Assalamualaikum ustad.. Saya berusia 27 tahun saya sudah mempunyai calon untuk menikah, tetapi keluarga (adik ibu saya) tidak menyetujui maksud saya untuk menikah. Apa yang harus saya lakukan? Terima kasih atas jawabannya semoga bermanfaat…
Lia, Temanggung, Jawa Tengah
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullah.
Memilih suami adalah hak besar wanita Muslimah tanpa intervensi siapapun baik itu keluarganya, orang lain maupun negara. Ayah, ibu, saudara, saudari, kakek, nenek, paman, bibi, sepupu, keponakan dan semua keluarga, dekat atau jauh tidak berhak mencegah pilihan suami wanita. Demikian pula shahabat, bos, guru, Musyrif, Musyrifah, Murobbi, Murobbiyah, Mursyid, Mursyidah, ustadz, ustadzah, Amir, bahkan Khalifah juga tidak berhak mengintervensi (yang bersifat memaksa/menekan) keputusan wanita dalam memilih suami. Memilih suami adalah hak penuh wanita. Dialah yang berhak menentukan siapa calon suaminya, dan dia pula yang berhak menentukan apakah menerima seorang lelaki atau menolaknya.
Dalil yang menunjukkan bahwa memilih suami adalah hak penuh wanita adalah Nash-Nash berikut;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ وَلَا الثَّيِّبُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ إِذَا سَكَتَتْ
dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Gadis tidak boleh dinikahi hingga dimintai izin, dan janda tidak boleh dinikahi hingga dimintai persetujuannya.” Ada yang bertanya; ‘ya Rasulullah, bagaimana tanda izinnya? ‘ Nabi menjawab: “tandanya diam.” (H.R. Al-Bukhari)
Riwayat Muslim berbunyi;
عَائِشَةَ تَقُولُ
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْجَارِيَةِ يُنْكِحُهَا أَهْلُهَا أَتُسْتَأْمَرُ أَمْ لَا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ تُسْتَأْمَرُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ لَهُ فَإِنَّهَا تَسْتَحْيِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ إِذْنُهَا إِذَا هِيَ سَكَتَتْ
‘Aisyah berkata; “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai seorang gadis yang dinikahkan oleh keluarganya, apakah harus meminta izin darinya atau tidak?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Ya, dia dimintai izin.” ‘Aisyah berkata; Lalu saya berkata kepada beliau; “Sesungguhnya dia malu (mengemukakannya).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika dia diam, maka itulah izinnya.” (H.R. Muslim)
Riwayat Muslim dari Ibnu Abbas berbunyi;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا وَرُبَّمَا قَالَ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya.” Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad ini, beliau bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis), maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” Atau mungkin beliau bersabda: “Dan diamnya adalah persetujuannya.” (H.R. Muslim)
Wanita tidak lepas dari kondisi; janda atau gadis. Dalam kondisi gadis, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang dia dinikahkan sebelum dimintai izinnya, dalam kondisi janda Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang dia dinikahkan sebelum diajak musyawarah untuk dimintai pertimbangan. Semua perlakuan ini menunjukkan bahwa wanita dalam kondisi apapun tidak boleh dipaksa menikah dengan seseorang yang tidak dia inginkan. Maknanya, hak penuh memilih ada pada tangannya, bukan ditangan walinya atau orang lain.
Nabi pernah merekomendasikan kepada seorang wanita untuk menikahi seorang lelaki yang sangat mencintainya. Sayangnya wanita tersebut tidak mencintai lelaki itu sehingga dia menolaknya. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak memaksa wanita itu untuk menikahi lelaki itu meski sang lelaki sangat mencintainya. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعبَّاسٍ يَا عَبَّاسُ أَلَا تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ رَاجَعْتِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِي قَالَ إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ قَالَتْ لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya suami Bariroh adalah seorang budak. Namanya Mughits. Sepertinya aku melihat ia selalu menguntit di belakang Bariroh seraya menangis hingga air matanya membasahi jenggot. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abbas, tidakkah kamu ta’ajub akan kecintaan Mughits terhadap Bariroh dan kebencian Bariroh terhadap Mughits?” Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “andaisaja kamu mau meruju’nya kembali (menikah dengannya).” Bariroh bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda menyuruhku?” beliau menjawab, “Aku hanya menyarankan.” Akhirnya Bariroh pun berkata, “Sesungguhnya aku tak butuh sedikit pun padanya.” (H.R. Bukhari)
Mughits sangat mencintai Bariroh. Besarnya cinta ini sampai membuat Mughits mengikuti kemanapun Bariroh pergi dengan derai air mata yang membasahi janggutnya. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam iba dengan penderitaan Mughits, lalu merekomendasikan Bariroh agar berkenan menikah dengan Mughits. Ternyata Bariroh menolaknya dan Nabipun tidak memaksa. Tidak adanya paksaan dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada Bariroh kepada Mughits padahal Mughits sangat mencintai Bariroh, menunjukkan bahwa memilih suami adalah hak penuh wanita hingga Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiripun tidak berani intervensi yang bersifat memaksa/menekan.
Bahkan pembangkangan seorang wanita terhadap ayahnya atau ibunya dalam hal pilihan suami, tidak tergolong kedurhakaan. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
Dari Khansa’ binti Khidzam Al Anshariyah; bahwa ayahnya mengawinkannya -ketika itu ia janda-dengan laki-laki yang tidak disukainya, kemudian dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau membatalkan pernikahannya. (H.R. Al-Bukhari)
Riwayat Ahmad berbunyi;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ ابْنَةَ خِذَامٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu Abbas; bahwasannya anak perempuan Khidzam menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya, padahal ia tidak menyukainya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya hak untuk memilih. (H.R. Ahmad)
Seandainya pembangkangan Khonsa’ binti Khidzam kepada ayahnya dalam hal pilihan suami termasuk kedurhakaan, niscaya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam akan memerintahkan Khonsa’ taat atas keputusan ayahnya dalam hal pilihan suami. Ketika Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam justru memberikan pilihan kepada Khonsa’ untuk membatalkan pernikahan atau melanjutkannya, maka hal ini menunjukkan bahwa memilih suami adalah hak besar wanita yang bahkan menjadi Takhsish atas keumuman perintah taat kepada Ayah/wali atau perintah berbakti kepada orang tua.
Lebih jauh dari itu, aktivitas menghalang-halangi wanita untuk menikah dengan lelaki yang telah menjadi pilihannya adalah kezaliman yang diharamkan oleh Islam dan disebut dalam pembahasan Fikih Islam dengan istilah ‘Adhl. Adhl hukumnya haram dan pelakunya dihukumi fasik yang gugur hak perwaliannya dan tidak diterima persaksiannya. Allah berfirman ketika mengharamkan ‘Adhl;
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah ada saling ridha di antara mereka dengan cara yang ma’ruf (Al-Baqoroh; 232)
Ayat ini turun berkaitan Adhl yang dilakukan seorang shahabat bernama Ma’qil bin Yasar yang tidak mau menikahkan saudarinya ketika dilamar seorang lelaki. At-Tirmidzi meriwatkan kisahnya;
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ زَوَّجَ أُخْتَهُ رَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَكَانَتْ عِنْدَهُ مَا كَانَتْ ثُمَّ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَهَوِيَهَا وَهَوِيَتْهُ ثُمَّ خَطَبَهَا مَعَ الْخُطَّابِ فَقَالَ لَهُ يَا لُكَعُ أَكْرَمْتُكَ بِهَا وَزَوَّجْتُكَهَا فَطَلَّقْتَهَا وَاللَّهِ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْكَ أَبَدًا آخِرُ مَا عَلَيْكَ قَالَ فَعَلِمَ اللَّهُ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا وَحَاجَتَهَا إِلَى بَعْلِهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ) إِلَى قَوْلِهِ (وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ) فَلَمَّا سَمِعَهَا مَعْقِلٌ قَالَ سَمْعًا لِرَبِّى وَطَاعَةً ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ أُزَوِّجُكَ وَأُكْرِمُكَ
Dari Ma’qil bin Yasar bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki dari kaum muslimin, lalu saudarinya tinggal bersama suaminya beberapa waktu, setelah itu dia menceraikannya begitu saja, ketika masa Iddahnya usai, ternyata suaminya cinta kembali kepada waanita itu begitu sebaliknya, wanita itu juga mencintainya, kemudian dia meminangnya kembali bersama orang-orang yang meminang, maka Ma’qil berkata kepadanya; hai Tolol, aku telah memuliakanmu dengannya dan aku telah menikahkannya denganmu, lalu kamu menceraikannya, demi Allah dia tidak akan kembali lagi kepadamu untuk selamanya, inilah akhir kesempatanmu.” Perawi berkata; “Kemudian Allah mengetahui kebutuhan suami kepada istrinya dan kebutuhan isteri kepada suaminya hingga Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ayat: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya.” QS Al-Baqarah: 231 sampai ayat “Sedang kamu tidak Mengetahui.” Ketika Ma’qil mendengar ayat ini, dia berkata; “Aku mendengar dan patuh kepada Rabbku, lalu dia memanggilnya (mantan suami saudarinya yang ditolaknya tadi) dan berkata; “Aku nikahkan kamu dan aku muliakan kamu.” (H.R. At-Tirmidzi)
Semua aktivitas menghalang-halangi pernikahan wanita dengan calon suami pernikahannya secara zalim termasuk ‘Adhl yang hukumnya haram. Tidak boleh menghalang-halangi pernikahan wanita dengan alasan misalnya calon suaminya kurang ganteng, kurang kaya, kurang punya kedudukan sosial, tidak bisa dibanggakan, bukan keturunan ningrat, sudah menikah, keluarganya tidak terkenal, bukan satu ras/kabilah/keluarga/marga/kelompok/partai/harokah/organisasi, belum menyelesaikan studi dan mengamankan masa depan, dll. Adapun jika alasannya Syar’I seperti calon suaminya kafir, fasik (tidak/jarang sholat, mabuk-mabukan, penjudi, pezina, rusak akhlaknya-penipu-), termasuk mahrom, wanita masih di masa iddah, wanita pernah berzina dan blm melakukan istibro’ dll maka menghalangi demikian tidak teramsuk ‘Adhl karena bukan kezaliman.
Atas dasar ini, memilih calon suami adalah hak penuh wanita dan tidak boleh dihalang-halangi menikah dengan lelaki pilihannya. Penanya hendaknya memeriksa kasusnya, apakah halangan dari keluarga bisa dikatakan Syar’i ataukah termasuk ‘Adhl. Jika halangannya Syar’i, maka hendaknya dihilangkan dulu penghalang-penghalang tersebut, sementara jika sudah terkategori Adhl maka lanjutkan terus tanpa ada keberatan. Wali yang melakukan ‘Adhl gugur hak perwaliannya dan berpindah pada wali yang terdekat. Jika ayah gugur perwaliannya, maka hak perwalian untuk menikahkan pindah ke kakek (ayah-nya ayah), buyut (ayahnya ayah ayah), saudara, paman, dst sesuai aturan gradasi wali dalam fikih Islam.
Wallahua’lam