Oleh: Ust. Muafa
1. ABU UMAMAH AL-BAHILI
Matan hadis ketiga:
وعن أبي أمامة الباهلي – رضي الله عنه – قال: قال رسول – صلى الله عليه وسلم: «إن الماء لا ينجسه شيء, إلا ما غلب على ريحه وطعمه, ولونه». أخرجه ابن ماجه وضعفه أبو حاتم.
“Dan dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu yang menajiskannya kecuali sesuatu yang mendominasi baunya, dan rasanya, dan warnanya” (Ibnu Majah memtakhrijnya dan Abu Hatim mendhoifkannya).
وعن أبي أمامة الباهلي – رضي الله عنه – قال
“Dan dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu beliau berkata..”
Riwayat di atas diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili.
Siapakah beliau?
Nama asli Abu Umamah adalah Shuday bin ‘Ajlan (صُدَيّ بْن عَجْلاَن). Beliau berasal dari kabilah Bahilah. Beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Usianya 30 tahun saat peristiwa haji wada’.
Pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar didoakan mati syahid, tapi malah didoakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar selamat dan kaya. Akhirnya setiap perang selalu selamat dan mendapat harta ghonimah yang banyak. Amalan keluarganya adalah puasa.
Kisahnya ada dalam riwayat Ahmad berikut:
مسند أحمد (45/ 166)
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ
أَنْشَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزْوًا فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ لِي بِالشَّهَادَةِ فَقَالَ اللَّهُمَّ سَلِّمْهُمْ وَغَنِّمْهُمْ قَالَ فَغَزَوْنَا فَسَلِمْنَا وَغَنِمْنَا قَالَ ثُمَّ أَنْشَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزْوًا ثَانِيًا فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ لِي بِالشَّهَادَةِ قَالَ اللَّهُمَّ سَلِّمْهُمْ وَغَنِّمْهُمْ قَالَ فَغَزَوْنَا فَسَلِمْنَا وَغَنِمْنَا قَالَ ثُمَّ أَنْشَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزْوًا ثَالِثًا فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَتَيْتُكَ تَتْرَى مَرَّتَيْنِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَدْعُوَ اللَّهَ لِي بِالشَّهَادَةِ فَقُلْتَ اللَّهُمَّ سَلِّمْهُمْ وَغَنِّمْهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَادْعُ اللَّهَ لِي بِالشَّهَادَةِ فَقَالَ اللَّهُمَّ سَلِّمْهُمْ وَغَنِّمْهُمْ قَالَ فَغَزَوْنَا فَسَلِمْنَا وَغَنِمْنَا ثُمَّ أَتَيْتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مُرْنِي بِعَمَلٍ آخُذُهُ عَنْكَ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهِ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ قَالَ فَكَانَ أَبُو أُمَامَةَ وَامْرَأَتُهُ وَخَادِمُهُ لَا يُلْفَوْنَ إِلَّا صِيَامًا فَإِذَا رَأَوْا نَارًا أَوْ دُخَانًا بِالنَّهَارِ فِي مَنْزِلِهِمْ عَرَفُوا أَنَّهُمْ اعْتَرَاهُمْ ضَيْفٌ قَالَ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بَعْدُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قَدْ أَمَرْتَنِي بِأَمْرٍ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ نَفَعَنِي بِهِ فَمُرْنِي بِأَمْرٍ آخَرَ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهِ قَالَ اعْلَمْ أَنَّكَ لَا تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَ اللَّهُ لَكَ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ أَوْ قَالَ وَحَطَّ شَكَّ مَهْدِيٌّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
Diantara karomahnya: Beliau diberi makan dan minum Allah dalam mimpi, dan ketika bangun kenyang betulan.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau pergi ke Mesir untuk berdakwah. Akan tetapi tidak lama kemudian beliau pindah ke daerah Homs, Syiria, hingga akhirnya beliau meninggal pada tahun 81 H.
Beliau termasuk sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadist (Mukatstsirin).
2. ANALISIS LAFAZ RIWAYAT
قال رسول – صلى الله عليه وسلم: «إن الماء لا ينجسه شيء
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu yang menajiskannya..”
Lafaz ini sudah dibahas pada pembahasan hadis sumur Budho’ah sebelumnya. Jadi belum ada hal baru yang perlu dipertajam penjelasannya.
إلا ما غلب على ريحه وطعمه, ولونه
“..kecuali sesuatu yang mendominasi baunya, dan rasanya, dan warnanya”
Lafaz illa adalah istitsna’, cukup diterjemahkan kecuali.
Lafaz ma adalah isim, tergolong ma maushuliyyah cukup diterjemahkan yang. Lafaz ma di sini menerangkan syai-un pada lafaz sebelumnya yang berbunyi “laa yunajjisuhu syai-un“.
Lafaz gholaba ‘ala bermakna mengalahkan/ mendominasi/ menguasai.
Lafaz rih bisa bermakna angin, kentut, atau bau. Dalam konteks ini maknanya adalah bau.
Lafaz tho’m bermakna rasa, yakni tanggapan indra pengecap/ lidah terhadap rangsangan seperti manis, asin, pahit dan lain-lain.
Lafaz laun bermakna warna.
Karena itu, terjemahan lafaz:
إلا ما غلب على ريحه وطعمه, ولونه
Adalah:
“..kecuali sesuatu yang mendominasi baunya, dan rasanya, dan warnanya”.
3. KANDUNGAN MAKNA RIWAYAT
Lafaz hadis ketiga ini:
قال رسول – صلى الله عليه وسلم: «إن الماء لا ينجسه شيء إلا ما غلب على ريحه وطعمه, ولونه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu yang menajiskannya, kecuali sesuatu yang mendominasi baunya, dan rasanya, dan warnanya”
Dhohir lafaz di atas memberi makna bahwa air itu hukum asalnya suci kecuali sudah berubah tiga sifatnya yaitu bau, rasa dan warna.
Oleh karena tiga hal ini digabung dengan wawu athof maka makna yang terkesan adalah keterhimpunan tiga sifat ini. Artinya jika sudah berubah tiga sifat, maka air dihukumi najis, sementara jika yang berubah hanya salah satu sifat atau dua sifat, maka belum dihukumi najis.
Ini adalah makna dhohir.
Hanya saja, dalam hadis keempat yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dijelaskan bahwa maksud tiga sifat air yang mengubah status air adalah SALAH SATU dari tiga sifat tersebut, bukan gabungan ketiga-tiganya.
Ibnu Hajar menulis:
وللبيهقي: «الماء طاهر إلا إن تغير ريحه, أو طعمه, أو لونه; بنجاسة تحدث فيه».
Dan dalam riwayat Al-Baihaqi: Air itu bisa mensucikan kecuali jika berubah baunya atau rasanya atau warnanya, karena najis yang terjadi (berada/ jatuh) di dalam air tersebut.
Secara fakta, ada dua jenis benda asing yang mungkin bercampur dengan air, yaitu benda suci dan benda najis.
Jika ada air yang bercampur dengan benda najis namun salah satu dari sifatnya (bau, rasa, warna) tidak berubah, maka air tersebut masih suci dan boleh digunakan untuk bersuci.
Jika ada air terkena benda suci, namun salah satu sifatnya tidak berubah, maka air tersebut juga masih boleh digunakan untuk bersuci. Berbeda halnya jika salah satu sifatnya sudah berubah.
Misalnya air satu ember yang awalnya suci kemudian dicampur dengan satu kilogram gula. Setelah gula dicampur, ternyata rasanya berubah menjadi manis. Maka air tersebut hukumnya tetap suci, hanya saja sudah tidak mensucikan.
Karena itulah para ulama akhirnya membagi air menjadi tiga macam:
1. Thohur, yaitu air suci dan mensucikan. Ini merupakan hukum asal dari air.
2. Thohir, yaitu air suci tapi tidak mensucikan. Contohnya adalah air suci yang tercampur benda asing yang suci yang membuat salah satu dari tiga sifat air berubah. Air jenis ini boleh dipakai untuk keperluan lain, namun tidak boleh digunakan untuk bersuci.
3. Najisun, yaitu air yang najis karena terkena najis. Air jenis ini tidak suci dan tidak mensucikan.
Kembali pada pemaknaan riwayat di atas.
Jadi bisa dikatakan bahwa seluruh air hukum asalnya adalah suci, tidak bisa dinajiskan oleh apapun kecuali jika tiga sifatnya berubah, yaitu bau, rasa, dan warnanya. Hukum ini tidak dibedakan apakah airnya sedikit ataukah banyak, mengalir ataukah diam.
Hanya saja ada ulama yang mentakhsishnya dengan hadis qullatain dan hadis istiqodh sehingga menetapkan syarat tambahan yakni volume minimal air.
4. TAKHRIJ HADIS
أخرجه ابن ماجه وضعفه أبو حاتم.
“..Ibnu Majah mentakhrijnya dan Abu Hatim mendhoifkannya”.
Setelah menyebutkan matan riwayat, Ibnu Hajar menutupnya dengan penjelasan bahwa hadis ini ditakhrij oleh Ibnu Majah. Artinya, hadis ini tercantum dalam kitab sunan Ibnu Majah.
Selain Ibnu Majah, hadis ini juga ditakhrij oleh Ad-Daruquthni dalam sunan-nya, Al-Baihaqi dalam sunan-nya, At-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Ath-Thohawi.
Hadis ini diriwayatkan dari dua jalur: Tsauban dan Abu Umamah Al-Bahili.
Akan tetapi menurut Abu Hatim, status hadist di atas adalah dhoif.
Ibnu Hajar menulis:
وضعفه أبو حاتم
“..dan Abu Hatim mendhoifkannya”
Penyebab dhoifnya adalah karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Risydin bin Sa’ad Al-Mishri. Beliau adalah orang yang sholih.
Ahmad bin Hambal berkata tentang beliau:
هو رجل صالح وعابد
“Dia adalah lelaki sholih dan ahli ibadah”.
Hanya saja, meski shalih para kritikus hadist berkata tentang Risydin bin Sa’ad:
سيء الحفظ
“Orang yang buruk hafalannya”.
Jadi, Risydin ini, meski shalih dan ahli ibadah namun buruk hapalannya dan melakukan takhlith (mencampuradukkan hadis). Ahmad juga mengatakan bahwa Risydin ini tidak peduli mengambil hadis dari siapa.
Banyak ahli hadis yang memvonisnya matruk (ditinggalkan). Ibnu Lahi’ah masih lebih baik daripada Risydin. Buruk hapalan dalam riwayat hadis adalah sifat berbahaya, karena bisa jadi menisbatkan ucapan tertentu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam padahal bukan ucapan Rasul.
Sanad lain yang diriwayatkan Al-Baihaqi yang disebutkan Ibnu Hajar dan menjadi hadis keempat juga sanad yang dhoif, yakni riwayat yang berbunyi:
وللبيهقي: «الماء طاهر إلا إن تغير ريحه, أو طعمه, أو لونه; بنجاسة تحدث فيه».
Dan dalam riwayat Al-Baihaqi: Air itu bisa mensucikan kecuali jika berubah baunya atau rasanya atau warnanya, karena najis yang terjadi (berada/ jatuh) di dalam air tersebut.
Sanad lengkap Riwayat tersebut berbunyi:
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (1/ 259)
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا الشَّامَاتِىُّ حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ بَقِيَّةَ بْنِ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« إِنَّ الْمَاءَ طَاهِرٌ إِلاَّ إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ »
Dalam Sanad Baihaqi ini ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al-Walid yang termasuk mudallis. Perawi mudallis secara umum termasuk perawi dhoif.
Imam Asy-Syafi’i berkata tentang hadist ini:
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (1/ 260)
يُرْوَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ وَجْهٍ لاَ يُثْبِتُ أَهْلُ الْحَدِيثِ مِثْلَهُ ، وَهُوَ قَوْلُ الْعَامَّةِ لاَ أَعْلَمَ بَيْنَهُمْ فِيهِ خِلاَفًا
Kami mendengar riwayat tentang masalah air yang dikecualikan tiga hal itu (warna, rasa, dan bau) tapi tidak ada satupun ahli hadist yang menshohihkannya.
Ibnu Al-Jauzi juga mendhoifkannya dalam At-Tahqiq.
Imam An-Nawawi juga berkata dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab: “Seluruh ulama’ sepakat bahwa hadist ini adalah dhoif.”
5. KESALIHAN TIDAK CUKUP MEMBUAT UCAPAN SESEORANG DITERIMA
Ada pelajaran penting terkait kasus Risydin bin Sa’ad ini.
Ditolaknya riwayat Risydin bin Sa’ad padahal beliau adalah orang salih dan ahli ibadah menunjukkan bahwa syarat untuk menjadi perawi hadist bukan hanya sholih, namun juga harus memiliki hafalan yang kuat.
Meskipun seorang perawi sudah selevel ulama’ yang salih dan ahli ibadah namun jika tidak memiliki hafalan yang kuat, maka riwayatnya akan ditolak atau minimal dilemahkan. Karena dikhawatirkan perawi salah ingat sehingga bisa menimbulkan kesalahan lafadz. Meskipun hanya satu lafadz, namun bisa menimbulkan efek yang levelnya sampai pada mengubah konsekuensi hukum syara’.
Selain memiliki hafalan yang lemah, Risydin bin Sa’ad Al-Mishri juga dikenal sebagai orang yang tidak meneliti riwayat dari siapapun. Sehingga begitu menerima hadist, beliau langsung menyebarkannya. Dalam ilmu hadist, sifat seperti ini dipandang berbahaya. Bagaimana jika yang diterima itu adalah hadist palsu?
Menyebar hadist palsu sama saja dengan menyebar kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal barang siapa yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia akan diancam dengan neraka.
Itulah sebab mengapa hadist di atas dianggap dho’if sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Sifat gampang menerima berita dan menyebarkannya tanpa meneliti adalah sifat tercela dalam dien, dan membuat seluruh informasi dari orang tersebut menjadi layak ditolak secara keseluruhan jika memberitakan sesuatu tentang dien
6. ABU HATIM
Saat menjelaskan kualitas hadis tentang kriteria air mutlak ini, Ibnu Hajar menulis:
وضعفه أبو حاتم
“..dan Abu Hatim mendhoifkannya”
Siapakah Abu Hatim?
Biasanya beliau disebut Abu Hatim Ar-Rozi. Nama lengkap Abu Hatim adalah Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar-Razi. Imam negeri Khurosan. Beliau merupakan seorang kritikus besar hadist yang sangat terkenal. Ilmu beliau sangat luas terkait dengan perawi-perawi hadist.
Hidupnya sezaman dengan Bukhari dan keilmuannya dalam hadis selevel dengannya. Tetapi umurnya lebih panjang daripada Bukhari lebih dari 20 tahun. Yunus bin Abdil A’la sampai khusus mendoakannya agar berumur panjang karena ilmunya sangat bermanfaat bagi kaum muslimin. Alhamdulillah, umurnya memang panjang (82 tahun).
Gurunya mendekati 3000 orang.
Beliau punya putra yang juga terkenal sebagai kritikus hadis yang bernama Ibnu Abi Hatim. Saking semangatnya sang putra menimba ilmu dari ayahnya, sampai-sampai sang putra setor hadis saat sang ayah sedang makan, berjalan, masuk kamar kecil, dan mencari barang di rumah.
7. AL-BAIHAQI
Saat menyebut hadis keempat yang masih terkait dengan hadis ketiga tentang tiga sifat air ini, Ibnu Hajar menulis:
وللبيهقي: «الماء طاهر إلا إن تغير ريحه, أو طعمه, أو لونه; بنجاسة تحدث فيه».
Dan dalam riwayat Al-Baihaqi: Air itu bisa mensucikan kecuali jika berubah baunya atau rasanya atau warnanya, karena najis yang terjadi (berada/ jatuh) di dalam air tersebut.
Riwayat di atas ditakhrij oleh Al-Baihaqi. Nama ini sudah sangat sering kita sebut.
Siapakah sebenarnya beliau?
Nama lengkap beliau adalah Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi. Kata Baihaqi dinisbatkan pada kota Baihaq, yaitu kota yang berada di daerah Khurosan di dekat Naisabur.
Al-Baihaqi adalah seorang ulama’ besar di bidang hadist pada abad ke-5 H. Beliau termasuk ulama’ yang bermadzhab Syafi’i. Kata Al-Juwaini, semua orang yang bermadzhab Syafi’i akan merasakan jasa Syafi’i dalam ilmu, tetapi Al-Baihaqi justru berjasa kepada Syafi’i karena banyak menolong madzhab Syafi’i dengan karangan-karangannya.
Karangan-karangannya luar biasa banyak dan bermutu. Menurut Adz-Dzahabi, karangan Al-Baihaqi mencapai lebih dari seribu karangan. Seandainya Al-Baihaqi ingin membangun madzhab sendiri, niscaya beliau akan mampu melakukannya karena keluasan ilmunya.
Sifatnya zuhud, waro’ dan bertakwa.
Beliau wafat tahun 458 H.
8. TIGA INDIKATOR SIFAT AIR DALAM FIKIH
Sampai di sini tentu akan timbul sebuah pertanyaan penting:
Jika memang hadist tentang tiga sifat air (bau, rasa dan warna) di atas dho’if, lantas dasar dari standar sifat air yang tiga itu apa? Mengapa kita menemui dalam kitab-kitab fikih para ulama dalam berbagai madzhab semuanya menyebut masalah warna, rasa dan bau standar air ini?
Ternyata setelah diteliti, semua rujukan yang ada mengatakan bahwa yang dijadikan dasar adalah ijma’ ummat, artinya ini sudah disepakati oleh para ulama’ dan seluruh kaum muslimin. Dengan demikian, meskipun hadist di atas adalah dho’if, namun diterima dari segi makna karena ijma’ tersebut.
Bahkan kalangan ulama’ dari Madzhab Dzohiri juga menerimanya, seperti Ibnu Hazm misalnya. Padahal madzhab dzohiri dikenal sebagai madzhab yang tidak mau menggunakan dalil selain hanya Al-Qur’an dan hadist. Akan tetapi, Ibnu Hazm dalam kitab beliau yang berjudul “Al-Muhalla bi Al-Atsar”, ternyata beliau juga memakai standar ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada lagi ikhtilaf tiga standar ini untuk menentukan standar sifat air yang akan dipakai untuk menilai apakah suci atau najis ketika bercampur dengan najis.
Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi memakai hujjah ijma’ juga dalam hal ini. Jadi dalil persoalan ini adalah ijma’ ulama’, bukan lafaz hadis ini.
Al-Baihaqi meriwayatkan:
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (1/ 260)
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ حَدَّثَنَا الشَّافِعِىُّ قَالَ : وَمَا قُلْتُ مِنْ أَنَّهُ إِذَا تَغَيَّرَ طَعْمُ الْمَاءِ وَرِيحُهُ وَلَوْنُهُ كَانَ نَجِسًا يُرْوَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ وَجْهٍ لاَ يُثْبِتُ أَهْلُ الْحَدِيثِ مِثْلَهُ ، وَهُوَ قَوْلُ الْعَامَّةِ لاَ أَعْلَمَ بَيْنَهُمْ فِيهِ خِلاَفًا
Abu Abdillah Al-Hafidh memberitahu kami, Abu Al-‘Abbas Muhammad bin Ya’qub memberitahu kami, Ar-Robi’ memberitahu kami, Asy-Syafi’i memberitahu kami, beliau berkata:
“Pendapatku bahwa jika rasa air, bau dan warnanya berubah maka air tersebut dihukumi najis, (pendapat ini ada kesamaan dengan informasi hadis yang) diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melalui jalur yang tidak dishahihkan ahli hadis (dengan sanad) seperti itu. (namun) Ini adalah pendapat umum yang aku tidak mengetahui ada khilaf diantara mereka dalam persoalan tersebut.” (H.R. Al-Baihaqi)