Oleh: Ust. Muafa
7. ANALISIS NAHWU SABDA NABI
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
Dhomir huwa kembali kepada lafaz Al-Bahr. Posisi huwa adalah sebagai mubtada sementara khobarnya berbentuk jumlah yakni lafaz Ath-Thohur Ma-uhu. Huwa cukup diterjemahkan dia (yakni air laut itu).
Dhomir huwa mungkin juga dipahami sebagai dhomir sya’ni yakni kata ganti yang fungsinya memberitahu pentingnya informasi yang akan disampaikan. Dhomir sya’ni adalah seperti dhomir huwa pada ayat dalam surat Al-Ikhlash qul huwa Allahu ahad.
Lafaz (الطهور) dibaca dengan memfathahkan tho’ (thohur). Makna thohur adalah muthohhir (sesuatu yang bisa dipakai untuk mensucikan). Hal ini berbeda jika dibaca dengan mendhommahkan tho’ (thuhur), karena makna thuhur adalah kesucian, karena thuhur adalah bentuk mashdar dari lafaz thohuro.
Lafaz ma-uhu, dhomir hu merujuk pada Al-Bahr sebelumnya. Posisi sintaksis ma-uhu adalah sebagai fa’il/pelaku (الفاعل) dari kata kerja yang ada secara makna pada lafaz thohur sebelumnya. Seakan-akan kita bisa mengatakan huwa thohuro ma-uhu.
Lafaz Al-hillu adalah bentuk mashdar dari kata halla yang bermakna halal.
Lafaz maitah bermakna bangkai. Dhomir hu pada kata maitatuhu kembali pada Al-Bahr.
Dengan demikian terjemahan sabda Nabi:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
Adalah:
“Dia (air laut) itu (bisa) mensucikan. Halal bangkainya.”
8. SEKILAS BAHASAN FILOLOGIS LAFAZ HADIS INI
Naskah manuskrip (makhthuthot) bulughul marom dan naskah cetakan bulughul marom yang ada di dunia saat ini umumnya menulis sabda Nabi dalam hadis ini tanpa menyertakan huruf wawu sebelum lafaz Al-Hill :
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
Tetapi dalam mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, huruf wawu ini ada, sehingga lafaznya adalah:
هو الطهور ماؤه والحل ميتته
Padahal dalam kitab bulughul marom ini, Ibnu Hajar menegaskan bahwa beliau mengutip lafaz dari riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnafnya tersebut. Jadi, mestinya ketidakmunculan huruf wawu ini bisa dipahami sebagai bentuk kesilapan kecil Ibnu Hajar. Tindakan para muhaqqiq dan penerbit buku yang membiarkan naskah bulughul marom dalam hadis ini tanpa harf wawu sudah tepat, karena memang lafaz itu yang ditulis dalam berbagai manuskrip asli bulughul marom yang menunjukkan memang lafaz itu lah yang diperoleh murid-murid Ibnu Hajar saat mendapatkan imla’ dari gurunya. Pembiaran ini sesuai dengan prinsip amanat ilmiah.
Al-hillu adalah bentuk mashdar halla yang merupakan lawan haram. Dalam lafaz Ad-Daruquthni lafaz Al-Hillu diriwayatkan dengan lafaz Al-halal (الْحَلَالُ), sehingga lafaznya menjadi berbunyi:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحَلَالُ مَيْتَتُهُ
9. AIR LAUT SUCI DAN MENSUCIKAN, BANGKAINYA HALAL DIMAKAN
Sabda Rasulullah yang berbunyi:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
Artinya: Dia (air laut) itu (bisa) mensucikan. Halal bangkainya.
Ucapan ini mengandung dua hukum penting.
PERTAMA: Air laut hukumnya suci (thohir) dan sah digunakan untuk bersuci (muthohhir/mensucikan) tanpa membedakan apakah penggunaannya untuk menghilangkan hadas (wudhu dan mandi) atau menghilangkan najis. Sabda Nabi ini menolak secara otomatis pendapat yang mengatakan air laut tidak sah digunakan bersuci. Hanya saja, hukum ini berlaku dengan syarat air laut masih belum berubah sifatnya baik bau, rasa maupun warna.
KEDUA: Bangkai lautan halal dimakan. Istilah ميتة (maitah)/bangkai memiliki pengertian hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan. Jika ada hewan yang mati karena disembelih, dalam istilah fikih disebut dengan ذبيحة (dzabihah)/hewan sembelihan. Hukum asal maitah adalah haram, sementara dzabihah adalah halal. Meskipun hukum asal bangkai haram, namun ada dua macam bangkai yang halal sebagaimana dinyatakan dalam dalil yaitu bangkai hewan laut (berdasarkan hadis ini) dan bangkai belalang.
Dari sisi hikmah, kehalalan bangkai hewan laut sungguh memudahkan manusia ketika ingin mengkonsumsinya. Bisa dibayangkan betapa menyusahkannya jika kaum muslimin dituntut menyembelih setiap ikan teri yang ingin dimasaknya.
Maksud maitah laut dalam hadis ini adalah bangkai dari hewan yang hidup di laut lalu mati di laut, misalnya ikan, cumi-cumi, udang, lobster, sampai anjing laut, babi laut, ular laut dll. Maitah di sini tidak boleh dimaknai bangkai hewan darat yang dibawa ke laut.
10. PENTINGNYA HADIS NABI SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Hadis tentang air laut ini juga memberikan pelajaran penting bagi kita terkait posisi As-Sunnah sebagai sumber hukum. Bisa dikatakan hadis ini termasuk salah satu hadis yang berperan memberikan petunjuk pembentukan embrio aspek epistemologis hukum Islam.
Sudah diketahui kaum Muslimin, bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama dan utama bagi seluruh ajaran Islam. Hanya saja, secara fakta banyak ditemui kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan Al-Qur’an saja.
Contohnya masalah bersuci dengan air laut ini.
Bisa jadi, pada saat itu para shahabat memahami bahwa bersuci hanya sah dengan air tawar biasa mengingat Allah menyebut air biasa dalam Al-Qur’an sebagai alat bersuci.
Allah berfirman:
{وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا } [الفرقان: 48]
“Aku turunkan dari langit air yang mensucikan.” (Al-Furqon: 48)
Setelah itu, timbullah masalah riil di lapangan. Ada shahabat Nabi yang terbiasa mengarungi lautan dan hanya bisa membawa sedikit air. Air itu hanya cukup untuk minum, sementara dia juga membutuhkan air tawar juga untuk bersuci. Yang tersedia di depannya hanyalah air lautan. Masalahnya, air lautan tidak disebut-sebut dalam Al-Qur’an sebagai alat bersuci. Sifat air lautan juga berbeda dengan air biasa. Karena itu, air laut sebagai alat bersuci menjadi problem nyata yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an secara eksplisit, dan baru bisa selesai dengan hadis Nabi yang menjelaskan hukumya.
Dengan ungkapan lain bisa dikatakan: Ini adalah contoh problem baru dalam hal fikih yang tidak ditemukan nash riil dalam Al-qur’an, sehingga akhirnya selesai dengan keputusan hadis.
Dari sinilah, bisa ditarik kesimpulan bahwa sumber hukum Islam bukan hanya Al-Qur’an tetapi juga As-Sunnah yang menduduki posisi sumber hukum kedua.
11. KEFASIHAN DAN KEPADATAN BAHASA NABI
Ada hal menarik terkait redaksi jawaban Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis ini.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (dalam pembahasan asbabul wurud), sabda Nabi dalam hadis ini sebenarnya adalah jawaban pertanyaan dari Abdullah Al-Mudliji yang bertanya apakah boleh berwudhu dengan air laut. Yang menarik, ternyata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung menjawab na’am (iya). Padahal jika hanya dijawab dengan iya saja hal tersebut sebenarnya sudah menyelesaikan masalah dari pertanyaan yang diajukan.
Para ulama’ memberikan penjelasan terkait dengan hikmah-hikmah jawaban yang diberikan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kenapa beliau tidak menjawab dengan kata na’am tetapi menjawab dengan lafaz:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
Artinya: Dia (air laut) itu (bisa) mensucikan. Halal bangkainya.
Paling tidak ada 3 hikmah pilihan redaksi ini:
1. Untuk menghilangkan prasangka bahwa bolehnya bersuci dengan air laut adalah hanya dalam kondisi darurat saja. Pertanyaan Abdullah Al-Mudliji untuk mengunakan air laut adalah dalam konteks hanya membawa sedikit air untuk minum. Kondisi ini bisa saja yang dianggap sebagai kondisi darurat. Sehingga orang bisa salah sangka bahwa bolehnya berwudhu dengan air laut hanyalah dalam kondisi darurat. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan air laut itu mensucikan, maka hal ini menegaskan bahwa bolehnya bersuci dengan air laut bukanlah kondisi darurat, tetapi hal tersebut adalah hukum asal yang berlaku dalam kondisi biasa maupun darurat.
2. Untuk menghilangkan persepsi bahwa air laut itu hanya bisa mensucikan untuk berwudhu saja sementara bersuci yang lain seperti mandi besar dan menghilangkan najis tidak bisa. Pertanyaan Abdullah Al-Mudliji adalah pertanyaan kebolehan berwudhu dengan air laut. Jika Nabi hanya menjawab na’am, maka hal itu bisa disalah pahami bahwa kebolehan memakai air laut hanya untuk berwudhu. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan air laut itu mensucikan, maka hal ini menegaskan air laut bukan hanya bisa digunakan untuk berwudhu tetapi juga bisa digunakan untuk mandi besar dan mensucikan najis
3. Sebagai ta’kid/penegas. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ingin menekankan bahwa air laut itu meskipun berbeda sifat-sifatnya dengan air biasa karena rasanya asin, namun air tersebut bisa digunakan untuk bersuci. Seakan-akan Nabi menjawab kekhawatiran penanya yang mungkin kuatir bahwa air laut adalah air yang tidak dimaksudkan Allah ketika memerintahkan bersuci dengan air dalam Al-Qur’an.
12. KEBIJAKSANAAN NABI DALAM MENGAJAR
Hal lain yang menarik dalam hadis ini adalah, Ternyata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya sekedar menjelaskan hukum air laut untuk bersuci. Disamping menjelaskan hukum air laut, ternyata beliau juga menambahi penjelasan hukum bangkai laut dengan mengatakan:
الحل ميتته
Artinya: Halal bangkainya.
Seakan-akan dengan kedalaman hikmah serta kebijaksanaan Nabi, beliau melihat bahwa ketika penanya bingung status air laut, menjadi hal yang logis jika penanya juga bingung status bangkai laut. Mengarungi lautan bukan hanya problem minum dan berwudhu saja, tetapi juga akan menghadapi problem kelaparan yang bisa jadi pada suatu waktu akan menghadapi bangkai laut saja sebagai satu-satunya pilihan untuk dimakan. Karena itu, meski Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak ditanya, beliau menambah penjelasan.
Secara implisit, Nabi mengajarkan bahwa para ulama jika mengajari umat adalah termasuk adab yang bagus ketika menjawab dengan jawaban yang komprehensif sehingga masalah terkait semuanya terselesaikan tanpa perlu bertanya berulang-ulang dengan tema yang mirip.
Hadis nabi yang seperti ini dalam ushul fikih dibahas dalam tema Jawab-Su-al (jawaban pertanyaan) yang dikupas dari berbagai sisi, seperti aspek muthobaqoh (kesesuaian) jawaban dengan pertanyaan, keumuman jawaban, kemutlakannya, termasuk jawaban yang melebihi pertanyaan yang diajukan.
Bukhari sampai membuat bab khusus salam shahihnya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi yang menjawab pertanyaan dengan jawaban yang melebihi yang ditanyakan. Bab yang ditulis Bukhari berjudul:
باب من أجاب السائل بأكثر مما سأل عنه
“Bab orang yang menjawab penanya dengan jawaban yang melebihi apa yang ditanyakan”.
Hadis tentang air laut ini, kata Asy-Syafi’I sebagaimana dilaporkan oleh kawan dan muridnya yang bernama Al-Humaidi adalah separuh ilmu thoharah.
B. TAKHRIJ HADIS AIR LAUT
1. MAKNA TAKHRIJ
أخرجه الأربعة
Artinya:
Empat (orang pengumpul hadis) mentakhrijnya (hadis ini)
Setelah Ibnu Hajar selesai menulis matan lengkap hadis, beliau menutupnya dengan ungkapan akhrojahu al-arba’ah.. dst..
Ada dua istilah di sini yang harus dikupas yaitu istilah takhrij dan istilah al-arba’ah
Kita bahas dulu istilah takhrij
Kata akhroja yang ada pada kata akhrojahu di atas, secara bahasa bermakna mengeluarkan. Kata lain yang semakna adalah khorroja. Jadi akhroja dan khorroja bermakna sama.
Bentuk mashdar kata akhroja adalah ikhroj sementara bentuk mashdar kata khorroja adalah takhrij. Karena makna asal dari kedua kata ini sama, maka kata takhrij dan ikhroj juga bisa dikatakan bermakna sama. Dengan mengingat bahwa mashdar adalah proses “pembendaan” kata kerja, maka arti takhrij/ikhroj secara bahasa adalah hal mengeluarkan.
Namun dalam istilah ilmu hadis, kata takhrij sudah memiliki makna khas.
Ada dua makna yang sering dipakai ahli hadis ketika memakai istilah takhrij yaitu:
1. Menyebut sanad orisinil antara pengumpul/kompilator hadis sampai ke puncak sanad (sampai ke Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam). Contohnya Bukhari. Ketika beliau menyebutkan hadis tertentu, maka beliau sanggup menyebutkan seluruh perawi yang menjadi mata rantai hadis tersebut mulai dari guru beliau terus ke atas sampai Rasulullah. Semua hadis yang ada dalam shahih Bukhari bisa kita katakan ditakhrij bukhari karena beliau sanggup menunjukkan seluruh mata rantai perawi yang menjadi sanad hadis tersebut
2. Menunjukkan lokasi hadis pada kitab-kitab hadis primer. Misalnya yang dilakukan Ibnu Hajar. Ketika Ibnu Hajar mengatakan, “Hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya”, maka aktivitas Ibnu Hajar ini dinamakan adalah upaya menunjukkan lokasi hadis dalam kitab hadis primer agar bisa dicek siapapun yang ingin memastikan keberadaannya. Ibnu Hajar bukan pengumpul hadis seperti Bukhari. Tetapi Ibnu Hajar adalah ulama yang mempelajari hasil tulisan pengumpul hadis seperti Bukhari. Karena studi yang luas, maka Ibnu Hajar sanggup menunjukkan sebuah hadis terdapat dalam kitab hadis apa saja. Aktivitas menunjukkan lokasi hadis itu disebut juga dengan istilah takhrij.
Tujuan utama takhrij dalam ilmu hadis adalah untuk mengetahui dan memastikan kevalidan sebuah hadis.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa ketika Ibnu Hajar mengatakan:
أخرجه الأربعة
Artinya:
Empat (orang pengumpul hadis) mentakhrijnya (hadis ini)
Hal ini bermakna:
# Dari sisi bahwa ada 4 kompilator hadis yang menyebut hadis itu dalam kitab mereka lengkap dengan sanadnya, berarti makna takhrij yang dipakai adalah makna pertama
# Dari sisi bahwa Ibnu Hajar menunjukkan lokasi hadis itu kepada kita sehingga kita bisa memeriksanya sendiri, berarti makna takhrij yang dipakai adalah makna kedua
2. ISTILAH-ISTILAH TAKHRIJ IBNU HAJAR
Ada beberapa istilah takhrij yang dipakai Ibnu Hajar dalam kitab ini. Istilah yang dipakai dalam kitab ini hanya khusus dipakai untuk memahami istilah dalam kitab ini dan tidak boleh dipakai untuk memahami istilah dalam kitab lain kecuali yang sudah populer punya makna tertentu.
Ada enam istilah yang dipakai Ibnu Hajar yaitu sab’ah, sittah, khomsah, arba’ah, tsalatsah dan muttafaqun ‘alaih.
1. Sab’ah (السبعة) arti harfiahnya adalah tujuh.
Yang dimaksud tujuh adalah tujuh orang kompilator/pengumpul hadis, yaitu Bukhari, Muslim, An-Nasai, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad.
Jadi, jika Ibnu Hajar mengatakan Hadis ini ditakhrij oleh as-sab’ah/tujuh maka hal tersebut bermakna, hadis itu ditakhrij oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari, Muslim dalam Shahih Muslim, An-Nasa-i dalam Sunan An-Nasa’i, Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi, Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, dan Ahmad dalam Musnad Ahmad.
2. Sittah/الستة /enam.
Jika disebut hadis ditakhrij oleh as-sittah/enam maka hal tersebut bermakna hadis itu ditakhrij oleh tujuh kompilator di atas kecuali Ahmad.
3. Khomsah/الخمسة /lima.
Jika disebut hadis ditakhrij oleh al-khomsah/lima maka hal tersebut bermakna hadis itu ditakhrij oleh tujuh kompilator di atas kecuali Bukhari dan Muslim.
4. Arba’ah/ الأربعة /empat.
Jika disebut hadis ditakhrij oleh al-arba’ah/empat maka hal tersebut bermakna hadis itu ditakhrij oleh tujuh kompilator di atas kecuali Bukhari, Muslim dan Ahmad.
5. Tsalatsah/ الثلاثة/tiga.
Jika disebut hadis ditakhrij oleh ats-tsalatsah/tiga maka hal tersebut bermakna hadis itu ditakhrij oleh tujuh kompilator di atas kecuali Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah.
6. Muttafaqqun ‘alaih/disepakati.
Jika disebut hadis ditakhrij oleh muttafaqun ‘alaih maka hal tersebut bermakna hadis itu ditakhrij oleh dua imam, yaitu Bukhari dan Muslim.
3. AN-NASA-I
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa istilah al-arba’ah (الأربعة /empat) yang dipakai Ibnu Hajar dalam kitabnya; Bulughul marom ini bermakna empat orang pengumpul/kompilator hadis.
Jika disebut hadis ditakhrij oleh al-arba’ah/empat maka hal tersebut bermakna hadis itu ditakhrij oleh tujuh kompilator yang telah disebutkan kecuali Bukhari, Muslim dan Ahmad.
Hal ini bermakna, empat kompilator hadis tersebut adalah An-Nasa-i, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Siapakah An-Nasa-I (النَّسائي)?
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrohman Ahmad bin Syu’aib An-Nasa-i. Beliau adalah salah satu ulama dan kompilator hadis yang terkenal. Wajahnya tampan rupawan, kulitnya putih bersih.
Asalnya dari Khurosan tetapi kemudian memutuskan bermukim di Mesir. Istrinya empat dan terkenal: maushufun bikatsroti al-jima’ (digambarkan sebagai orang yang banyak berjimak).
Beliau juga suka dan banyak makan daging ayam, sampai secara khusus ayam-ayam dipelihara dan digemukkan untuk kepentingan itu. Saat beliau hidup di Mesir waktu itu beliau adalah orang yang paling tahu hadis shahih dan yang tidak shahih.
Beliau memiliki sejumlah karya kitab, tetapi yang terkenal adalah kitab Al-Mujtaba Min As-Sunan yang kemudian populer dengan nama Sunan An-Nasa-i.
Beliau wafat tahun 303 H.
4. ABU DAWUD
Selain diriwayatkan An-Nasa-i, hadis tentang air laut ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Siapakah Abu Dawud?
Nama lengkap beliau adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy-‘ats As-Sijistani. Beliau juga terkenal sebagai salah satu ulama pengumpul hadis yang bermukim di Bashroh.
Sahl bin Abdullah At-Tusturi pernah meminta lidah Abu Dawud dijulurkan. Setelah dikabulkan, maka Sahl mencium lidah itu sebagai penghormatan karena lidah tersebut senantiasa dipakai untuk mengajarkan hadis-hadis Nabi.
Beliau mengaku telah menulis 500.000 hadis Nabi, kemudian dari sekian banyak hadis itu beliau menyortirnya lalu mengumpulkan yang shahih-shahih kemudian ditulis dalam kitabnya: As-Sunan. Kitab ini kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud, yang mengandung 4000 lebih hadis.
Al-Ghazzali memuji kitab hadis Abu Dawud ini. Menurut beliau, untuk menjadi mujtahid sudah cukup jika menguasai Sunan Abi Dawud.
Beliau wafat pada tahun 275 H.
5. AT-TIRMIDZI
Selain diriwayatkan An-Nasa-i dan Abu Dawud, hadis tentang air laut ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Siapakah At-Tirmidzi?
Laqob At-Tirmidzi bisa dibaca dengan tiga cara yaitu At-Tirmidzi, At-Tarmidzi, dan At-Turmudzi (lihat kitab Mu’jamu Al-Buldan karangan Yaqut Al-Hamawi). Hanya saja yang lebih populer adalah At-Tirmidzi.
Beliau termasuk ulama besar hadis. Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Berguru kepada Bukhari dan lain lain.
Hapalannya luar biasa. Pernah suatu saat di jalan Mekah beliau bertemu ahli hadis, kemudian ahli hadis tersebut membacakan hadis. At Tirmidzi tidak mencatat, sehingga ditegur sang guru. Kemudian At-Tirmidzi membacakan seluruh hadis yang didengar tadi tanpa salah satu hurufpun. Sang guru masih kurang percaya, lalu beliau membacakan lagi 40 hadis. Maka At-Tirmidzi juga sanggup mengulang kembali tanpa salah satu hurufpun (lihat Siyaru A’lami An-Nubala’).
Karyanya banyak, yang terkenal adalah kitab hadis yang bernama Al-Jami’ Al-Kabir yang kemudian lebih populer dengan nama Sunan At-Tirmidzi.
Menjelang wafatnya beliau buta. Allah mewafatkannya pada th 279 H
6. IBNU MAJAH
Selain diriwayatkan An-Nasa-i, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi hadis tentang air laut ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Siapakah Ibnu Majah?
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qozwini. Majah adalah nama lain/laqob ayahnya, karenanya beliau dipanggil Ibnu Majah (putra majah).
Beliau adalah ulama kompilator hadis yang terkenal.
Beliau memiliki sejumlah karya bermanfaat seperti tafsir, tarikh Qozwin dan lain lain. Tapi yang paling terkenal adalah kitab hadisnya yang terkenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Isinya sekitar 4000 hadis.
Beliau wafat pada tahun 273 H.
7. IBNU ABI SYAIBAH
وابن أبي شيبة واللفظ له
dan (hadis ini juga ditakhrij oleh) Ibnu Abi Syaibah, sementara lafaz (yang dipakai dalam kitab ini) milik beliau (Ibnu Abi Syaibah)
Lafaz ibnu Abi Syaibah adalah ma’tuf pada kata al-arba’ah sebelumnya, jadi wawu pada kata wabnu adalah wawu ‘athof.
Maksud ungkapan wallaf-dzu lahu (lafaz hadis ini miliknya) adalah, matan hadis tentang laut ini, meskipun ditakhrij oleh empat kompilator hadis (Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah) dan Ibnu Abi Syaibah, namun lafaz yang dipilih Ibnu Hajar adalah lafaz matan hadis yang terdapat dalam mushonnaf Ibni Abi Syaibah.
Siapakah Ibnu Abi Syaibah?
Nama Lengkapnya Abu Bakr Abdulllah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al-‘Absi. Jadi Abu Syaibah sebenarnya adalah nama kakeknya. Lahir di Kufah th 159 H, tumbuh dan menuntut ilmu juga di sana. Setelah itu beliau melakukan rihlah menuntut ilmu ke Bashroh, Baghdad, Mekah dan Madinah. Hidup di zaman Harun Ar-Rosyid, Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.
Ibnu Abi Syaibah adalah guru Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain lain. Kata Bukhari, usia dan kemampuan hapalannya setara dengen Imam Ahmad.
Beliau pernah mengadiri forum di Masjid untuk membantah paham mu’tazilah dan dihadiri kira-kira 30.000 orang. Kitab karangannya banyak. Yang terkenal adalah kitab hadis yang bernama al-mushonnaf kemudian populer dengan nama mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.
Beliau wafat tahun 235 H.