Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pembahasan iman kepada Allah dan Rasul dalam makalah ini menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda dari kebiasaan, yaitu pendekatan kontemplasi yang sedikit bersifat filosofis. Pembahasan model ini dipilih dengan maksud agar topik besar dalam pembahasan dien Islam seperti ini lebih terasa “ruh”nya dalam iman seorang Muslim. Ketepatan dalam menangkap dan memeras esensi pembahasan ini diharapkan bisa memberikan sumbangan bagi upaya pembentukan karakter mulia di kalangan mahasiswa melalui pendidikan Agama Islam yang diselenggarakan di bangku kuliah.
TIGA PERTANYAAN MENDASAR
Sejak manusia lahir hingga mencapai usia dewasa, tentu dia memiliki ratusan bahkan ribuan pertanyaan yang bergelayut dalam benaknya. Sebagian pertanyaan itu boleh jadi telah terjawab, sementara sebagain yang lain belum terjawab. Pertanyaan-pertanyaan yang terjawabpun boleh jadi tidak semua terjawab secara memuaskan. Masih banyak persoalan-persoalan yang baginya menjadi area gelap yang selalu haus akan pencerahan. Hanya saja, diantara ribuan pertanyaan itu, pertanyaan yang paling mendasar bagi manusia sesungguhnya hanya tiga saja yaitu:
1. Dari mana manusia berasal (من أين)?
2. Untuk apa dia hidup (لماذا)? Dan
3. Kemana setelah dia mati (إلى أين)?
Tiga pertanyaan ini dikatakan pertanyaan mendasar karena pertanyaan-pertanyaan tersebut langsung berhubungan dengan keberadaan/eksistensi/being/wujud manusia dan menjelaskan hakikat eksistensi tersebut, bukan hanya berhubungan deskripsi/cara kerjanya.
Thales yang mempertanyakan bahan asal pembentuk alam semesta, pertanyaan ini meski mungkin bisa dikatakan pertanyaan mendasar, namun bukanlah pertanyaan yang paling mendasar karena tidak terkait langsung dengan keberadaan manusia dan tidak menjelaskan hakikat keberadaan manusia. Filosof Jerman, Martin Heideggar yang mengatakan bahwa manusia berasal dari ketiadaan, hadir dalam keadaan tidak menentu dan akan pergi menuju ketiadaan lagi bisa dikatakan telah berusaha menyentuh pertanyaan paling mendasar itu, meski konsepnya jelas menunjukkan kebingungannya akan hakikat keberadaan manusia tersebut. Socrates dari zaman Yunani yang mengajak mengenal diri sendiri agar bisa menjawab ribuan bahkan jutaan pertanyaan-pertanyaan yang lain bisa dianggap telah mengajak membahas pertanyaan yang paling mendasar bagi manusia, meskipun ajakannya masih terkesan umum. Jadi pertanyaan yang paling mendasar bagi manusia adalah tiga hal: dari mana, untuk apa, dan mau kemana. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar ini, maka manusia akan mampu merumuskan tujuan hidupnya dengan benar, dan menjalani hidup dengan cara yang benar pula.
Gambaran pertanyaan pertama, yakni “Dari mana manusia berasal”? uraiannya adalah sebagai berikut:
Pertanyaan “Dari mana manusia berasal”? yang dimaksud bukanlah asal manusia secara fisik. Sebab jika difahami demikian hal tersebut akan mudah dijelaskan dengan ilmu biologi; dari pertemuan sperma dengan ovum, lalu menjadi zigot, menjadi janin, bayi dan lahirlah lewat rahim ibu. Jawaban ini tidak memuaskan karena hakikat manusia bukan hanya fisik. Manusia punya apa yamg dinamakan perasaan “aku” yang dengannya si “aku” bisa merasa, berfikir, gembira, sedih, berharap, cemas, bahagia, dll. Penjelasan biologi tidak akan bisa menjelaskan dari mana asalnya si “aku”.
Pertanyaan tentang “aku” bisa diperdalam lagi: ketika ayah kita masih perjaka dan ibu kita masih perawan, “aku” berada di mana? Dimana lokasi “aku” saat itu?Siapakah “aku”? Dari manakah asalnya “aku”? Mengapa ada perasaan “aku”? Aku bisa merasa “aku” tapi mengapa aku tidak sanggup menunjuk di mana lokasi “aku” itu dalam tubuhku? Sejak kapan aku merasa “aku”? Sampai kapan aku merasa “aku”? Sebelum aku merasa “aku”, aku berada di mana? Dari mana sebenarnya asalnya “Aku” ini?
Kemudian pertanyaan yang kedua: Untuk apa “aku” harus ada?apakah aku ada untuk mengejar eudaimonia/kebahagiaan sebagaimana ajaran Aristoteles? Atau adakah tujuan yang lebih luhur?
Lalu pertanyaan yang ketiga: kemana si “aku” perginya setelah mati? Apakah lenyap begitu saja sebagaimana ajaran Heidegger? Ataukah ada hal lain?
JAWABAN TIGA PERTANYAAN
Untuk menjawab pertanyaan pertama “dari mana manusia berasal”, diantara jalan yang bisa ditempuh adalah “mendekati” hakikat keberadaan kita dengan pertanyaan-pertanyaan renungan:
Sebelum kita hadir di dunia ini, pernahkah kita merencanakan untuk ada? Pernahkan kita mengajukan proposal untuk menjadi ada? Pernahkah kita merencanakan untuk menjadi manusia? Mengapa kita tidak hadir menjadi anjing, tikus, kecoa, atau babi saja? Rambut kita yang keriting atau lurus,apakah kita yang mensketsanya? Kita menjadi laki-laki atau wanita, apakah hasil rancangan kita? Apakah kita pernah merencanakan siapa ayah dan ibu kita? Pernahkah kita merencanakan menjadi kakak seseorang atau menjadi adik seseorang? Mengapa kita lahir di sebuah negara yang bernama Indonesia, mengapa tidak di Palestina misalnya? Siapa yang sebenarnya memaksa saya berada dalam kondisi-kondisi saya selama ini?
Akhirnya ada pengakuan di lubuk hati yang paling dalam tanpa bisa membantah, bahwa kehadiran kita di alam dunia ini adalah dengan membawa pengakuan kelemahan diri, yang tak sanggup menolak, yang tak sanggup memberontak, yang tak sanggup memprotes “bawaan” kita. Kita hanya terima jadi dan menjadi yakin ada kekuatan yang memaksa kita untuk menjadi ada seperti sekarang ini. Sang pemaksa inilah yang berkehendak kita menjadi ada dan membuat kita menjadi ada. Dengan kata lain, Dialah yang mengadakan kita, Dialah yang menciptakan kita. Dialah Sang pencipta. Jadi, kitapun mengakui, bahwa asal kita adalah dari Sang Pencipta itu, karena Dialah yang berkehendak membuat kita ada dan menciptakan kita untuk hidup di alam dunia ini.
Hakikat keberadaan kita ini bisa menjadi salah satu ayat yang dimaksudkan Allah dalam Al-Quran;
{وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ} [الذاريات: 21]
Artinya:
Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? (Adz-Dzariyat; 21)
UNTUK APA MANUSIA HIDUP? KE MANA SETELAH MATI?
Setelah yakin ada Sang pencipta, masalah selanjutnya adalah mencari jawaban atas munculnya pertanyaan-pertanyaan cabang misalnya; bagaimana Sang pencipta itu?Bagaimana sifat-sifatNya? Seperti apa Dia? Di mana Dia? Bagaimana cara berhubungan denganNya? Bagaimana cara mengontakNya? Bagaimana cara berinteraksi denganNya? Bagaimana cara menghadapNya? Bagaimana cara bertemu denganNya? Adakah keharusan-keharusan tertentu terkait cara bersikap kepadaNya?
Jawaban semua pertanyaan ini mustahil dipecahkan dengan akal, dengan filsafat atau dengan eksperimen, karena hasilnya pasti spekulatif, tidak pasti dan tidak menentramkan.
Pertanyaan yang lain:
Mengapa Dia berkehendak kita ada? Apa tujuan kita ada? Apa tujuan kita menjadi makhluk yang hidup? Mengapa kita ada sebagai makhluk yang bernama manusia? Mengapa saya terlahir laki-laki? Mengapa saya terlahir di Indonesia? Mengapa Fulan hadir dulu di dunia ini sebelum saya? Mengapa saya merasa jatuh cinta? Mengapa saya punya rasa benci, kecewa, perih, cemas, gelisah, bingung? Mengapa saya bisa bergembira, berharap, bahagia, berangan-angan, mengkhayal, dan berfikir? Mengapa ada orang miskin dan ada yang kaya? Mengapa ada yang cerdas dan ada yang bodoh? Mengapa ada orang yang mahir dalam satu hal tapi lemah dalam hal yang lain?
Pertanyaan yang lain:
Mengapa orang pasti mati? Ke mana mereka pergi? Mengapa perginya orang-orang tidak bisa diprediksi? Kemana perasaan “aku” tiap orang setelah dia pergi dari dunia ini? Saat dia hidup dia bisa mengatakan “jangan cubit aku”, “jangan sakiti aku”, atau “jangan kecewakan aku”. Tapi setelah nyawa terpisah dari badan, saat tubuh telah beku, kaku, pucat menjadi mayat, saat badan sudah tidak bisa berkata “ ini aku” kemanakah sang “aku” tersebut?
Selain pertanyaan-pertanyaan ini, ada masalah lain;
Tiap manusia pasti memiliki kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan ini menuntut pemenuhan secara pasti. Untuk memenuhi kebutuhan (apapun kebutuhannya) maka manusia perlu aturan. Jika tidak diatur, maka akan terjadi kekacauan yang berakibat kesengsaraan manusia, misalnya anak kecil, hanya masalah makanan jika tidak diatur bisa rebutan dan berakhir dengan pertengkaran dan perkelahian. Naluri seksual jika tidak diatur maka anak bisa menyetubuhi ibunya, atau bapak bisa menyetubuhi putrinya. Lalu lintas, jika tidak diatur jalan menjadi macet dst.
Di dunia ini telah banyak aturan diproduksi manusia, tetapi mengapa masih ada peperangan, kelaparan, pemerkosaan, pembunuhan, penindasan, penghisapan, eksploitasi, pertengkaran, penyakit menular, kerusakan alam?
Jadi, bagaimana seharusnya cara manusia memenuhi kebutuhannya? Adakah ide lain yang lebih baik terkait dengan ATURAN memenuhi kebutuhan ini?
MANUSIA BUTUH NABI DAN RASUL
Semua pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang bersifat cabang tadi mustahil bisa terjawab jika hanya mengandalkan kemampuan otak manusia belaka. Demikian pula mustahil bisa terjawab jika hanya dengan mengandalkan metode eksperimen. Belum pernah ada dalam sejarah, filosof atau ilmuwan yang sanggup memberikan jawaban yang memuaskan, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia terkait pertanyaan-pertanyaan tadi. Ini semua menunjukkan bahwa manusia memerlukan kekuatan diluar dirinya untuk membantu menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dari sinilah tidak dapat diingkari bahwa manusia butuh akan Nabi dan Rasul yang akan mengajari manusia memecahkan persoalan terbesar dan paling mendasar dalam hidupnya.
Nabi dan Rasul adalah duta resmi Sang Pencipta, duta resmi Allah yang membuat manusia menjadi ada. Mereka diberi tugas Allah mengajari manusia apa yang tidak diketahui, dan mengajari manusia bagaimana menjalani hidup dengan cara yang benar.
Nabi dan Rasul adalah saluran primer, channel resmi, dan satu-satunya jalur sah/legal untuk berhubungan dan mengenal Allah. Nabi dan Rasul diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, menyelamatkan manusia dari kesesatan ke dalam petunjuk. Allah berfirman;
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ} [الجمعة: 2]
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Al-Jumu’ah;2 )
Jalan hidup yang diajarkan para Nabi dan Rasul inilah yang disebut dalam Al-Quran dengan istilah Shirath Mustaqim (jalan yang lurus), yakni metode menjalani hidup berdasarkan panduan, petunjuk, dan bimbingan para Nabi dan Rasul. Allah berfirman;
{يس (1) وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ (2) إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (3) عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ } [يس: 1 – 4]
1. Yaa siin
2. demi Al Quran yang penuh hikmah,
3. Sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-Rasul,
4. (yang berada) diatas jalan yang lurus,
(Yasin; 1-4)
Dalam ilmu matematika, sudah dikenal bahwa garis lurus yang menghubungkan dua titik hanyalah satu, tidak berbilang. Jika ada garis lain selain garis lurus itu maka pasti garis tersebut akan bengkok atau tidak menghubungkan dua titik. Jika seorang hamba ingin menuju Allah, maka jalan yang lurus, jalan yang paling pendek, dan jalan tercepatnya adalah melalui ajaran yang dibawa Nabi dan Rasul. Jika dia mencoba mencari sendiri jalan, maka pasti jalannya nanti bengkok, atau dia malah tidak akan menemukan tujuannya. Dengan demikian pasti dia akan tersesat.
Karena itu menjadi kewajiban manusia mengarahkan segenap kemampuannya untuk menemukan siapa Rasul Allah di zaman dia hidup, karena dengan mengenal dan menemukan Rasul itu maka dia akan menemukan jalan yang lurus dan bisa menjalani hidup dengan benar.
Hanya saja, tidak semua orang yang telah menemukan sang Rasul, kemudia dia mau mempercayainya lalu mengikutinya. Ada sekelompok orang yang mengakui kerasulan Rasul tertentu, tetapi dia malah memilih untuk tidak mengimani dan mengikutinya. Hal ini bisa terjadi karena pemahamannya yang tidak sempurna, sombong, khawatir tidak bisa melampiaskan hawa nafsunya, atau taklid buta akut terhadap nenek moyangnya.
Contoh sebuah kaum yang sudah dikenalkan Rasul tetapi memilih menolak mengimani Rasul dan memilih membuat jalan hidup sendiri adalah orang-orang kafir Quraisy. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang beriman terhadap Allah, percaya kepada Sang Pencipta namun menolak menempuh jalan hidup melalui bimbingan Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم . Allah berfirman;
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ } [الزمر: 38]
38. dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az-Zumar; 38)
Contoh orang yang sudah tahu kebenaran dan bukti-bukti kerasulan tetapi memilih untuk sombong karena lebih cinta dunia adalah Abu Jahal. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menceritakan kisah Abu Jahal ini[1];
تفسير ابن كثير ت سلامة (3/ 252)
وَرَوَى ابْنُ جَرِيرٍ، مِنْ طَرِيقِ أَسْبَاطٍ، عَنِ السُّدِّي، فِي قَوْلِهِ: {قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ} لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ قَالَ الْأَخْنَسُ بْنُ شَرِيق لِبَنِي زُهْرَةَ: يَا بَنِي زُهْرَةَ، إِنَّ مُحَمَّدًا ابْنُ أُخْتِكُمْ، فَأَنْتُمْ أَحَقُّ مَنْ كَفَّ (2) عَنْهُ. فَإِنَّهُ إِنْ كَانَ نَبِيًّا لَمْ تُقَاتِلُوهُ الْيَوْمَ، وَإِنْ كَانَ كَاذِبًا كُنْتُمْ أَحَقَّ مَنْ كَفَّ عَنِ ابْنِ أُخْتِهِ قِفُوا هَاهُنَا حَتَّى أَلْقَى أَبَا الْحَكَمِ، فَإِنْ غُلِبَ مُحَمَّدٌ رَجَعْتُمْ سَالِمِينَ، وَإِنْ غَلَب مُحَمَّدٌ فَإِنَّ قَوْمَكُمْ لَمْ يَصْنَعُوا بِكُمْ شَيْئًا. فَيَوْمَئِذٍ سُمِّي الْأَخْنَسُ: وَكَانَ اسْمَهُ “أُبَيٌّ” فَالْتَقَى الْأَخْنَسُ وَأَبُو جَهْلٍ، فَخَلَا الْأَخْنَسُ بِأَبِي جَهْلٍ فَقَالَ: يَا أَبَا الْحَكَمِ، أَخْبِرْنِي عَنْ مُحَمَّدٍ: أُصَادِقٌ هُوَ أَمْ كَاذِبٌ؟ فَإِنَّهُ لَيْسَ هَاهُنَا مِنْ قُرَيْشٍ غَيْرِي وَغَيْرُكَ يَسْمَعُ كَلَامَنَا. فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ: وَيْحَكَ! وَاللَّهِ إِنَّ مُحَمَّدًا لِصَادِقٌ، وَمَا كَذَبَ مُحَمَّدٌ قَطُّ، وَلَكِنْ إِذَا ذَهَبَتْ بَنُو قُصيّ بِاللِّوَاءِ وَالسِّقَايَةِ وَالْحِجَابِ وَالنُّبُوَّةِ، فَمَاذَا يَكُونُ لِسَائِرِ قُرَيْشٍ؟
Ibnu Hisyam juga menceritakan dalam Sirahnya[2];
سيرة ابن هشام (1/ 315)
[ ذَهَابُ الْأَخْنَسِ إلَى أَبِي جَهْلٍ يَسْأَلُهُ عَنْ مَعْنَى مَا سَمِعَ ]
قَالَ ثُمّ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ حَتّى أَتَى أَبَا جَهْلٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ بَيْتَهُ فَقَالَ . يَا أَبَا الْحَكَمِ مَا رَأْيُك فِيمَا سَمِعْتَ مِنْ مُحَمّدٍ ؟ فَقَالَ مَاذَا سَمِعْتُ تَنَازَعْنَا نَحْنُ وَبَنُو عَبْدِ مَنَافٍ الشّرَفَ أَطْعَمُوا فَأَطْعَمْنَا ، وَحَمَلُوا فَحَمَلْنَا ، وَأَعْطَوْا فَأَعْطَيْنَا ، حَتّى إذَا تَجَاذَيْنَا عَلَى الرّكْبِ وَكُنّا كَفَرَسَيْ رِهَانٍ قَالُوا : مِنّا نَبِيّ يَأْتِيهِ الْوَحْيُ مِنْ السّمَاءِ فَمَتَى نُدْرِكُ مِثْلَ هَذِهِ وَاَللّهِ لَا نُؤْمِنُ بِهِ أَبَدًا وَلَا نُصَدّقُهُ . قَالَ فَقَامَ عَنْهُ الْأَخْنَسُ وَتَرَكَهُ
Karena itu, penemuan dan pengakuan manusia bahwa ada sang pencipta belumlah cukup. Disamping dia mengakui adanya sang pencipta, maka dia harus juga mengakui duta resmi dari Sang Pencipta yang dinamakan Rasul untuk kemudian mengikutinya. Dengan kata lain, iman kepada Allah tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan iman kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dalam hadis, dinyatakan bahwa Iman kepada Allah dan Rasul adalah amal yang paling utama. An-Nasa’i meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya; “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau bersabda: “Beriman kepada Allah dan RasulNya[3].” (H.R.An-Nasa’i)
Ibnu Abbas dalam kitab Al-Kabair menyatakan bahwa orang yang hanya taat kepaad Allah tetapi tidak taat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم maka amalnya tidak diterima[4];
الكبائر للذهبي (ص: 40)
قَالَ ابْن عَبَّاس رَضِي الله عَنْهُمَا ثَلَاث آيَات نزلت مقرونة بِثَلَاث لَا تقبل مِنْهَا وَاحِدَة بِغَيْر قرينتها أَي (إِحْدَاهمَا) قَول الله تَعَالَى {أطِيعُوا الله وَأَطيعُوا الرَّسُول} فَمن أطَاع الله وَلم يطع الرَّسُول لم يقبل مِنْهُ (الثَّانِيَة) قَول الله تَعَالَى {وَأقِيمُوا الصَّلَاة وَآتوا الزَّكَاة} فَمن صلى وَلم يزك لم يقبل مِنْهُ (الثَّالِثَة) قَول الله تَعَالَى {إِن اشكر لي ولوالديك} فَمن شكر الله وَلم يشْكر لوَالِديهِ لم يقبل مِنْهُ
Di dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa orang yang mencintai Allah harus disertai dengan aksi mengikuti Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Allah berfirman;
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ } [آل عمران: 31]
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran; 31)
Bahkan, orang yang hanya mengikuti Al-Quran tetapi tidak mengikuti hadis juga dihukumi sama dengan orang yang menaati Allah tapi tidak menaati Rasul. Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah meramalkan kelompok ini;
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا هَلْ عَسَى رَجُلٌ يَبْلُغُهُ الْحَدِيثُ عَنِّي وَهُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى أَرِيكَتِهِ فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَلَالًا اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَرَامًا حَرَّمْنَاهُ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا حَرَّمَ اللَّهُ
dari al Miqdam bin Ma’dikarib dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ketahuilah, bisa jadi sampai sebuah hadits dariku kepada seseorang yang sedang bersandaran ke peraduannya, kemudian dia berkata; ‘diantara kami dan kalian adalah kitabullah, maka perkara halal yang kita temukan di dalamnya kita halalkan, dan perkara haram yang kita temukan di dalamnya kita haramkan.’ Dan sesungguhnya apa yang di haramkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti apa yang di haramkan Allah[5].” (H.R.At-Tirmidzi)
PROBLEMATIKA UMAT MANUSIA ZAMAN SEKARANG
Disamping atheisme, manusia zaman sekarang banyak mengikuti sebuah paham yang tidak mengingkari Tuhan, namun menolak percaya terhadap Rasul termasuk agama. Paham ini lebih dikenal dengan sebutan agnostisisme.
Orang agnostik (khususnya agnostik teisme) menolak hukum Tuhan karena dianggap tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan hukum Tuhan itu ada. Mereka tidak percaya otoritas apapun sebagai pedoman hidup, sehingga pedoman hidup dirumuskan sendiri dan mengambil pengalaman orang lain yang dianggap bijak. Ide tentang dosa dianggap tidak berguna. Kalau ada orang yang berbuat tidak baik, memang perlu dihukum tetapi konsepnya adalah memperbaiki, bukan ide bahwa; orang jahat harus menderita. Injil dianggap bukan wahyu ilahi, tetapi hanya legenda sejarah awal. Ajaran moralnya kadang baik, namun ada pula yang dianggap tidak baik misalnya informasi bahwa Samuel menyuruh Saul membunuh laki-laki, wanita, dan anak-anak lawan, bahkan sampai semua biri-biri dan ternak sapinya. Namun demikian Saul tetap membiarkan biri-biri dan ternak sapi hidup, dan untuk hal ini umat Kristiani disuruh mengutuknya. Mukjizat yang diceritakan dalam agama dianggap hanya legenda, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkannya. Sebagian orang agnostik percaya Tuhan, tetapi menolak agama sebagai instrumen yang mengikat hubungan manusia dengan Tuhan, karena bagi mereka agama adalah produk kebudayaan lokal sebagai alat kekuasaan. Cerita Nabi ibrahim dikritisi; Tuhan macam apa yang memerintahkan Ibrahim melakukan pelanggaran kemanusiaan menyembelih anak? Mengapa pula Ibrahim bersikap submisif tidak mempertanyakan atau menggugat perintah itu? Menjadi agnostik di zaman sekarang dianggap pilihan yang seksi dan cool ketika dilihat agama menjadi alat teror, legitimasi kekuasaan, alat mengeruk harta, dan pemuasan hasrat birahi.
Paham seperti ini harus diluruskan, karena pangkal masalahnya terletak pada metode berfikir yang keliru. Perjalanan intelektual untuk menemukan akidah yang benar belum selesai dan belum matang, namun terburu-buru dan tergesa-gesa terjun membahas rincian syariat dari ajaran dien.
Disamping agnostisisme, gejala lain yang cukup besar adalah sekulerisme.
Telah diketahui bahwa kondisi keberagamaan orang-orang eropa, berakhir dengan ide sekulerisme. Menilik proses lahirnya sekulerisme sebagai sebuah ideologi, diantara yang menonjol penyebab fenomena tersebut lahir adalah karena orang-orang eropa mengakui kristen sebagai sebuah gejala sosial (yakni, bahwa masyrakat memang perlu kristen sebagai instrumen memenuhi kebutuhan spiritual. Bahwa kristen adalah ide yang sebagian cukup baik dan bermanfaat untuk mengendalikan moral dll), bukan diakui sebagai sebuah kebenaran yang lahir dari pemikiran holistik terhadap hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan. Oleh karena itu untuk menghindarkan kecenderungan menjadi sekuler ala eropa (ketika seseorang mulai masuk dalam pemikiran menuju Islam), setelah orang menemukan Tuhan, maka dia harus melewati proses berfikir yang benar, holistik, tercerahkan, dan paripurna untuk menemukan perlunya dia terhadap Rasul, dan menemukan bahwa Muhammad adalah duta Allah yang sedang dicari itu. Dengan kata lain; orang harus dibenahi dasar-dasar pemahaman Tauhidnya (terutama iman terhadap Allah dan Rasul) sebelum melangkah ke pemikiran Islam yang lain.
Memang, titik persimpangan peradaban umat manusia zaman sekarang adalah sikap setelah menemukan Tuhan, kemudian bagaimana menjalani hidup. Ada yang akhirnya terjatuh pada agnostisisme, sekulerisme, bahkan hedonis.
PERAN IMAN KEPADA ALLAH DAN RASUL BAGI PEMBENTUKAN AKHLAK
Dengan uraian di atas, bisa difahami bahwa melalui iman kepada Allah dan Rasul, maka manusia bukan hanya bisa diatur dengan akhlak dan karakter yang baik, tetapi juga bisa diatur dengan akhlak yang benar. Perbedaan antara yang baik dengan yang benar adalah:Jika sesuatu itu baik, maka hal tersebut itu bisa disaksikan oleh akal maupun wahyu. misalnya akhlak jujur. Akhlak ini adalah sifat yang baik dalam pandangan akal maupun wahyu. Namun sesuatu yang benar hanya bisa disaksikan oleh wahyu, sementara akal susah mencernanya. Misalnya Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail atau Ibrahim meninggalkan istrinya, Hajar di Mekah sendirian. Di negara Barat, boleh jadi banyak akhlak baik seperti disiplin, tepat waktu, tahan banting, jujur, dll, namun akhlak mereka tidak ada yang benar karena motifnya menjalankan kareakter tersebut bukan karena perintah Allah.
Contoh iman kepada Allah dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang mengubah moral/karakter adalah kisah shahabat dengan seorang wanita yang bernama ‘Anaq:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَخْنَسِ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كَانَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مَرْثَدُ بْنُ أَبِي مَرْثَدٍ وَكَانَ رَجُلًا يَحْمِلُ الْأَسْرَى مِنْ مَكَّةَ حَتَّى يَأْتِيَ بِهِمْ الْمَدِينَةَ قَالَ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ بِمَكَّةَ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيقَةً لَهُ وَإِنَّهُ كَانَ وَعَدَ رَجُلًا مِنْ أُسَارَى مَكَّةَ يَحْمِلُهُ قَالَ فَجِئْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى ظِلِّ حَائِطٍ مِنْ حَوَائِطِ مَكَّةَ فِي لَيْلَةٍ مُقْمِرَةٍ قَالَ فَجَاءَتْ عَنَاقٌ فَأَبْصَرَتْ سَوَادَ ظِلِّي بِجَنْبِ الْحَائِطِ فَلَمَّا انْتَهَتْ إِلَيَّ عَرَفَتْهُ فَقَالَتْ مَرْثَدٌ فَقُلْتُ مَرْثَدٌ فَقَالَتْ مَرْحَبًا وَأَهْلًا هَلُمَّ فَبِتْ عِنْدَنَا اللَّيْلَةَ قَالَ قُلْتُ يَا عَنَاقُ حَرَّمَ اللَّهُ الزِّنَا
dari Ubaidullah bin Al Akhnas telah mengkhabarkan kepadaku Amru bin Syua’ib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Seseorang bernama Murtsad bin Abu Murtsad, ia adalah seseorang yang pernah membawa para tawanan dari Makkah hingga ke Madinah. Ketika itu ia mempunyai teman seorang pelacur di Makkah bernama Anaq. Martsad kemudian meminta seseorang diantara tawanan Makkah untuk dibawanya. Ia berkata: Aku pun datang hingga sampai ke naungan salah satu kebun Makkah di malam purnama. Anaq datang lalu melihat gelapnya naungan di tepi kebun. Saat ia tiba di hadapanku, ia mengenaliku, ia bertanya: Martsadkah ini? Aku menjawab: Iya, aku Martsad. Anaq berkata: Selamat datang, mari menginap ditempat kami malam ini. ia berkata: Aku berkata: Hai Anaq, sekarang Allah telah mengharamkan zina[6]. (H.R.At-Tirmidzi)
Contoh amal baik namun dipandang tidak benar adalah kisah orang Jahiliyyah yg menyambung shilaturrahim;
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحِمَ وَكَانَ وَكَانَ فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي النَّارِ قَالَ فَكَأَنَّهُ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَيْنَ أَبُوكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ قَالَ فَأَسْلَمَ الْأَعْرَابِيُّ بَعْدُ وَقَالَ لَقَدْ كَلَّفَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعَبًا مَا مَرَرْتُ بِقَبْرِ كَافِرٍ إِلَّا بَشَّرْتُهُ بِالنَّارِ
dari Salim dari Bapaknya ia berkata, “Seorang Arab badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah menyambung silaturrahim, dan telah melakukan ini dan ini, lalu di manakah tempatnya?” Rasulullah menjawab: “Di neraka. ” Ibnu Umar berkata, “Seakan-akan laki-laki badui itu marah dengan jawaban beliau. Kemudian ia bertanya lagi, “Ya Rasulullah, di mana ayahmu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Di mana saja kamu melewati kuburan orang musyrik, maka berilah kabar gembira dengan neraka. ” Ibnu Umar berkata, “Laki-laki badui itu kemudian masuk Islam, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku tugas yang berat, tidaklah aku melewati kuburan orang kafir melainkan aku beri kabar gembira kepadanya dengan neraka[7]. ” (H.R.Ibnu Majah)
Mereka yang disebut dalam hadis inilah yang disebut Allah dalam Al-Quran amalnya diakhirat nanti akan menjadi debu;
{ وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا } [الفرقان: 23]
dan Aku hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Aku jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.
Dalam tafsir Jalalalain dijelaskan bahwa amal yang disebut dalam ayat di atas adalah amal baik, namun dilakukan orang yang kafir. Artinya iman kepada Allah namun tidak beriman kepada Rasul[8];
“وَقَدِمْنَا” عَمَدْنَا “إلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَل” مِنْ الْخَيْر كَصَدَقَةٍ وَصِلَة رَحِم وَقِرَى ضَيْف وَإِغَاثَة مَلْهُوف فِي الدُّنْيَا “فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَنْثُورًا” هُوَ مَا يُرَى فِي الْكُوَى الَّتِي عَلَيْهَا الشَّمْس كَالْغُبَارِ الْمُفَرَّق : أَيْ مِثْله فِي عَدَم النَّفْع بِهِ إذْ لَا ثَوَاب فِيهِ لِعَدَمِ شَرْطه وَيُجَازَوْنَ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
Penafsiran senada juga dikemukakan Asy-Syaukani[9];
هذا وعيد آخر وذلك أنهم كانوا يعلمون أعملالا لها صورة الخير : من صلة الرحم وإغاثة الملهوف وإطعام الطعام وأمثالها ولم يمنع من الإثابة عليها إلا الكفر الذي هم عليه فمثلت حالهم وأعمالهم بحال قوم خالفوا سلطانهم واستعصوا عليه فقدم إلى ما معهم من المتاع فأفسده ولم يترك منها شيئا وإلا فلا قدوم ها هنا
Wallahua’lam.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al-Karim
Adz-Dzahabi, Abu Abdillah. Tanpa Tahun. Al-Kabair. Beirut. Daru An-Nadwah Al-Jadidah.
Al-Maududi, Abu Al-A’la. Tanpa tahun. Mabadi’ Al-Islam. Minbaru At-Tauhid Wa Al-Jihad.
An-Nasa’i, Abu Abdirrohman. 1986. Sunan An-Nasa’i. Halab. Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah.
As-Suyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin Al-Mahalli. Tanpa tahun. Tafsir Jalalain. Kairo. Dar Al-Hadits.
Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali. 1993. Fathu Al-Qodir Al- Jami’ Baina Fannai Ar-Riwayah Wa Ad-Diroyah Min ‘Ilmi At-Tafsir. Beirut. Dar Al-Kalim Ath-Thoyyib.
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 1975. Sunan At-Tirmidzi. Mishr. Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad. 1955. As-Siroh An-Nabawiyyah. Mishr. Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi.
Ibnu Katsir, Abu Al-Fida’. 1998. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim. Beirut. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. 2009. Sunan Ibnu Majah. Beirut. Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah.
Malik, Al-Ashbahi . 2004. Al-Muwattho’.Al-Imarot. Muassasah Zayid bin Sulthon Alu Nahyan Li Al-A’mal Al-Khoiriyyah wa Al-Insaniyyah.
[1] Ibnu Katsir, Abu Al-Fida’. 1998. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim. Beirut. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Vol.3, hlm 252
[2] Ibnu Hisyam, Abu Muhammad. 1955. As-Siroh An-Nabawiyyah. Mishr. Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi.Vol.1, hlm 315
[3] An-Nasa’i, Abu Abdirrohman. 1986. Sunan An-Nasa’i. Halab. Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah. Vol.15, hlm 165
[4] Adz-Dzahabi, Abu Abdillah. Tanpa Tahun. Al-Kabair. Beirut. Daru An-Nadwah Al-Jadidah. Hlm 40
[5] At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 1975. Sunan At-Tirmidzi. Mishr. Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi. Vol.9, hlm 269
[6] At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 1975. Sunan At-Tirmidzi. Mishr. Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi. Vol. 10, hlm 457
[7] Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. 2009. Sunan Ibnu Majah. Beirut. Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah. Vol.5, hlm 48
[8] As-Suyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin Al-Mahalli. Tanpa tahun. Tafsir Jalalain. Kairo. Dar Al-Hadits. Vol.6, hlm 389
[9] Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali. 1993. Fathu Al-Qodir Al- Jami’ Baina Fannai Ar-Riwayah Wa Ad-Diroyah Min ‘Ilmi At-Tafsir. Beirut. Dar Al-Kalim Ath-Thoyyib. Vol.4, hlm 101