9. MAKNA HAMLU AL-KHOBATS
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:
لم يحمل الخبث
“maka air tersebut tidak membawa najis.”
Lafaz ini memungkinkan dimaknai dua makna yang berlawanan:
Pertama: Air yang telah mencapai ukuran dua qullah jika dijatuhi najis, maka najis tersebut akan larut di dalamnya, bercampur dengan air, sampai taraf najis tersebut tidak kelihatan sehingga orang tidak melihat bekas apapun yang menunjukkan adanya najis pada air tersebut.
Pemaknaan seperti ini memberi kesimpulan: Jika air volumenya minimal telah mencapai dua qullah, maka jatuhnya najis ke dalamnya tidak memberikan pengaruh. Jadi ukuran dua qullah menjadi syarat minimal yang membuat air tersebut tetap dihukumi suci.
Kedua: Air yang baru mencapai dua qullah, maka dia “belum sanggup menanggung” najis, sehingga jika dijatuhi najis, status air tersebut masih lah najis. Jika air sudah lebih dari dua qullah (meskipun lebihnya hanya sedikit, misalnya satu gelas) barulah air tersebut “sanggup menanggung najis”.
Dengan kata lain, pemaknaan yang pertama memberi simpulan standar volume minimal dua qullah agar air tetap dihukumi suci meski terkena najis. Adapun pemaknaan yang kedua memberi simpulan standar volume maksimal kapan air masih dihukumi najis jika terkena najis.
Hanya saja riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrok menegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memaksudkan makna pertama.
Al-Hakim meriwayatkan:
المستدرك على الصحيحين للحاكم (1/ 224)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْمَاءِ يَكُونُ بِأَرْضِ الْفَلَاةِ وَمَا يَنُوبُهُ مِنَ السِّبَاعِ وَالدَّوَابِّ، فَقَالَ: «إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ»
Dari Abdullah bin Abdillah bin Umar dari ayahnya beliau berkata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang air yang ada di tanah cadas dan sering didatangi oleh binatang buas dan hewan-hewan lainnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Apabila air itu mencapai dua qullah maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya.”
10. DHOBTH LAFAZ YANJUS
«لم ينجس » وفي لفظ:
Dan dalam suatu riwayat dinyatakan, “Tidak najis”.
Setelah Ibnu Hajar menulis matan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait standar dua qullah ini, beliau menulis:
«لم ينجس » وفي لفظ:
Dan dalam suatu riwayat dinyatakan, “Tidak najis”.
Maksud ungkapan ini adalah: hadis tentang dua qullah ini diriwayatkan dengan sanad lain dengan lafaz yang sedikit berbeda, yaitu:
«إذا كان الماء قلتين لم ينجس »
, “Jika air itu sebanyak dua qullah, maka air tersebut tidak najis.”
Riwayat dengan lafaz ini terdapat dalam sunan Ad-Daruquthni;
سنن الدارقطنى – مكنز (1/ 31، بترقيم الشاملة آليا)
حَدَّثَنَا الْقَاضِى الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الزَّعْفَرَانِىُّ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ كُنَّا فِى بُسْتَانٍ لَنَا أَوْ لِعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَقَامَ عُبَيْدُ اللَّهِ إِلَى مَقْرًى فِى الْبُسْتَانِ فَجَعَلَ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ وَفِيهِ جِلْدُ بَعِيرٍ فَقُلْتُ أَتَوَضَّأُ مِنْهُ وَفِيهِ هَذَا الْجِلْدُ فَقَالَ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجُسْ »
Huruf mudhoro’ah pada lafaz ينجس bisa dibaca dengan dua cara yakni dengan memfathahkan jim atau mendhommahkannya. Jadi, kita bisa membacanya يَنْجَسُ atau يَنْجُسُ.
Kedua cara membaca ini semuanya benar karena orang Arab fushoha’ memakai dua cara membaca tersebut.
Patut diketahui bahwa pengharokatan huruf mudhoro’ah setiap lafaz Fi’il mudhori’ itu tidak didapatkan secara sembarangan. Jadi, bukan suka-suka orang membaca dengan harokat dhommah, fathah atau kasroh. Pengharokatan itu didasarkan pada penelitian pakar-pakar bahasa yang kemudian dihimpun dalam satu catatan yang disebut dengan istilah mu’jam (kamus).
Kamus yang menyertakan “dalil” untuk setiap pemaknaan dan pengharokatan seperti kamus Lisanul Arob karangan Ibnu Mandhur, Tajul Arus karangan Murtadho Az-Zabidi dan lain-lain adalah contoh bagus untuk memahami prinsip ini.
11. KRITIKAN TERHADAP HADIS INI
Di antara ulama yang dikenal mengkritik keshahihan hadis dua qullah ini adalah Ibnu Abdil barr dan Isma’il Al-Qodhi.
Secara ringkas, ada dua hal yang menjadi sorotan titik kritik hadis ini:
Pertama:
Sanad hadist ini dinilai muththorib/kacau. Karena ada salah seorang perawi yang bernama Al-Walid bin Katsir yang meriwayatkan hadis ini dari guru yang berbeda-beda, seakan-akan beliau tidak ingat telah mendapatkan riwayat ini dari guru yang mana.
Kedua:
Matan hadist ini juga dianggap muththorib. Karena ada di riwayat lain ada yang mengatakan bahwa syarat minimalnya bukan dua qullah, namun satu qullah. Kemudian di riwayat yang lain pula dikatakan bahwa syarat minimalnya bukan satu qullah, melainkan dua qullah. Bahkan ada lagi riwayat yang menyebut 40 qullah. Sehingga ada 4 riwayat yang berbeda yang tentunya menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Riwayat manakah yang benar?
Dua hal tentang hadis ini akhirnya dijadikan sebagai alasan untuk menilai hadis ini tidak shahih.
12. JAWABAN ATAS KRITIKAN TERHADAP HADIS INI
Dua kritikan terhadap hadis dua qullah ini bisa dijawab sebagai berikut:
Pertama tentang sanad hadist ini yang dianggap muththorib. Sesungguhnya sanad hadist ini tidak muththorib. Dengan asumsi semua riwayat mahfudh, maka penyebutan guru yang berbeda-beda itu bukan bentuk idhthirob, tetapi bentuk intiqol min tsiqoh ila tsiqoh. Artinya, bisa dipahami bahwa Al-Walid bin Katsir memang mendapatkan hadist ini dari sejumlah guru. Jadi penyebutan guru yang berbeda-beda oleh beliau bukan disebabkan karena lupa.
Sesungguhnya memang tidak masalah jika seorang perawi mendapatkan hadist yang sama dari beberapa gurunya. Kata Ibnu Hajar : Setelah diteliti, yang benar Al-Walid bin Katsir mendapatkan riwayat dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari Abdullah bin Umar Al-Mukabbar. Jalur lain: Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair dari Ubaidullah bin Abdillah bin Umar Al-Mushogh-ghor. Siapapun yang meriwayatkan tidak melalui jalur ini -kata Ibnu hajar- maka dia telah melakukan wahm.
Al-Hakim meriwayatkan jalur yang ketiga dan dipandang jayyid oleh Ibnu Ma’in.
Adapun jawaban klaim bahwa matan hadis ini mudhtorib, maka bisa dikatakan bahwa matan yang shohih adalah yang menyebutkan dua qullah, selain itu semuanya cacat.
Riwayat yang menyebut satu qullah adalah riwayat cacat karena ada perawi yang salah ingat.
Riwayat yang menyebut tiga qullah adalah riwayat syadz (yang bermakna ada perawi yang kurang dhobith) sehingga tidak bisa dibenturkan dengan riwayat yang menyebut dua qullah. Jika ada dua riwayat bertentangan, yang pertama diriwayatkan perawi tsiqoh sementara yang satunya diriwayatkan perawi yang level ketsiqohannya lebih rendah, tentu saja riwayat yang perawinya lebih tsiqoh yang diterima .
Terkait riwayat yang menyebut 40 qullah, maka riwayat ini adalah riwayat mudhthorib sehingga harus ditolak. Riwayat 40 qullah ini didhoifkan oleh Ad-Daruquthni karena di dalam sanadnya perawi dhoif yang bernama Al-Qosim bin Abdullah Al-Umari.
Ibnu Mandah mengatakan, sanad hadis qullatain sesuai dengan syarat Muslim.
Hadis ini dishahihkan Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Al-Mulaqqin dan Al-Albani.
Dari sini bisa dipahami mengapa para penganut madzhab Syafi’i tetap berpegang teguh pada hadist di atas untuk dijadikan standar dalam menentukan kondisi air yang terkena najis.
13. IBNU HIBBAN
أخرجه الأربعة, وصححه ابن خزيمة. وابن حبان والحاكم
“Hadis ini ditakhrij oleh yang empat (ashabus sunan: An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi) dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dan Al-Hakim.”
Setelah Ibnu Hajar selesai menjelaskan matan hadis kelima ini, beliau menutupnya dengan menjelaskan takhrij hadis ini.
Beliau mengatakan bahwa hadis dua qullah ini ditakhrij oleh empat kompilator hadis. Sebagimana telah dijelaskan dalam syarah hadis sebelumnya, empat kompilator hadis dalam istilah Ibnu hajar adalah An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. Artinya, hadis ini terdapat dalam sunan An-Nasai, sunan Abu Dawud, sunan Ibnu Majah dan sunan At-Tirmidzi.
Setelah itu, Ibnu Hajar melanjutkan bahwa hadis ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Biografi singkat Ibnu Khuzaimah telah dijelaskan dalam syarah hadis sebelumnya. Yang belum dijelaskan adalah biografi Ibnu Hibban dan Al-Hakim.
Siapakah Ibnu Hibban?
Nama lengkap beliau adalah Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti.
Beliau adalah Syaikh ahli hadis Khurosan. Beliau juga menjadi salah satu guru Al-Hakim, pengarang Al-Mustadrok. Beliau termasuk fuqoha’, mengerti ilmu kedokteran, dan juga ilmu astronomi.
Sempat menjabat sebagai qodhi wilayah Samarqond.
Pernah dituduh zindiq gara-gara ucapan yang mengesankan nubuwwah itu bisa diusahakan dengan ilmu dan amal. Juga pernah diusir gara-gara perdebatan tentang sifat Allah. Adz-Dzahabi membela Ibnu Hibban terkait dua tuduhan ini dalam kitabnya Siyaru A’lami An-Nubala’.
Karyanya banyak (kitab apa saja yang dihasilkan infonya lengkap di siyaru a’lamin nubala’). Yang paling terkenal adalah kitab hadis yang bernama Al-Anwa’ Wa At-Taqosim yang kemudian terkenal dengan nama shohih Ibnu Hibban. Di dalam kitab tersebut Ibnu Hibban melaporkan kira-kira hadis yang beliau tulis dihimpun dari 2000 guru lebih.
Beliau wafat tahun 354 H.
14. AL-HAKIM
أخرجه الأربعة, وصححه ابن خزيمة. وابن حبان والحاكم
“Hadis ini ditakhrij oleh yang empat (ashabus sunan: An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi) dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dan Al-Hakim.”
Selain dishahihkan Ibnu Hibban, hadis ini juga dishahihkan oleh Al-Hakim.
Siapakah Al-Hakim?
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi. Di zamannya terkenal dengan nama Ibnu Al-Bayyi’. Beliau lahir pada tahun 321 H.
Al-Hakim mulai belajar hadis sejak usia 13 tahun. Pada usia 20 tahun, beliau melakukan rihlah ke Irak untuk melanjutkan pencarian hadis. Gurunya kira-kira 2000. Di antara muridnya yang terkenal adalah Ad-Daruquthni, Abu Ya’la, dan Al-Baihaqi.
Menurut Ad-Daruquthni hapalannya lebih baik daripada Ibnu Mandah.
Beliau bermadzhab Syafi’i. Tetapi, Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad Al-Harowi memvonisnya seorang rofidhi. Hanya saja Adz-Dzahabi membantah tuduhan ini. Menurut Adz-Dzahabi Al-Hakim bukan rofidhi tetapi bertasyayyu’ (cenderung pada Syi’ah).
Al-Hakim sering dijadikan tempat konsultasi masalah bagi sebagian ulama. Jika sudah datang surat jawaban dari Al-Hakim, maka jawaban itu dijadikan dasar penyelesaian.
Saat meminum air zamzam beliau minta kepada Allah agar diberi karunia bisa mengarang baik.
Ada banyak karangannya. Ad-Dzahabi menyebut hampir 500-an. Karangannya yang terkenal; Al-Mustadrok, Tarikh An-Naisabur.
Beliau wafat 405 H. Saat itu beliau masuk kamar mandi, lalu mandi, kemudian keluar, lantas melenguh: “Aah”.. kemudian wafat.