alal maulūdi lahu. Ḥarf ‘alā di situ bermakna isti‘lā’ yang menunjukkan kewajiban seperti ungkapan orang “‘alayya dainun laka alfu dīnār” (saya punya tanggungan utang yang wajib saya bayar kepadamu sebesar 1000 dinar). Jadi ayat ini cukup lugas menunjukkan kewajiban suami menafkahi istri.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
(صحيح مسلم (6/ 245)
Artinya,
“Takutlah kalian terhadap Allah saat mengurus istri. Karena kalian memperistri mereka sebagai amanah Allah, dan kalian menghalalkan kemaluan mereka juga dengan memakai kalimat Allah. Kalian punya hak atas mereka, yaitu istri kalian tidak boleh menerima tamu yang tidak kalian suka. Jika mereka melanggar, pukullah mereka pukulan yang tidak menyakitkan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas.” (H.R.Muslim)
Hadis di atas pesannya sama dengan ayat Al-Qur’an sebelumnya, yakni menegaskan bahwa suami wajib menanggung nafkah istri dan pakaiannya dengan cara yang ma‘rūf. Rasulullah ﷺ mengingatkan agar para suami bertakwa menjalankan kewajiban tersebut. Tidak ada sesuatu yang diingatkan dengan ketakwaan kecuali jika sesuatu itu berpotensi membuat Allah murka dan membuat orang yang melalaikannya terancam dengan azab di neraka. Jadi hadis ini menguatkan kewajiban suami dalam memberi nafkah untuk istri.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu.”
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ mengizinkan Hindun mengambil uang suaminya tanpa izin untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak mungkin ada harta boleh diambil diam-diam tanpa izin kecuali harta tersebut memang hak yang mengambil. Adanya izin Rasulullah ﷺ kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya secara diam-diam (karena suaminya pelit) menunjukkan nafkah untuk kebutuhan itu hak Hindun dan anak-anaknya. Karena ini hak Hindun, maka menjadi kewajiban suami Hindun untuk memberikannya. Jadi, hadis ini menguatkan kesimpulan hukum bahwa memberi nafkah kepada istri itu wajib bagi suami.
Suami yang bertakwa seharusnya ingat betul dalil-dalil ini sehingga semangat bekerja dalam rangka membuat Allah rida. Lebih semangat lagi seharusnya jika tahu bahwa pahala menafkahi istri itu lebih besar daripada pahala infak untuk jihad fi sabilillah sebagaimana pernah saya tulis dalam artikel berjudul NAFKAH KELUARGA.
Ingat, membuat kucing piaraan tewas karena dilalaikan nafkahnya saja bisa membuat masuk neraka, apalagi istri yang merupakan seorang manusia mulia. Melalaikan nafkah seorang istri jelas juga terancam neraka.
***
17 Żulqa‘dah 1442 H