Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Menyembunyikan dosa itu bukan sok suci, tapi malu.”
Bermaksiat terang-terangan itu bukan jujur, tapi kurang ajar kepada Allah.”
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa malu itu sebagian dari iman. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Nabi ﷺ pernah melewati seorang laki-laki yang tengah mencela saudaranya karena malu, kata laki-laki itu: “Sesungguhnya kamu selalu malu hingga hal itu akan membahayakan bagimu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Biarkanlah ia, karena sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari iman.” (H.R.al-Bukhārī)
Bahkan Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa rasa malu itu semuanya baik. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Rasa malu itu baik seluruhnya.” (H.R.Muslim)
Malu karena melakukan maksiat oleh al-Qusyairī disebut sebagai ḥayā’ al-jināyah (lihat al-Risālah al-Qusyairiyyah juz 2 hlm 369)
Bahkan malu kepada manusia sekalipun adalah bagian dari menjaga marwah/muruah. Bukankah kita menutup aurat karena kita malu aurat kita dilihat orang lain? Bukankah maksiat dan aib diri juga bagian dari aurat kita?
Ibnu Qayyim al-jauziyyah mengatakan, malu kepada manusia jika melakukan maksiat jika tujuannya terkait dengan hal-hal yang dicintai Allah, misalnya menjaga wibawa dakwah, berharap manusia menerima dakwah dan semisalnya maka justru bisa diharapkan berpahala. Beliau menulis,
Artinya,
“Malu seperti ini (kuatir martabat jatuh di depan orang) tdk dihukum, bahkan bisa jadi berpahala jika disertai tujuan yang membuat Allah senang seperti menjaga wibawa dakwah kepada Allah, menjaga agar orang menerima dakwah dan semisal itu.” (Syifā’ al-‘Alīl, juz 2 hlm 56)
Jangankan kita yang penuh dosa, Sahabat sekaliber Ḥużaifah bin al-Yamān saja sampai bersembunyi karena terlambat tidak salat jumat untuk menjaga marwahnya dan tidak menimbulkan suuzan kepada manusia. Muslim itu bukan hanya wajib beriman, tapi juga wajib menjaga kehormatan dirinya dan mencegah orang lain bersuuzan kepadanya karena tingkah lakunya. Ḥużaifah bin al-Yamān berkata,
Artinya,
“Tidak ada kebaikan pada orang tidak tidak punya rasa malu kepada manusia.” (Adabu al-Dunyā wa al-Dīn hlm 249)
Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa orang yang risau dengan dosanya dan bahagia dengan amal salehnya, maka itu tanda ada iman dalam hatinya. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Jika amal salehmu membuatmu bahagia dan maksiatmu membuatmu susah, maka engkau adalah mukmin.” (H.R. Ahmad)
Sebaliknya, orang yang maksiat lalu dengan bangga menceritakan kemaksiatannya atau terang-terangan bermaksiat, maka ini maknanya sudah di”eman” Allah, disayang Allah, ditutupi aibnya dan diberi kesempatan bertaubat, eh malah tidak menghargai tutup dari Allah itu dan merobeknya. Ini bukan jujur, tapi kurang ajar, tak tahu malu dan tak tahu diri kepada Allah. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Setiap umatku dilindungi dari segala hal yang tidak baik dan tidak menyenangkan kecuali orang-orang yang terang-terangan bermaksiat. Sesungguhnya di antara tanda tak tahu malu adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata: ‘Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu,’ padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah’.” (H.R. al-Bukhārī)
20 Muharam 1444 H/ 18 Agustus 2022 pukul 08.03