Oleh: Ust. Muafa
ARTI JUDUL BAB 1 DAN SUBBABNYA
1. PENGERTIAN KITAB
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengawali bab pertama kitabnya dengan menulis judul:
كِتَابُ الطَّهَارَةِ
Kata كتاب berasal dari kata كَتَبَ (kataba) yang secara bahasa bermakna menghimpun/menggabung. Buku disebut kitab dalam bahasa Arab, karena buku menghimpun huruf-huruf, kalimat-kalimat dan makna-makna. Detasemen disebut dalam bahasa Arab dengan istilah katibah (الكتيبة) karena detasemen menghimpun sejumlah prajurit dalam satu kelompok.
Secara istilah, kitab adalah satuan untuk mengelompokkan tema-tema dalam sebuah buku. Istilah yang paling dekat dalam bahasa kita adalah bab/chapter.
Untuk menyebut satuan yang lebih kecil di bawahnya (sub-bab), bahasa Arab memakai istilah باب (baab), yang dijamakkan menjadi أبواب (abwaab).
Satuan di bawahnya lagi adalah فصل (fashl) yang dijamakkan menjadi فصول (fushul).
Jadi, bisa disimpulkan tradisi kitab-kitab Arab membagi-bagi pembahasan topik menjadi:
Kitab (dijamakkan menjadi kutub/kutbun)
Bab (dijamakkan menjadi abwab)
Fashl (dijamakkan menjadi fushul).
2. PENGERTIAN THOHAROH
Kata الطهارة /Ath-thoharoh adalah bentuk isim mashdar (gerund) dari kata تطهر /tathohharo (bersuci). Jika tathohharo bermakna bersuci, maka makna thoharoh adalah hal bersuci. Secara bahasa, istilah thoharoh bermakna:
النظافة عن الأقذار
Artinya:
“Membersihkan diri/bersih dari kotoran”.
Dengan pengertian ini, maka aktifitas menggosok gigi, membersihkan kotoran telinga, bahkan ngupil sekalipun sebenarnya bisa disebut thoharoh secara bahasa.
Adapun dalam istilah syari’at, thoharoh bermakna:
رفع الحدث وإزالة النجس بالماء أو التراب بكيفية عينها الشرع
Artinya:
“Menghilangkan hadatS dan membersihkan najis memakai air atau tanah dengan cara yang dijelaskan syara’“.
Catatan:
Susunan frase (كتاب الطهارة) adalah susunan idhofah. Kata kitab sebagai mudhof dan kata thoharoh sebagai mudhof ilaih.
3. MAKNA LUGHOWI, MAKNA ‘URFI, DAN MAKNA SYAR’I
Dalam pembahasan fikih, ada tiga istilah yang harus digunakan secara tertib dalam batas-batasnya:
1. Makna lughowiy (bahasa atau makna asal)
2. Makna ’urfiy (istilah berdasarkan kesepakatan)
3. Makna syar’i (istilah yang dikenalkan Allah melalui NASH)
Contoh makna lughowi adalah pada lafaz shalat. Makna bahasa shalat adalah doa.
Contoh makna urfi adalah pada lafaz ghoith. Lafaz ini sebenarnya secara bahasa bermakna tempat rendah. Hanya saja orang Arab secara kebiasaan dan tradisi biasa menggunakan lafaz ini untuk makna buang air besar karena demikian seringnya mereka buang air di tempat-tempat rendah.
Contoh makna syar’i adalah lafaz ma’ruf dan munkar. Makna bahasa ma’ruf adalah yang dikenal, makna bahasa munkar adalah yang asing/tidak dikenal. Setelah itu Allah melalui Rasulullah mengenalkan makna baru pada lafaz ini, sehingga ma’ruf diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang baik oleh Allah, dan munkar dimaknai segala sesuatu yang dipandang buruk oleh Allah.
Dalam memaknai NASH, maka urutannya harus seperti di bawah ini:
1. Makna syar’i
2. Makna ‘urfiy
3. Makna lughawiy
Contoh praktis:
Jika kita membaca ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, maka lafaz sholat harus dimaknai secara syar’i dulu yakni: perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri salam. Tidak boleh dimaknai makna bahasa, yaitu; Doa.
Jika memahami dalil tidak tertib urutan seperti di atas, maka pemahaman agama akan menjadi kacau.
4. ARTI HADAS DAN NAJIS
Hadas adalah kondisi kotor/najis secara makNawi atau tidak kasat mata. Hadas dibagi menjadi dua, yaitu hadas kecil dan hadas besar.
Dinamakan hadas kecil karena cara “membersihkannya” cukup ringan, yaitu berwudhu. Dinamakan hadas besar karena cara “membersihkannya” tidak cukup dengan wudhu, tetapi harus dengan cara yang lebih ekstra, yaitu mandi.
Jika seorang mukmin buang air kecil, maka di sisi Allah mukmin tersebut “kotor” secara maknawi, sehingga belum diijinkan menghadap-Nya sebelum mensucikan diri dengan cara berwudhu.
Jika seorang mukmin mensetubuhi istrinya, maka di sisi Allah mukmin tersebut “kotor” secara maknawi, sehingga belum diijinkan menghadap-Nya sebelum mensucikan diri dengan cara mandi besar.
Ini adalah penjelasan hadas.
Adapun najis, maka ia adalah semua benda yang dianggap kotor oleh Allah dan Rasul-Nya. Contohnya air kencing. Mengapa air kencing dianggap najis? Karena ada dalil yang menganggapnya kotor, dan harus dibersihkan sebelum diizinkan untuk menghadap Allah.
Harus dibedakan antara najis dengan kotor/menjijikkan.
Apa yang dianggap kotor/menjijikkan menurut manusia, belum tentu najis. Contohnya adalah ingus. Sekalipun manusia merasa jijik dengan ingus dan menganggapnya kotor, namun ingus tidak dihukumi najis karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkannya.
Begitu juga dengan lumpur. Benda ini yang tidak dianggap najis oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, beliau pernah menjadi imam sholat tarawih pada saat kondisi hujan deras yang mengakibatkan air hujan masuk ke dalam masjid karena atapnya bocor sehingga Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dilaporkan dahi beliau terkena lumpur saat bersujud.
Najis adalah benda yang dianggap kotor oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, untuk menyebut sebuah benda najis, harus ada dalil yang menunjukkan.
Sampai di sini, ketika dikatakan bahwa thoharoh adalah: “menghilangkan hadas dan membersihkan najis memakai air atau tanah dengan cara yang dijelaskan syara’”.
Berarti ilmu thoharoh adalah ilmu yang mempelajari agar kita jadi tahu cara membersihkan kotoran maknawi dan kotoran lahir di mata Allah, agar kita bisa mensucikannya, sehingga kita diizinkan untuk menghadap-Nya melalui shalat, selanjutnya kita pun punya harapan persembahan ibadah kita diterima oleh-Nya.
Di sinilah letak keagungan ilmu thoharoh ini.
5. ALAT BERSUCI
Hukum asal membersihkan kotoran maknawi yang ada pada seorang mukmin (hadas) maupun kotoran lahir (najis) yang menempel pada badan seorang mukmin, pakaian, maupun tempat shalat seorang mukmin adalah dengan menggunakan air. Allah berfirman:
{وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا} [الفرقان: 48]
“Aku turunkan dari langit air yang mensucikan”. (Al-Furqon: 48)
Ketika air sulit didapatkan, maka Allah mengizinkan bersuci dengan tanah atau biasa disebut dengan istilah tayamum. Allah berfirman:
{فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا} [النساء: 43]
“Bertayammumlah dengan tanah yang baik (jika kalian tidak menemukan air)”. An-Nisa: 43
Atas dasar ini, pembahasan thoharoh akan selalu diawali dengan membahas macam-macam air yang akan digunakan untuk berwudhu dan mandi, kemudian akan dilanjutkan membahas tanah yang akan digunakan untuk bertayamum.
Catatan:
dari sini sudah bisa dibayangkan betapa agungnya konsepsi hidup bersih yang diajarkan dienul Islam. Inti dari pembahasan thaharah adalah membersihkan diri.
Pembersihan diri bukan hanya bersih secara lahir saja, tetapi juga membersihkan diri secara batin/maknawi. Motivasi hidup bersih itupun juga diajarkan dengan seagung-agung motivasi, yaitu untuk menyenangkan Allah, bukan karena ini dipuji manusia, mendapatkan penghargaan, memburu piala, mengejar popularitas, keinginan ingin dikenang, dan semua motivasi-motiovasi duniawi yang rendah lainnya.