Oleh: Ust. Muafa
A. SYARAT VOLUME MINIMAL:
1. HUJJAH PENDAPAT YANG MENSYARATKAN VOLUME MINIMAL
Perincian para ulama’ tentang standar suatu air mutlak bisa dikatakan najis tidak berhenti sampai di situ (yakni berhenti pada syarat semata-mata tidak berubahnya sifat-sifat air ketika bercampur najis), karena ada sejumlah riwayat yang mengesankan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menghukumi air mutlak itu najis ketika ada benda najis yang mengenainya meskipun najis tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air.
Ada tiga hadis yang menjadi perhatian ulama terkait masalah ini, yaitu hadis istiqodh (bangun tidur), hadis baul fil-ma’ daim (kencing pada air yang tenang), dan hadis wulughul kalbi (jilatan anjing).
Lafaz hadis istiqodh adalah sebagai berikut:
صحيح مسلم (2/ 116)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, maka jangan langsung mencelupkan tangannya ke dalam bejana, tetapi cucilah dulu sebanyak tiga kali (baru setelah itu celupkan ke dalam bejana) kerena dia tidak tahu di mana tangannya semalam”. (H.R.Muslim)
Tangan orang pada saat tidur tentu tidak terkontrol karena bisa bersarang di mana saja. Bisa jadi tangan tersebut dibuat menggaruk-garuk qubul atau dubur sehingga tangannya bernajis.
Ketika Rasulullah melarang orang yang bangun tidur langsung mencelupkan tangan ke dalam bejana sebelum dicuci tiga kali, larangan ini memberi kesan bahwa air suci yang bercampur najis maka tetap dihukumi najis meskipun sifat-sifatnya tidak berubah.
Jika riwayat ini dikaitkan dengan hadis sumur Budho’ah yang memberi kesan air tetap suci meskipun bercampur najis, maka hadis istiqodh ini dipahami bahwa volume airnya tidak mencapai volume minimal (mengingat volume air dalam becana memang sedikit) sehingga ketika bercampur dengan najis tangan tetap dihukumi najis.
Adapun hadis baul fil-ma’ daim, lafaznya adalah sebagai berikut:
صحيح مسلم (2/ 126)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ
“dari Abu Hurairah dari Nabi , beliau bersabda: Janganlah salah seorang di antara kalian kencing pada air yang tenang kemudian mandi darinya” (H.R.Muslim)
Air kencing adalah benda najis. Ketika Rasulullah melarang kencing pada air yang tenang kemudian digunakan untuk mandi, larangan tersebut memberi kesan bahwa air tenang yang tercampur dengan kencing itu hukumnya najis meskipun sifat-sifat airnya tidak berubah.
Jika riwayat ini dikaitkan dengan hadis sumur Budho’ah yang memberi kesan air tetap suci meskipun bercampur najis, maka hadis kencing di air yang tenang ini dipahami bahwa volume airnya tidak mencapai volume minimal sehingga ketika dikencingi tetap dihukumi najis.
Hadis wulughul kalbi lafaznya adalah sebagai berikut:
صحيح مسلم (2/ 119)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
“Jika ada anjing yang menjilati bejana salah satu di antara kalian, maka tumpahkan airnya kemudian cucilah tujuh kali.“
Hadist di atas juga mengesankan bahwa air yang tercampur dengan liur anjing (yang hukumnya najis) mengubah kondisi air yang awalnya suci menjadi najis meskipun sifat air itu tidak berubah.
Jika riwayat ini dikaitkan dengan hadis sumur Budho’ah yang memberi kesan air tetap suci meskipun bercampur najis, maka hadis jilatan anjing ini dipahami bahwa volume airnya tidak mencapai volume minimal sehingga ketika dijilat anjing tetap dihukumi najis.
Dengan demikian, berdasarkan tiga hadis di atas maka hadis sumur Budho’ah dipahami sebagai hadis yang ditakhsish oleh tiga hadis tersebut.
Para ulama yang sepakat dengan jalan pikiran ini kemudian menyusun dua syarat agar air tetap dihukumi suci meskipun bercampur dengan najis:
1. Sifat air tidak berubah
2. Memenuhi volume minimal
Para ulama yang menambahkan syarat volume minimal agar air tetap dihukumi suci meski tercampur najis di antaranya adalah Syafi’iyyah, Hadawiyyah, dan Hanafiyyah.
Khusus Syafi’iyyah, ukuran volume minimal yang ditetapkan adalah dua qullah (sekitar 321 liter).
Jadi menurut Syafi’iyyah, jika ada najis yang masuk ke dalam bak air yang volumenya 100 liter sementara sifat air tidak berubah, maka air tersebut tetap dihukumi najis karena tidak memenuhi syarat volume minimal.
Namun jika ada najis yang masuk ke dalam bak air yang volumenya 350 liter sementara sifat air tidak berubah, maka air tersebut masih dihukumi suci karena telah memenuhi syarat volume minimal.
2. CARA ULAMA MENGKOMPROMIKAN HADIS SUMUR BUDHO’AH DENGAN HADIS ISTIQODH DKK
Sudah diterangkan sebelumnya bahwa di antara para ulama yang mensyaratkan volume minimal sebagai hasil kompromi hadis sumur Budho’ah dan hadis istiqodh dkk adalah Syafi’iyyah, Hadawiyyah, dan Hanafiyyah.
Lalu bagaimana cara mengkompromikan bagi para ulama selain mereka?
Madzhab Maliki, Dzohiri, dan Hambali berpendapat bahwa ketiga hadist di atas termasuk wilayah ibadah yang sifatnya tauqifi yang harus ditaati dan tidak ada kaitannya dengan persoalan najis atau tidak. Hal ini berarti, air mutlak yang terkena benda najis tetap dihukumi suci selama tidak mengubah sifat-sifat air tersebut. Ini juga menjadi pendapat Ash-Shon’ani.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa volume air dalam Sumur Budho’ah telah mencapai dua qullah sehingga meskipun tercampur dengan begitu banyak benda najis, sifat-sifat air tidak berubah sehingga tetap dihukumi suci. Sedangkan volume air yang disebutkan dalam tiga hadist di atas (hadis istiqodh, hadis baul fil ma da-im, dan hadis wulughul kalbi) volumenya kurang dari dua qullah.
Dengan demikian, menurut Madzhab Syafi’i suatu air tidak dihukumi najis meskipun sudah tercampur benda najis, jika memenuhi dua ketentuan. Ketentuan yang pertama adalah tidak ada perubahan pada sifat-sifat air. Ketentuan yang kedua, volume air minimal mencapai dua qullah.
Mengenai konversi qullah juga terdapat sejumlah ikhtilaf. Namun yang paling banyak dijadikan rujukan adalah konversi dari Rawwas Qol’ahji, yakni satu qullah setara dengan 160,5 liter. Sehingga dua qullah setara dengan 321 liter. Jika wadah airnya berbentuk balok, maka panjang, lebar, dan tingginya masing-masing adalah 1 m x 1 m x 0,321 m.
3. KADAR VOLUME MINIMAL
Para ulama yang menetapkan syarat volume minimal untuk menentukan status kesucian air jika bercampur dengan najis ternyata mereka tidak satu pendapat ketika merumuskan kadar volume minimal tersebut.
Sudah diketahui bahwa ulama-ulama Syafi’iyyah menetapkan kadar minimal dua qullah. Hanya saja konversi dua qullah ke dalam ukuran zaman sekarang mereka juga berbeda pendapat. Satu pendapat mengatakan dua qullah sama dengan 321 Liter. Ada pula yang berpendapat dua qullah sama dengan 216 liter. Ada yang berpendapat 270 liter, dan lain-lain.
Perbedaan pendapat ini pangkalnya terletak pada definisi qullah yang disebut dalam hadis itu sendiri. Apakah yang dimaksud Nabi Qullah negeri Hajar yang terkenal sebagai qullah terbesar di negeri Arab ataukah qullah di tempat lainnya.
Madzhab Hanafiyyah secara intern juga berbeda pendapat terkait ukuran minimal ini. Hanafiyyah menolak hadis dua qullah karena mereka menganggapnya hadis mudhthorib sehingga dihukumi dhoif. Cara Abu Hanifah menentukan volume minimal adalah: Jika engkau menggerakkan tanganmu pada ujung air, lalu ujung satunya tidak bergerak, berarti airnya banyak (telah memenuhi syarat volume minimal). Menurut dua muridnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan) standar minimal adalah ukuran 10 dziro’ kali 10 dziro’.
Hadawiyyah berpendapat standar minimal adalah ketika diduga saat menggunakan air itu maka tidak akan menggunakan najis (diperkirakan saja).
4. PENGERTIAN QULLAH DAN KONVERSINYA
Qullah (jug/pitcher) adalah semacam gentong/ tempayan yang sanggup dipanggul manusia pertengahan jika dipenuhi air.
Rasulullah menyebut lafaz qullah saat menggambarkan peristiwa Isro’ Mi’roj ketika menggambarkan pohon sidrotul muntaha.
Pohon sidrotul muntaha digambarkan sebagai pohon yang daun-daunnya seperti telinga gajah dan buahnya seperti qullah-qullah (gentong-gentong) negeri Hajar.
Bukhari meriwayatkan:
صحيح البخاري (12/ 273)
ثُمَّ رُفِعَتْ إِلَيَّ سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى فَإِذَا نَبْقُهَا مِثْلُ قِلَالِ هَجَرَ وَإِذَا وَرَقُهَا مِثْلُ آذَانِ الْفِيَلَةِ
“Kemudian pohon Sidrotul Muntaha ditampakkan kepadaku. Ternyata buahnya seperti qullah-qullah (gentong-gentong) negeri Hajar dan dedaunannya seperti telinga-telinga gajah.” (H.R.Bukhari)
Ada ikhtilaf terkait kadar qullah ini. Syafi’iyyah menetapkan ukurannya 1,25 dziro’ kubik. Kadar ini setara dengan 93,75 sho’ atau 160,5 liter. Artinya, jika disebut dua qullah maknanya ukuran tersebut setara dengan 321 liter.
Jika ada bak air berbentuk kotak yang panjangnya 1 meter dan lebarnya 1 meter, maka dibutuhkan kira-kira 33 cm untuk tinggi agar mencapai kadar minimal dua qullah tersebut.
Rowwas Qol’ahji berkata:
معجم لغة الفقهاء (1/ 444)
القلة : بالضم والتشديد ج قلل وقلان ، جرة بقدر ما يطيق الإنسان المتوسط حملها لو ملئت ماء ، وقدر الشافعية القلتين بمكعب كل بعد من ذراع وربع ذراع بذراع الآدمي ، وهي تساوي 75 ، 93 صاعا = 5 ، 160 لترا من الماء
“Al-Qullah dengan dhommah (pada huruf Qof) dan tasydid (pada huruf lam) yang dijamakkan menjadi Qilal dan qillan adalah: Gentong dengan ukuran yang bisa dibawa manusia pertengahan jika dipenuhi air. Syafi’iyyah menetapkan ukuran satu qullah dengan pengukur kubik, dimana setiap dimensinya sepanjang satu dziro’ lebih seperempat dengan dziro’ manusia. Ukuran ini setara dengan 93,75 sho’ dan setara dengan 160,5 liter air.”
Wahbah Az-Zuhaili berpendapat 2 qullah setara dengan 270 liter.
B. KARYA-KARYA YANG MENTAHQIQ PERSOALAN SYARAT VOLUME MINIMAL
Berdasarkan uraian di atas, bisa dipahami bahwa persoalan syarat volume minimal adalah masalah ikhtilaf di kalangan fuqoha’. Ikhtilaf itu lahir dari dua riwayat yang seakan-akan bertentangan. Riwayat sumur Budho’ah mengesankan air yang bercampur najis selama tidak mengubah sifat-sifatnya dihukumi suci, sementara ada sejumlah riwayat seperti hadis istiqodh, hadis kencing di air yang tenang, hadis jilatan anjing pada bejana dan hadis dua qullah yang memberi kesan air yang bercampur najis tetap dihukumi najis.
Di kalangan ulama mujtahid, setiap ikhtilaf menimbulkan minat tahqiq (meneliti lebih dalam) untuk mentarjih mana pendapat yang paling kuat. Tarjih bagi setiap muslim memang hukumnya wajib, karena setiap mukallaf wajib untuk mengambil satu hukum Allah saja pada satu persoalan. Hukum Allah tidak berbilang dalam konteks satu individu muslim.
Di antara ulama yang meneliti masalah ikhtilaf ini adalah Ash-Shon’ani.
Ash-Shon’ani meneliti masalah ini dan ditulis dalam karyanya yang bernama Hawasyi Syarhi Al-‘Umdah dan Hawasyi Dhou’i An-Nahar. Beliau mengkritik Syafi’iyyah yang menetapkan syarat volume minimal itu. Ash Shon’ani menguatkan pendapat Al-Qosim bin Ibrahim dkk yang berpendapat air tetap dihukumi suci jika tercampur najis selama sifat-sifatnya tidak berubah tanpa membedakan apakah airnya banyak ataukah sedikit.
Salah satu Syafi’iyyah yang mengikuti pendapat ini adalah Abu Al-Hasan Ar-Ruyani. Menurut Ibnu Hazm, tidak mempertimbangkan volume minimal ini juga menjadi pendapat Aisyah, Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Al-Hasan bin Ali, Maimunah istri Nabi, Abu Hurairah, Hudzaifah bin Al-Yaman, Al-Aswad bin Yazid, Abdurrahman, Ibnu Abi Laila, Sa’id bin Jubair, Ibnu Al-Musayyab, Mujahid, Ikrimah, Al-Qosim bin Muhammad, dan AL-Hasan Al-Bishri.
Ulama lain yang meneliti masalah ini adalah Asy-Syaukani. Beliau menulisnya dalam kitab yang beliau namai Thoyyib An-Nasyr ‘Ala Masa-il Al-‘Asyr.
8. TAKHRIJ HADIS KEDUA
أخرجه الثلاثة وصححه أحمد
“Hadis ini ditakhrij oleh tiga (kompilator hadist) dan dishohihkan oleh Ahmad.”
Setelah menyebutkan matan hadis tentang sumur Budho’ah ini, Ibnu Hajar menutupnya dengan kalimat: “Hadis ini ditakhrij oleh tiga (kompilator hadist) dan dishohihkan oleh Ahmad.”
Tiga kompilator hadis sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam istilah Ibnu Hajar adalah An-Nasa’i, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Artinya, hadis tentang sumur Budho’ah ini tercantum dalam sunan An-Nasa’I, sunan Abi Dawud dan sunan At-Tirmidzi.
Selain tiga kompilator hadis ini, Asy-Syafi’I juga mentakhrijnya dalam kitab Al-Umm dan Ikhtilaf Al-Hadits. Ahmad juga meriwayatkannya dalam musnadnya. Juga Ad-Daruquthni dalam sunannya dan Al-Baihaqi dalam sunannya (al badrul munir juz 1 hlm 381).
Selain dari jalur Abu Sa’id Al-Khudri, hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Jabir, Ibnu ‘Abbas, Sahl bin Sa’ad, Aisyah, Tsauban, dan Abu Umamah. Ahmad menshahihkan hadis ini sebagaimana diinformasikan Al-Mizzi dalam kitabnya; Tahdzibu Al-Kamal.
9. KRITIKAN TERHADAP HADIS INI
Yang terkenal mengkritik hadis ini adalah Ad-Daruquthni (al badrul munir juz 1 hlm 382). Selain Ad-Daruquthni yang mengkritik adalah Abu Al-Hasan Ibnu Al-Qotthon dalam kitabnya yang bernama Al-Wahm wa Al-Iham.
Secara ringkas, kritikan terhadap hadis ini terangkum dalam dua poin:
Pertama:
Perawi yang terletak di antara Salith bin Ayyub dan Abu Sa’aid Al-Khudri, yaitu Ubaidullah bin Abdurrahman bin Rofi’ Al-Anshori Al-‘Adawi adalah perawi majhul karena banyak ikhtilaf terkait namanya.
Kritikan kedua:
Lima perawi yang meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri semuanya majhul.
10. JAWABAN ATAS KRITIKAN
Semua kritikan terhadap hadis ini tidak dapat diterima. Jawaban atas keberatan terhadap hadis ini diuraikan sebagai berikut:
Jawaban dari kritikan pertama:
Salith bin Ayyub juga meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Sa’aid Al-Khudri padahal Abdurrahman bukan perawi majhul. Beliau dipakai oleh sejumlah kompilator hadis kecuali Bukhari.
Jawaban kritikan kedua:
Tidak benar jika dikatakan lima perawi yang meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri semuanya majhul, karena imam-imam hadis yang besar-besar telah menshahihkan hadis ini, jadi mustahil mereka menshahihkan hadis yang perawinya majhul karena yang demikian itu adalah bentuk tadlis yang mencacatkan kredibilitas.
Perawi yang bernama Ubaidullah bin Abdurrahman bin Rofi’ dan Ubaidullah bin Abdillah bin Rofi’ telah dicatat Ibnu Hibban dalam kitab tsiqohnya. Bukhari menganggap dua orang tersebut adalah satu. Demikian pula Ibnu Abi Hatim. Bahkan, bisa jadi lima perawi yang disebut Ibnu Al-Qotthon majhul itu sebenarnya adalah orang yang sama menurut Bukhari.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Ahmad menshahihkan hadis ini. Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm, Al Hakim juga menshahihkan hadis ini. Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-badru Al-Munir juga menshahihkannya. At-Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. Dalam sebagian naskah beliau mengatakan: shahih.
An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Khulashoh; Pendapat para huffadh hadis yang banyak dan menshahihkannya lebih layak untuk diutamakan daripada pendapat Ad-Daruquthni.
11. DHOBTH SEJUMLAH LAFAZ PENTING
Maksud istilah dhobth (الضبط) adalah pengharokatan. Jadi, jika kita membaca dalam pembahasan fikih, hadis, tafsir dan lain-lain. Yang menyebut istilah dhobth, maka maksudnya adalah pembahasan tentang pengharokatan sejumlah lafaz yang dimungkinkan keliru dibaca.
Pembahasan dhobth ini penting karena sejumlah lafaz hanya bisa diketahui dengan cara hapalan. Misalnya lafaz (القنوجي) dibaca Al-Qinnauji bukan Al-Qonuji, lafaz (البربهاري) dibaca Al-Barbahari bukan dibaca Al-Barobihari dst.
Pembahasan dhobth juga penting karena ada sejumlah lafaz yang mungkin dibaca dengan dua cara sementara maknanya berlainan. Memastikan cara membaca akan membantu dalam penafsiran yang lebih tepat.
Dalam hadis sumur Budho’ah di atas, lafaz (البضاعة) cara membaca yang benar adalah dengan mendhommahkan ba’. Konon ada yang membacanya dengan kasroh (البِضاعة)/ Bidho’ah, tetapi yang mendhommahkannya lebih fasih dan lebih masyhur.
Budho’ah adalah nama sumur di Madinah. Airnya tidak mengalir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meludahinya dan memberkahinya. Beliau juga berwudhu memakai dengan timba sumur tersebut kemudian dikembalikan ke dalamnya. Jika ada orang sakit beliau berkata kepadanya: Ightasil bimaa-iha (mandilah dengan airnya), maka yang melaksanakan sembuh. Lokasinya di kampung bani Sa’idah
Adapun Lafaz (الحيض) cara membacanya yang benar adalah dengan mengkasrohkan ha’ dan memfathahkan ya’ (hiyadh), yakni bentuk jamak hiyadhoh (الحيضة) yang bermakna kain perca untuk pembalut haid. Dalam lafaz Ad-Daruquthni dan Abu Dawud malah ada lafaz “wa ‘adziru an-nas” (kotoran manusia). Jadi yang masuk ke dalam sumur Budho’ah bukan hanya pembalut haid tetapi juga kotoran manusia.