Oleh: Ust. Muafa
Muqoddimah
Menjelang datangnya bulan Ramadhan, khutbah Ramadhan atau ceramah tentang bulan Ramadhan biasanya banyak dicari kaum muslimin melalui mesin pencari. Khutbah Rasulullah umumnya juga banyak diburu. Karena itu, tulisan-tulisan yang menyajikan khutbah Ramadhan singkat atau ceramah Ramadhan singkat banyak menjadi rujukan dan dimanfaatkan untuk kegiatan dakwah/tabligh di berbagai tempat. Ceramah tentang Ramadhan yang terdokumentasi dalam bentuk file audio (misalnya dalam format mp3) juga banyak disebarkan. Demi memperkaya referensi kaum muslimin seputar topik ini, agar kualitas menjalani dien semakin baik, berikut ini disajikan tulisan menyambut Ramadhan 1435 H/2014. Mudah-mudahan, tulisan sederhana ini bisa memberikan manfaat.
Isi Khutbah
Kepada Allah kita bersyukur atas nikmatnya yang tanpa ukur. Kepada Nabi Muhammad SAW kita bershalawat, beliaulah Nabi dan Rasul pembawa Syariat. Tidak ada satupun makhluk di alam mayapada ini yang tidak mensucikanNya. Langit biru yang menjulang tinggi, gunung-gunung yang gagah berdiri kokoh, deburan ombak di lautan biru, burung-burung yang beterbangan di angkasa, rumput-rumputan hijau yang bergoyang lembut ditiup angin, dedaunan pohon yang dibasahi embun di pagi hari, semuanya bertasbih mensucikan Allah, meski kita tidak faham bagaimana mereka bertasbih.
langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. (Al-Isro’: 44)
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Sebentar lagi bulan Ramadhan akan tiba. Kaum muslimin diberbagai belahan dunia menyambutnya dengan beragam cara. Mereka, para hamba Allah yang shalih bergembira sekali dengan kedatangan bulan ini. Namun tidak jarang pula ada hamba-hamba yang merasa hambar saja dengan kedatangan bulan Ramadhan.
Oleh karena itu, agar puasa Ramadhan menjadi lebih bermakna marilah bersama-sama meluangkan waktu sejenak untuk merenungi kembali hakikat puasa. Dengan perenungan itu kita berharap, kualitas puasa kita di masa mendatang akan lebih baik lagi, dan mencapai sasaran sejati dari maksud diturunkannya syariat puasa.
Sudut pandang renungan ini bukan membahas puasa dari sisi manfaat medis, manfaat sosial, perannya mengubah moral/tingkah laku, mukjizat-mukjizat ilmiah atau manfaat-manfaat duniawi lainnya yang bisa terindra oleh manusia. Sudut pandang renungan ini adalah langsung bertolak dari wahyu yang diturunkan Allah, yang menurunkan syariat puasa. Yakni Dzat yang paling tahu untuk tujuan apa puasa diperintahkan dan dengan target apa puasa diwajibkan.
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Marilah kita dengarkan kembali, ayat yang sering dibaca sebelum dan saat datang bulan Ramadhan;
Yaa Ayyuhalladziina aamanuu kutiba ‘alaikumus shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qoblikum la’allakum tattaquun.
wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian mudah-mudahan kalian bertakwa (Al-Baqoroh; 183)
Betapa lembutnya Allah ketika memerintahkan puasa. Dia mengawalinya dengan panggilan sayang: “Wahai orang-orang yang beriman…”. Allah tidak memanggil dengan panggilan “wahai manusia”, “wahai para budakku”, “wahai para pendosa”, “wahai para durjana” dll, tetapi Allah memanggil dengan panggilan penghargaan, panggilan memuliakan, panggilan penuh cinta; “wahai orng2 yg beriman…”
Sapaan pertama adalah hal penting yg menentukan, apakah sebuah perintah meresap dan masuk dalam hati. Orang tua yang menyapa anaknya dengan sapaan awal; “hai anak nakal” sebelum memberi nasihat tentu akan sangat berbeda jika diawali dengan panggilan; “wahai anakku tersayang”
Betapa lembutnya Allah. Betapa bedanya dengan perintah, aturan, dan kebijakan penguasa zalim dan diktator.
Dari sini tahulah kita, sadarlah kita, fahamlah kita bahwa Allah sang pencipta Rabbul Alamin berkehendak memberi kita nasihat yang akan sangat berguna bagi kita dan demi kebaikan kita semata. Maka pasanglah telinga baik-baik, dengarkan dengan segenap penuh perhatian, pusatkan akal, fikiran, hari untuk menerima sabda suci:
Yaa Ayyuhalladziina aamanuu kutiba ‘alaikumus shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qoblikum la’allakum tattaquun.
Artinya:
wahai orang-orang yang beriman…….
diwajibkan atas kalian berpuasa…
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian…
mudah-mudahan kalian bertakwa..
Ternyata nasihat penting itu adalah puasa. Allah memerintahkan kita berpuasa. Bahkan mewajibkan kita berpuasa. Puasa sebagaimana generasi sebelum kita diperintahkan berpuasa. Lakukanlah puasa wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya setiap nasihat dari Allah adalah penting. Dan setiap nasihat dari Allah pasti berguna.
Puasa yang kalian lakukan itu wahai orang-orang yang beriman, dimaksudkan untuk satu target, satu tujuan: menjadi orang-orang yang bertakwa. Karena itu tujuan utama orang berpuasa adalah melatih diri agar menjadi orang bertakwa. Keberhasilan puasa atau kegagalannya diukur dari pencapaian ketakwaan. Semakin tinggi pencapaian takwa semakin tinggi pula nilai keberhasilan puasa. Semakin lemah pencapaian, semakin rendah pula tingkat keberhasilannya.
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Apa itu takwa? Ini pertanyaan pentingnya. Jika suatu aktifitas telah jelas dirumuskan tujuannya ke mana, maka mengetahui dengan detail tujuan tersebut adalah agenda penting, agar aktivitas menjadi terarah.
Secara bahasa, menurut kamus Lisanul ‘Arob takwa bermakna Hadzar (kehati-hatian)[1]. Makna asalnya menurut ibnu Rojab: aktivitas memasang pelindung antara diri dengan sesuatu yg ditakuti/diwaspadai[2]. Berdasarkan pengertian ini, orang yang memasang helm karena khawatir/takut gegar otak jika jatuh dari kendaraan, atau wanita yang memakai tabir surya karena takut/khawatir kulitnya menjadi hitam ketika terkena paparan langsung sinar matahari, semuanya adalah aktivitas takwa secara bahasa. Ketika pengertian secara bahasa ini diterapkan dalam bahasa Al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan takwa kepada Allah, maka maksud takwa adalah aktivitas memasang “pelindung” antara seorang hamba dengan Allah karena takut terkena marah, murka dan siksaNya. “Pelindung” tersebut tak lain dan tak bukan adalah aktivitas menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena itu, dalam banyak ceramah sering disampaikan aktivitas takwa dilakukan dengan cara menjalankan perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarangNya[3].
Diantara definisi paling indah tentang makna takwa dikemukakan oleh salah seorang Tabi’in mulia bernama Tholq bin Habib sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Ibanatul Kubro:
Dari Sulaiman bin ‘Atiq beliau berkata: tatkala terjadi fitnah/kekacauan/kerusuhan, Tholq bin Habib berkata: waspadailah fitnah dengan ketakwaan. Orang-orang bertanya: Apa itu Takwa?beliau menjawab: Engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur/cahaya dari Allah karena mengharap ganjaran Allah. Dan Engkau meninggalkan maksiat-maksiat kepada Allah berdasarkan nur/cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah[4]”
Kata Tholq bin Habib, takwa itu adalah; “Engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur/cahaya dari Allah karena mengharap ganjaran Allah”, artinya; Jika engkau bersedekah kepada orang lain misalnya maka dasarmu melakukannya adalah karena engkau mendapatkan ilmu/nur/cahaya dari wahyu Allah bahwa sedekah adalah perbuatan baik. Engkau melakukan kebaikan bukan didasari oleh pertimbangan baik-buruk akalmu, atau karena masyarakat cinta terhadap para dermawan. Tetapi dasarmu semata-mata bertumpu pada wahyu. Wahyu Allahlah yang mengontrol dan menentukan nilai baik-buruk perbuatan yang engkau lakukan. Motivasimu berderma juga bukan memburu gelar dermawan, bukan ingin dikenang, bukan ingin mendapat penghargaan manusia. Tetapi motivasimu semata-mata adalah karena ingin mendapatkan ganjaran dari Allah.
Ketika engkau tidak mau berzina misalnya, maka dasarmu melakukannya adalah karena tahu berdasarkan wahyu Allah bahwa perbuatan zina itu dibenci Allah, bukan karena zina bertentangan dengan akal sehatmu semata-mata atau karena manusia beradab memandangnya perbuatan tercela. Motivasimu meninggalkan zina juga bukan karena khawatir ditangkap satpol PP, atau rusak nama baikmu seumur hidup. Motivasimu meninggalkannya adalah karena engkau takut murka Allah dihari pembalasan, dan takut siksanya di Neraka.
Sungguh mendalam pengertian yang diajarkan Tholq bin Habib. Takwa dijelaskan sebagai aktivitas melakukan perbuatan baik yang dikontrol dua aspeknya: dasar dan motivasinya. Dasar perbuatan baik adalah wahyu Allah sementara motivasinya semata-mata karena ingin mendapatkan ganjaran dari Allah dan keselamatan dari siksaNYa.
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Selanjutnya, bagaimana puasa bisa melatih dan membentuk sifat takwa? Untuk memahami ini, harus dikupas terlebih dahulu makna puasa.
Ada banyak kamus yang bisa dirujuk untuk mengetahui definisi-definisi istilah fikih, seperti Al-Muttholi’ ‘Ala Alfazil Muqni’, Thilbatut Tholabah, An-Nihayah dll. Diantara definisi yang cukup mewakili dikemukakan Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Tahriru Alfazit Tanbih”:
الصيام والصوم في اللغة الإمساك وفي الشرع إمساك مخصوص في زمن مخصوص من شخص مخصوص
As-Shiyam dan Ash-Shoum secara bahasa bermakna Imsak (menahan diri). Dalam syariat bermakna: menahan diri yang bersifat khusus, di waktu khusus, yang dilakukan orang khusus[5].
Dari definisi di atas bisa difahami bahwa makna puasa secara bahasa adalah menahan diri. Dalam praktek fikih, aktivitas menahan diri itu diwujudkan dengan menahan diri dari makan, minum, dan tidak bersetubuh semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Makan, minum dan berhubungan suami istri adalah keinginan naluriah manusia. Semuanya halal dalam Islam selama mengikuti aturan mainnya. Namun, pemenuhan hasrat-hasrat halal ini ternyata diperintahkan agar ditahan dan dikendalikan selama bulan Ramadhan dalam waktu tertentu secara terus menerus dan berkelanjutan sampai sebulan penuh. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa esensi puasa sebenarnya adalah melatih sikap jiwa yang dinamakan di zaman sekarang dengan istilah pengendalian diri (self control).
Betapa pentingnya pengendalian diri dalam kehidupan manusia dapat digambarkan dengan uraian berikut;
Bukankah tawuran, vandalisme, mencuri, merampok, membunuh, korupsi, judi, perselingkuhan, perzinaan, mabuk-mabukan, stress karena gagal menjadi caleg, bunuh diri, boros, sampai malas menyusun skripsi adalah diantara contoh masalah kehidupan yang akarnya adalah karena gagal dalam melakukan self control/pengendalian diri?
Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan bahwa dosa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah dosa yang disebabkan dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan;
dari Abu Hurairah dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah di tanya; “perkara apa yang banyak menyebabkan masuk surga?” beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” Dan beliau di tanya; “Perkara apa yang banyak menyebabkan masuk neraka?” beliau menjawab: “Dua lubang yaitu mulut dan kemaluan.” (H.R.Ibnu Majah)
Kalau sampai dilakukan dosa pemerkosaan, freesex, perselingkuhan, perzinaan, homosex, dan lesbianisme yang hakikatnya adalah syahwat kemaluan, bukankah itu akarnya juga karena gagalnya melakukan self control/pengendalian diri?jika sampai dilakukan dosa dusta, penghinaan, fitnah, menggunjing, dan adu domba bukankah itu akarnya juga karena gagalnya melakukan self control/pengendalian diri?
Eksperimen Marshmelow dalam kajian psikologi cukup populer untuk menunjukkan peran penting pengendalian diri untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Sekumpulan anak usia TK masing-masing diberi satu kue oleh peneliti dalam sebuah ruangan. Peneliti membuat perjanjian dengan mereka, jika diantara mereka ada yang bisa menahan dirinya untuk tidak memakan kue tersebut saat peneliti keluar ruangan, maka saat peneliti kembali anak yang sanggup menahan dirinya berhak mendapatkan dua kue. Ternyata rata-rata mereka hanya sanggup bertahan 30 detik sebelum memakan kue itu dan hanya sejumlah kecil yang sanggup mengendalikan dirinya. Yang menarik, 10 tahunan kemudian ketika diadakan penelitian lagi, anak-anak yang di masa kecilnya sanggup mengendalikan dirinya, dia lebih sukses terutama dalam hal prestasi akademiknya.
Orang yang memiliki pengendalian diri yang baik akan mendapatkan kesuksesan baik kesuksesan duniawi maupun ukhrawi. Dia akan lebih tahan menghadapi tantangan hidup, bisa mengurangi efek negatif tekanan lingkungan, bisa mengatur upaya pemuasan keinginan individu yang tidak mengganggu kenyamanan orng lain, bisa mengontrol diri untuk bekerja secara konstan demi mencapai tujuan, dan akan memiliki kesempatan hidup lebih baik secara lebih besar. Dia juga akan terhindar dari penyakit jiwa atau gejalanya (fobia, obsesi, kompulsi, rakus, was-was, dengki, pamer), bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, memaksimalkan potensi, dan menghadapi problem. Mereka yang saat ini punya gelar professor, mustahil akan mencapai karir tertinggi dalam dunia akademis itu jika tidak punya pengendalian diri yg baik.
Tentara Tholut yang mulia di sisi Allah adalah yang sanggup mengendalikan diri tidak meminum air sungai kecuali seteguk sebelum perang. Karya-karya tulis ulama islam yang jumlahnya puluhan ribu halaman juga mustahil akan muncul tanpa pengendalian diri yang kuat.
Sebaliknya, kerugian dunia akhirat seringkali didapatkan orang-orang yang susah mengendalikan dirinya. Mereka yang malu karena tertangkap tangan menyuap, malu karena kepergok kasus perzinaan, malu karena kasus korupsi dll adalah bukti nyata kerugian karena ketidaksanggupan melakukan pengendalian diri. Mereka yang gagal dalam gelar akademiknya, bodoh dalam ilmu, juga bisa menjadi contoh ketidaksanggupan mengendalikan diri agar tekun dalam belajar. Mereka yang nanti sengsara di akhirat karena lebih memilih gaya hidup hedonis tanpa mau terikat aturan Sang Pencipta akarnya juga karena gagal dalam mengendalikan dirinya.
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Setelah memahami pentingnya pengendalian diri dalam kehidupan manusia, marilah kembali mengingat bahwa puasa adalah melatih dan menajamkan kemampuan orang beriman untuk berlatih mengendalikan diri. Meskipun secara fikih, puasa hanya menahan diri dari dua hal; makan minum dan bersetubuh, namun setidaknya ada tiga aspek pengendalian diri yang diasah dalam puasa:
Pertama; puasa melatih tabah dan tegar menghadapi kesulitan
Menahan haus, lapar, dan hasrat bersetubuh adalah kesulitan, kepayahan, kesusahan, duri, penghalang, dan cobaan menuju satu tujuan. Seorang hamba yang ingin berjalan menuju Allah dan menggapai cintaNya harus siap dengan segala kesulitan, kepayahan, kesusahan, duri, penghalang, dan cobaan. Dia akan diuji dengan sempitnya harta, sakit, kehilangan kerabat, beratnya menjalankan ibadah dll. Semuanya ini akan menjadi enteng ketika orang sudah terbiasa tegar menghadapi kesulitan. Dalam hal duniawipun ketegaran menghadapi kesulitan juga diperlukan. Untuk menikah orng harus mengenal calon, mengkontak ortu, menghadapi penentangan pihak ketiga, menyiapkan biaya dll. Untuk mencapai karir tertinggi dalam duniua akademis orang harus tangguh menyiapkan syarat-syaratnya, lulus kuliah, menyelesaikan tugas, menyusun skripsi, tesis, disertasi, dll.
Kedua; puasa melatih tabah dan tegar menghadapi godaan syahwat
Saat berpuasa, godaan makan makanan lezat, minum minuman segar, atau terpesona dengan kecantikan wanita kadang muncul berkali-kali. Semua godaan ini dilawan, karena orang yang ingin mendapatkan ridha Allah pasti juga digoda dengan godaan syahwat. Dia digoda wanita cantik, digoda berzina, digoda korupsi, digoda menipu dll. Orang yang mengejar jabatan terhormat di masyarakat sekalipun, jika dia tidak sanggup menahan diri dari godaan maka mustahil dia akan mencapai tujuannya.
Ketiga; puasa melatih diri mengutamakan cinta Allah dan ridhaNya daripada kesenangan dan kelezatan diri
Ini adalah jenis pengendalian diri yang paling istimewa. Karena sama sekali tidak terkait urusan duniawi. Mengandung unsur transendental, dan kapastian beriman terhadap Allah Sang Pencipta alam semesta. Puasa melatih orang beriman untuk berkorban. Berkorban demi Allah. Mengorbankan kesenangan diri agar Allah menjadi senang. Jenis pengendalian diri ini mustahil akan dilakukan jika orang tidak beriman kepada Allah dan hari kebangkitan. Pengendalian diri jenis ini membedakan antara hamba-hamba yang beriman dengan mereka yang tidak beriman.
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Jadi, puasa adalah latihan mengasah kemampuan mengendalikan diri yang komplit, bukan semata-mata menahan lapar dan dahaga. Ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa Allah tidak butuh puasa orang yang tidak bisa menahan diri dari ucapan-ucapan buruk dan perbuatan yang buruk.
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya”. (H.R.Bukhari)
dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan selain begadang. ” (H.R.Ibnu Majah)
dari Abu Hurairah berkata; Seorang lelaki berkata; “Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang terkenal dengan banyak shalat, puasa dan sedekah, hanya saja ia menyakiti tetangganya dengan lisannya, ” maka beliau bersabda: “Dia di neraka.” Lelaki itu berkata; “Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang terkenal dengan sedikit puasa, sedekah dan shalatnya, ia hanya bersedekah dengan sepotong keju, tetapi ia tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya, ” maka beliau bersabda: “Dia di surga.” (H.R.Ahmad)
Karena itulah Imam Al-Ghazzali membagi tingkatan puasa menjadi tiga; Puasanya orang umum, puasanya orang khusus (VIP) dan puasanya orang sangat khusus (VVIP). Puasa orang umum dalah menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan, puasa orang khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh agar tidak berbuat dosa, puasanya orang sangat khusus adalah menjaga hati dari pikiran-pikiran rendah dan menjaganya agar tidak memikirkan selain Allah[6].
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Setelah mengupas makna takwa dan hakikat puasa, maka bisa disimpulkan bahwa puasa disyariatkan Allah adalah untuk mengasah serta mempertajam kemampuan mengendalikan diri. Kemampuan mengendalikan diri itu bukan dimaksudkan untuk meraih kepentingan-kepentingan duniawi, namun diarahkan agar seorang hamba sanggup mengontrol dirinya agar tidak membuat Allah murka, dan itulah hakikat takwa. Dengan bahasa lain bisa dikatakan; takwa adalah mengendalikan diri yang bersifat transendental demi membuat Allah tidak menjadi murka. Puasa seharusnya membentuk manusia Muttaqin, artinya setelah berpuasa idealnya kemampuan hamba beriman mengendalikan diri semakin kuat, sehingga dia bisa menjalankan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan Allah.
Takwa adalah sifat kelas tinggi, sifat VVIP di hadirat Allah, sifat hamba yang paling mulia dan yang paling dicintaiNya. Maka berusaha menggapai takwa melalui puasa sejatinya sedang berjuang mencapai gelar tertinggi yang dikehendaki Allah dan yang paling mulia; bertakwa
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kalian. (Al-Hujurat; 13)
Sebagai penutup berikut akan dibacakan kisah takwa seorang shahabat yang bernama Abubakar As-Shiddiq yang menunjukkan keberhasilan beliau melatih dirinya agar bisa melakukan pengendalian diri. Mudah-mudahan kisah ini bisa menginspirasi;
dari ‘Aisyah r.a beliau berkata;
” Abu Bakar mempunyai seorang budak yang memiliki penghasilan untuk disetorkan kepada Abubakar. Abu Bakar biasa memakan dari sebagian penghasilan tersebut.
Pada suatu hari budaknya itu datang dengan membawa makanan, lalu Abu Bakar memakannya.
Maka pembantunya itu bertanya kepada Abu Bakr; “Tahukah engkau makanan apa yang engkau makan itu?”. Abu Bakar menjawab dengan nada bertanya; ” (tidak), apakah itu?”.
Budaknya menjawab; “Dahulu pada zaman jahiliyyah aku pernah menjadi dukun bagi seseorang, namun sebenarnya aku tidak pandai dalam perdukunan. Jadi aku hanya menipunya saja. (kebetulan hari ini) orang itu bertemu denganku dan memberikan makanan kepadaku (sebagai balas jasa atas perdukunanku di masa jahiliyah). Itulah hasilnya yang tadi kamu makan” (jadi engkau memakan makanan haram karena berasal dari hasil perdukunan).
Maka Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam perutnya. (H.R.Bukhari)
————–
Daftar Pustaka
Al Ba’li, Muhammad bin Abi Al-Fath. 2003. Al-Muttholi’ ‘Ala Alfaz Al-Muqni’. Maktabah As-Sawadi.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1987. Shahih Bukhari. Beirut. Dar Ibni Katsir.
Al-Ghazzali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 2005. Ihya’ Ulumiddin. Dar Ibni Hazm
Al-Hanbali, Mar’i bin Yusuf. 1984. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah Fi Tsana’ Al-A-Immah ‘Ala Ibni Taimiyah. Beirut. Dar Al-Furqon.
Al-Qohthoni , Sa’id bin ‘Ali. 1985. Nur At-Taqwa Wa Dhulumatu Al-Ma’ashi Fi Dhou’ Al-Kitab Wa As-Sunnah. Riyadh. Mathba’ah Safir.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. 2003. Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an. Riyadh. Dar ‘Alam Al-Kutub.
An-Nasafi , Umar bin Muhammad. Thilbah Ath-Tholabah. Dar Ath-Thiba’ah Al-‘Amiroh.
An-Nawawi , Yahya bin Syarof. 1988. Tahrir Alfadh At-Tanbih. Dimasyq. Dar Al-Qolam
As-Suyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin Al-Mahalli. Tanpa tahun. Tafsir Jalalain. Kairo. Dar Al-Hadits.
Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali. 1993. Fathu Al-Qodir Al- Jami’ Baina Fannai Ar-Riwayah Wa Ad-Diroyah Min ‘Ilmi At-Tafsir. Beirut. Dar Al-Kalim Ath-Thoyyib.
At-Thobaroni , Sulaiman bin Ahmad. Tanpa tahun. Al-Mu’jam Al-Kabir. Kairo. Maktabah Ibni Taimiyah.
Farid, Ahmad. 1993. At-Taqwa Ad-Durroh Al-Mafqudah Wa Al-Ghoyah Al-Mansyudah. Riyadh. Mathba’ah Safir. Dar Ash-Shumai’i.
Ibnu Batthoh, Al-‘Ukbari. 1994. Al-Ibanah Al-Kubro. Riyadh. Dar Ar-Royah.
Ibnu Katsir, Abu Al-Fida’. 1998. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim. Beirut. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. 2009. Sunan Ibnu Majah. Beirut. Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah.
Ibnu Mandhur, Muhammad bin Mukarrom Al-Mishri. Tanpa tahun. Lisan Al-‘Arob. Beirut. Dar Ash-Shodir.
Ibnu Rojab Al-Hanbali. 2001.Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam. Beirut. Mu’assasah Ar-Risalah.
Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 1999. Al-Jawab Ash-Shohih Liman Baddala Din Al-Masih. Saudi Arabia. Dar Al-‘Ashimah.
Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 2001. Jami’ Ar-Rosail. Riyadh. Dar Al-‘Atho’.
Isma’il , Muhammad Muhammad. 1958. Al-Fikru Al-Islami. Beirut. Maktabah Al-Wa’yi.
Qol’ahji , Muhammad Rowwas dkk. 1988. Mu’jam Lughoh Al Fuqoha’. Beirut; Dar An-Nafais.
________________________________________
[1] Ibnu Mandhur, Muhammad bin Mukarrom Al-Mishri. Tanpa tahun. Lisan Al-‘Arob. Beirut. Dar Ash-Shodir. Vol. 15,hlm 401
[2] Ibnu Rojab Al-Hanbali. 2001.Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam. Beirut. Mu’assasah Ar-Risalah. Vol. 20, hlm 5
[3] Ibnu Rojab Al-Hanbali. 2001.Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam. Beirut. Mu’assasah Ar-Risalah. Vol. 20, hlm 5
[4] Ibnu Batthoh, Al-‘Ukbari. 1994. Al-Ibanah Al-Kubro. Riyadh. Dar Ar-Royah. vol.2, hlm 598
[5] An-Nawawi , Yahya bin Syarof. 1988. Tahrir Alfadh At-Tanbih. Dimasyq. Dar Al-Qolam, hlm 123
[6] Al-Ghazzali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 2005. Ihya’ Ulumiddin. Dar Ibni Hazm. Vol 1, hlm 234
Telah dimuat sebelumnya di sini